"Mau kemana sih?" Dara menarik ujung seragam Bara pelan.
Bara menoleh, kemudian tersenyum. Tanganya menyambar jaket yang berada di atas meja. Mereka baru saja pulang sekolah, dan Bara sudah akan pergi lagi.
"Ada urusan, bentar oke?" ujarnya mencium kening Dara. Kemudian mencium bibirnya singkat.
"Ya kemana?" tanya Dara kepo.
"Nannti cerita," jawab Bara singkat merunduk mencium perut berisi istrinya.
"Baik-baik, jangan nunggu aku pulang," pamitnya keluar apartemen begitu saja.
Apa-apaan? Baru beberapa menit menginjakkan kaki ke dalam apartemen masa udah pergi lagi. Hal itu membuat Dara cemberut, lalu lebih memilih merebahkan tubuhnya ke ranjang.
_ _ _
Bara mengendarai mobil dengan satu tangan, sengankan tangan lainya digunakan untuk menjawab telfon dari Papanya.
"Kesini Bara!"
"Lagi di perjalanan," dapat Bara dengar Papanya disebrang sana menghela nafas gusar.
"Ada apa Pa?" tanya Bara.
"Kakek kamu buat ulah,"
"Ha? Maksudnya?" Bara meminta penjelasan kurang mengerti.
"Papa akan jelaskan nanti,"
Tut tut
Bara mengumpat pelan, sialan! Apa yang akan dilakukan oleh pria tua itu.
Mobilnya menepi, masuk kehalaman luas gedung menjulang tinggi didepanya. Bara keluar saat menemukan tempat parkir yang tepat.
Para satpam yang berjaga didepan membungkuk hormat pada Bara. Mereka tau tuan mudanya itu karena Bara sudah sering datang kesini.
Bara hanya tersenyum sekilas, laki-laki itu memasuki kantor Papanya. Kemudian berjalan ke arah lift, ruangan Papanya berada dipaling atas.
"Anda sudah ditunggu," ujar sekretaris Papanya saat melihat Bara.
Bara langsung melangkah kearah ruangan Papanya yang teretak di paling ujung. Sedangkan ruangan yang berada disebelahnya itu ruangan miliknya.
"Pa," panggil Bara membuka pintu ruangan Papanya.
Laki-laki paruh baya yang duduk dibalik meja kebesaranya itu mendongak, menatap anak satu-satunya.
Bara berjalan masuk, duduk di kursi. Ekspresinya mulai serius, "ada apa Pa?"
"Omset penjualan kita berkurang drastis, dan kamu tau siapa yang bikin?" ujar Papa Bara langsung.
"Kakek," lirih Bara tau kelanjutannya. "Tapi, gimana caranya?" lanjut Bara heran.
"Papa nggak tau," ujar pria itu menyandarkan tubuhnya kekursi.
"Pa?"
"Kakek telfon Papa, dia bilang bahwa tanganya yang buat omset penjualan kita menuruh drastis," terangnya.
"Kamu tau kan? Sejaya-jayanya perusahaan Papa lebih besar perusahaan Kakek kamu Bar?"
Bara mengangguk, jika kemarin dia bilang tak akan meneruskan perusahaan Kakeknya, dia tak perlu khawatir karena masih ada perusahaan Papanya yang dibangun sendiri. Tapi kalau ini akan beda cerita. Bagaimanapun juga perusahaan milik Kakeknya lebih besar dan terkenal dimana-mana. Tentu sangat mudah jika ingin bermain-main dengan perusahaan milik Papanya.
"Papa bingung, saya nggak mau kehilangan perusahaan saya karena pria tua itu." ujar Papanya lelah. "Tapi saya gak tau gimana akan bertindak selanjutnya," lanjutnya pusing.
Bara langsung berfikir keras, hanya karena Papanya. "Buat apa dia bermain-main kaya gitu?"
"Jangan bodoh kamu Bara! Tentu aja karena kamu, kamu pikir siapa lagi hah?!!" emosi Papa Bara meledak. Bayangan ia akan gulung tikar membuatnya takut.
"Maksud Papa?"
"Harusnya kamu setuju dengan rencana pertunangan kamu dengan Indah, maka dari itu kamu nggak bakal nyusahin saya!"
Bara tercengang mendengarnya. Apa-apaan ini? Kemarin Papanya membela mati-matian hubunganya dengan Dara, tapi kenapa sekarang jadi seperti ini?
"Pa!" ujar Bara tanpa sadar sedikit membentak.
"Ya terus Papa harus gimana Bara?! Ini disebabkan oleh kamu! Hanya ada satu-satunya jalan yaitu kamu punya hubungan sama Indah!!" terang Papa Bara tak kalah keras. "Perusahaan ini Papa bangun dengan keringat Papa sendiri! Dan dengan mudah pria tua itu menghancurkanya hah?!!"
Rahang Bara mengeras, matanya menatap tajam ayah satu-satunya itu. Itu mulut emang aslinya kaya gitu ya?
Laki-laki itu bangkit, "Dara lagi hamil, dan Bara akan punya anak sebentar lagi." ujar Bara memelankan suaranya. "Dan Papa tau aku nggak pernah ngabulin permintaan Papa itu," lanjutnya tegas.
"Maksud kamu? Kamu mau lihat perusahaan Papa gulung tikar?!!" Papa Bara menggebrak meja didepanya keras. Suaranya naik beberapa oktaf.
"Kenapa enggak?" balas Bara tersenyum sinis. Tentu saja dalam hatinya tak akan rela dan akan membalikkan keadaan mereka seperti semula. Namun satu lagi, Dara dan calon anaknya tak akan tergantikan oleh apapun.
"Sialan kamu!" otot leher Papa Bara mengencang. Anaknya tak pernah berbicara seperti itu padanya.
"Kata Papa masalah ini ditimbulkan karena aku kan? Maka dari itu izinin Bara buat perbaiki keadaan." ujar Bara meyakinkan dengan lebih sopan.
"Satu lagi, jangan libatin Dara maupun anak Bara. Karena mereka udah jadi bagian hidup Bara, selamanya. Gak bisa ganggu gugat!" peringatnya tajam.
"Mau pake cara apa kamu?!" sentak Papa Bara masih tak yakin.
"Itu jadi urusan Bara. Jangan paksa Bara buat punya hubungan sama Indah."
"Dan Papa, Bara kaget hanya karena perusahaan ini Papa lebih memilih jalan yang salah, nggak ada bedanya sama Kakek tau nggak?!" sarkas Bara.
Papa Bara hanya diam meredam emosi yang bersarang dihatinya.
"Jujur Bara kecewa, tapi mau gimana lagi," Bara mengedikkan bahu acuh. Laki-laki itu membalik badan. Berjalan menuju pintu untuk keluar.
"Bara pergi," ujarnya setelahnya menghilang dari balik pintu.
Aryo—Papa Bara memijat pangkal hidungnya pelan. Tubuhnya ia sandarkan ke kursi.
Astaga, apa yang dia perbuat sampai Bara berucap seperti itu padanya. Jelas ia hanya emosi saat tau perusahaan yang dibangunya dari dulu akan bisa hancur dalam sekejap.
Tapi hatinya tak memungkiri bahwa anaknya itu akan bisa membalikkan keadaan. Ya pasti.
_ _ _
Vote and coment guys
Salam sayang
❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARA [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaNyatanya Bara itu Nakal. Bara itu Dingin. Bara itu kaku. Tapi bagaimana kalau si Badboy, dingin dan kaku itu akan menjadi seorang ayah?. Berbeda, Bara akan belajar menjadi ayah yang baik untuk calon anaknya. Hanya karena dijebak bersama seorang pere...