29--Pemulihan

390K 35.4K 1.7K
                                    


"Gimana bisa sampe kaya gini sih Bar?" tanya Nia, mama Bara marah.

"Bara nggak tau ma, Dara nelfon Bara dalam keadaan kaya gini," ujar Bara pelan, hatinya juga takut, resah.

"Tapi anak Mama nggak papa kan Bar?" kali ini mama Dara yang bertanya. Wanita paruh baya itu memegang tangan anaknya yang masih terbaring di brangkar dalam keadaan tak sadar diri.

"Pendarahan, pendarahan kecil. Dokter bilang habis ini bakal bangun," ujar Bara menjelaskan sesuai kata dokter tadi. Matanya menatap wajah istrinya yang masih asik memejamkan mata. Membuat rasa sesak didada lebih terasa nyata. Bara tak tau siapa yang melakukan ini, tapi pikiranya mencurigai satu orang.

"Moga gak papa," ujar Nia menenangkan. "Kita cari makan dulu yuk mbak?" ujar Nia yang tau bahwa anaknya ingin waktu berdua dengan Dara.

Mama Dara mengangguk, mereka berjalan keluar.

Setelah kedua orang tuanya itu keluar, Bara duduk di kursi samping tempat Dara berbaring.

Matanya menatap marah pada luka disudut bibir serta pipi Dara yang masih memerah, tak terlalu kelihatan memang. Tapi Bara tau itu.

Tangan Bara bergerak mengelus pelan perut Dara, terbayang akan kehilangan anaknya membuat perasaan sesak itu kembali datang, dan takut yang berlebihan. Apalagi saat melihat Dara yang terkapar dilantai kamar mandi dengan kondisi berantakan.

Bara langsung berdiri tegak saat dirasa tanganya yang memegang tangan Dara mendapat sambutan.

Tangan kanan Bara mengelus pelan rambut Dara, berharap gadis itu cepat membuka mata.

"B-bar.."

Bara tersenyum mendengar panggilan lirih itu, "hmm, aku disini," ujarnya mengecup dahi Dara cepat.

Dapat Bara rasakan pengangan Dara pada tanganya mengerat seiring mata wanita itu terbuka pelan.

"B-bar, anak aku nggak papa kan..." tanya Dara lirih, rasa ketakutan masih bersarang dihatinya. Bayangan Indah yang mengincar anaknya membuat mata Dara memanas.

"Suutt... Dia nggak papa, mamanya kuat anaknya juga kuat dong," ujar Bara menenangkan.

"Takut..." ujar Dara pelan menatap Bara.

Bara mengelus pipi Dara lembut. "Aku disini, gak ada yang berani nyakitin kamu lagi," ujarnya yakin.

"Siapa yang bikin kamu kaya gini?" tanya Bara tegas.

Mata Dara memutar ke sekeliling, sadar bahwa ia sedang dirawat dirumah sakit. "Indah, dia tau," ujarnya tanpa menatap Bara.

"Dia tau aku hamil, dia ngincer anak kita," ujar Dara lirih, matanya menatap Bara serius sehingga cowok itu bisa melihat cairan bening yang keluar dari mata istrinya.

"Aku takut... Dia tau. Dia bisa ngelakuin apa aja. Bahkan mungkin kakek kamu ikutan," ujar Dara terisak lirih. Bara dengan sigap menurunkan badan. Memeluk tubuh Dara. Mengelus rambutnya pelan berharap itu bisa menenangkan.

Bara tersenyum kecut, siapa yang bisa tenang kali ini. Ketika nyawa anak mereka yang jadi ancaman. Tak bisa dipungkiri, emosi Bara sudah hampir meledak kali ini. Menghabisi satu orang, Indah. Tapi itu bisa ia pikirkan nanti, yang terpenting sekarang adalah Dara. Wanita hamil itu yang butuh perhatian. Mengingat beban dan tekanan dalam dirinya.

"Kamu butuh istirahat, jangan mikirin macem-macem. Oke?" ujar Bara saat melepaskan pelukanya saat dirasa Dara mulai tenang.

"Tapi Indah gi-" ucapan Dara terpotong saat mata Bara memancarkan kemarahan yang berlebihan, sehingga menatapnya tajam.

"Denger?" ujar Bara tajam.

"Iya.." jawab Dara pasrah. Untuk urusan tadi ia yakin bahwa Bara pasti akan bertindak cepat. Entah bagaimana caranya, tapi Dara berharap cowok itu tak menggunakan kekerasan. Mengingat Indah juga perempuan.

Bara mengambil nampan yang berisi makanan yang sudah tersedia diatas nakas. Mulai menyendoknya, menyodokkan kemulut Dara.

Mulut Dara terbuka, menerima suapan Bara, terkesan enggan. Tapi ini demi anaknya dan juga dirinya agar cepat keluar dari rumah sakit.

"Kenapa?" tanya Bara heran ketika istrinya itu menjauhkan sendok yang ia sodorkan kemulutnya.

"Gak enak..," cicit Dara pelan.

Bara menghembuskan nafas kesal. Ini baru beberapa suap. Atensinya beralih ketika Dara memegang tanganya ragu.

"Jangan marah.." ujar Dara merengek manja.

Astaga. Kalau kaya gini gimana mau marah coba. Mata Bara menatap pipi Dara yang merona samar karena mengatakan kalimat itu.

"Makan, makanya," ujar Bara dengan sedikit ketus. Dibuat-buat tentunya. Ia hanya ingin menggoda Dara.

Bibir Dara melengkung ke bawah. Matanya memanas mendengar Bara berucap dengan nada tak bersahabat. Entah kenapa emosinya tidak stabil akhir-akhir ini.

"Baar.." ujar Dara lebih merengek. Tanganya menggoyangkan tangan Bara yang masih menatapnya tajam.

"Apa?" tanya Bara cuek, padahal mati-matian menahan senyum yang ingin keluar.

"Jangan marah.." cicit Dara pelan. Kepalanya menunduk.

"Kenapa nggak boleh? Kamu ngeyel!" ujar Bara memancing lagi.

"Gak enak, hambar tau nggak," ujar Dara sendu. Binar dimatanya meredup.

"Mau berapa lama dirawat disini?" tanya Bara.

"Besok pulang,"

"Makanya makan!"

"Ngak maauu...," tolak Dara lagi. Makanan ini memang terasa hambar dilidahnya. Sedangkan lidahnya ini tipe perasa, karena Dara juga agak pandai dalam hal masak-memasak.

"Maunya makan apa?" tanya Bara lembut.

"Eummm.. Pengin makan bakso deh, kayaknya enak. Apalagi pake sambal yang banyak gituuu.." ujar Dara dengan mata berbinar.

"Cium dulu," ujar Bara. Mana mungkin dia memberikan itu dalam keadaan Dara yang masih sakit begini.

"Nggak," ujar Dara menjauh membungkam mulutnya.

"Oke, aku yang bakalan cium!"

Cup

_ _ _

Vote and coment.

Maaf kalau masih banyak kekurangan✌.

Thank you guys✋

ALDARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang