68--Berbicara Kenyataan

357K 35K 9.3K
                                    

Dara hanya diam tak bergeming. Tubuhnya masih tak bisa digerakkan. Sekali saja ia bergerak mata rasa sakit itu akan datang lagi. Mau nangis sebenarnya, tapi ia hanya bisa tersenyum.

Mereka mengkhawatirkannya. Lalu apa yang Dara pikirkan? Matanya melirik kebawah. Tepatnya dibagian pinggangnya. Bara sedang tertidur pulas disana.

Mama Papa Dara juga tadi sudah kesini, berbincang dan bercanda. Namun sekarang disini hanya ada Bara dan dirinya. Semuanya pulang, termasuk Allard dan Seina.

Jika kalian tanya, apakah yang Dara takutkan selagi mereka melindunginya? Ancaman itu datang sendiri padanya. Mereka memang melindunginya, tapi mereka yang secara perlahan menyakitinya.

Dara hanya mengingat ucapan Indah, dia hancur maka Bara akan hancur. Hal mudah sebenarnya membuat Bara hancur. Tapi Dara juga sudah lelah dijadikan korban seperti ini.

Apalagi kondisi janinnya yang lemah, tubuhnya yang harus banyak istirahat dan tak banyak bergerak. Hal itu malah lebih memudahkan mereka untuk menghancurkannya kan?

"Engh.." tubuh Bara menggeliat. Kemudian mendongakkan kepalanya sambil menguap.

"Kok bangun?" suara lembut Dara masuk ketelinga Bara.

"Hm? Kamu juga nggak tidur," Bara memajukan kursinya sehingga wajahnya saat ini bertepatan dengan pundak Dara.

"Kenapa?" tanya Bara kemudian.

"Kenapa apanya?" Dara mengernyit bingung.

"Kenapa nggak tidur heum? Kamu butuh banyak istirahat," tangan Bara dengan hati-hati mengelus pipi Dara.

Dara terkekeh, dipaksakan. "Nggak ngantuk akunya," ujarnya tersenyum manis. Tapi Bara tak sebodoh itu, dia tau Dara sedang membohonginya dengan ucapan dan senyum manisnya itu.

"Kenapa?" nada suara Bara terdengar berat. Menatap mata Dara tajam.

"Kenapa sih?" tangan Dara dengan hati-hati dan perlahan terangkat membelai pipi Bara.

Ia tau Bara itu sadar akan nadanya yang terdengar, takut, kecewa, lelah. Semuanya.

"Bilang atau aku bakalan marah sama kamu!" Dara tersenyum tipis mendengar kalimat yang tak bisa dibantah itu.

"Indah kemana? Gimana?" tanya Dara pelan. Yang ia tau, terakhir melihat Indah yang melawan Bara. Selebihnya gelap.

"Itu? Dia udah aman. Nggak bakalan ganggu kamu lagi." kata Bara dengan sorot kebenaran.

"Aman? Kemana?"

"Sama suruhan Allard terakhir. Paling juga sekarang udah ngedekam di kantor polisi. Atau rumah sakit jiwa," jelas Bara.

Dara diam, tak menjawab. Walaupun ada rasa lega dihatinya mendengar kalimat itu.

"Rizal?" tanyanya kemudian.

"Rizal? Aku terakhir dengar dari Papa, dia kondisinya parah karena beberapa luka. Jadi kita tinggal kasih bukti-bukti kejahatan Rizal aja kepolisi."

Senyum Dara mulai terbit. Ia tenang kali ini.

_ _ _

"Ante Dala pelutnya besal!" Ares, balita kecil itu naik keatas kursi yang berada disamping ranjang Dara. Tangan mugilnya ia julurkan ke perut buncit Dara.

"Haha, iya. Ada dedeknya," jawab Dara sambil tertawa.

"Dedek?" gumam Ares bingung.

Dara tersenyum. "Iya, dedek bayi. Ares tau kan?"

"Tau! Ales tau. Adiknya Zaplan uga masih bayi!" ujar Ares kegirangan. "Ucul!" kata balita itu setelahnya.

"Ares mau?" bisik Dara. Agar mereka tak tau.

"Au ante," ujar balita itu balas berbisik.

"Minta sama Mama Papa kamu," Dara tertawa dalam hati saat mengatakan itu. Matanya melirik Seina dan Allard yang duduk disofa.

"Sip!" ujar Ares mengacungkan jempol.

Balita itu berbalik, "MAMA! PAPA!!ALES MAU DEDEK BAYI!!"

"Uhuk..uhuk!" Allard yang sedang minum langsung tersedak begitu saja.

Matanya menatap Seina yang hanya melongo. Menepuk lengan gadis itu keras.

"Sakit sialan!" umpat Seina menatap tajam Allard.

"Nanti Papa beliin!" ujar Allard setelahnya bersikap santai.

Dara memutar bola mata malas. Ia memberi tahu Ares agar mendekat.

"Yang dibuat Papa sama Mama," bisik Dara sekali lagi. Sekali-kali jahil kan.

"YANG BUAT MAMA AMA PAPA!"

"Mamak bapak lo!" sebal Seina. Wajahnya sudah memerah.

"Hus! Hus. Bocil nggak tau apa, apa!" Allard bergerak maju. Menangkap Ares kegendonganya. Emang aslinya kaya gini atau terlalu dekat dengan Allard membuat mulut Ares juga asal njeplak!

Dara tertawa keras. Pintu ruangan terbuka. Mendapati Bara yang berdiri membawa kantung plastik besar. Berisi makanan, cemilan, minuman dan lain-lain.

"OM BALA! ALES MAU!" Ares berontak dari gendongan Allard. Setelah diturunkan, balita itu berlari menuju Bara. Bukan, maksudnya kantung plastik yang dibawa Bara.

Merebutnya dan membawanya sambil berjalan tertatih. Ares memang baru lancar berjalan ataupun sedikit berlari. Tapi kosa kata yang digunakanya sudah jelas. Dia tipe orang yang bisa berbicara baru berjalan.

"Gimana?" tanya Allard langsung. Ia mendudukan tubuhnya kesofa. Menatap Ares yang sibuk membuka plastik.

"Indah, dia udah dikantor polisi. Sedangkan Rizal kondisinya masih parah. Tapi Papa sama Om Bagas udah kasih bukti-bukti yang kita dapat kekantor polisi," jelas Bara menunduk. Mengecup pelan bibir Dara. Kemudian duduk dibangku samping ranjang Dara.

"Si Frans?" tanya Allard menyebutkan nama Papa Indah.

"Ha? Dia juga ditangkep. Menggelapkan uang perusahaan Kakek selama bertahun-tahun."

"Mama Indah terus gimana Bar?" tanya Dara lembut.

"Gila kali. Keluarganya kagak ada yang bener,"

"Emm, kan Nesi itu nenek Indah. Berarti kalian saudaraan kan?" tanya Seina masih bingung.

"Nesi kan anak angkat. Pungut! Jadi nggak sedarah lah," ujar Bara menanggapi.

"Lagian kalaupun sedarah. Sifat mereka udah kaya gitu. Tetep mentingin harta. Frans, motifnya aja bales dendam. Padahal dalam hati kan juga sekalian mau cari duit," Allard menjelaskan. Tanganya ia gunakan untuk mencubit pipi Ares gemas.

"Akitt.." Seina langsung menggeplak tangan Allard.

Bara terkekeh. Ia menciumi tangan Dara yang masih di infus. Daranya sudah bangun, dan Bara siap untuk menunggu buah hatinya lahir. Sebentar lagi.

"Allard diem!" Seina menggeplak tangan Allard yang masih mencubit pipi Ares gemas.

"Lard! Diem!" cubitan kecil hinggap dilengan Allard.

"Agrh.."

"Papa ngeden a?" kata Ares mengerjapkan matanya polos.

_ _ _

Vote dan komennya ya

Salam sayang

ALDARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang