49--Teka-Teki

306K 31K 1.9K
                                    


Bara mengobrak-abrik isi lemari dengan teliti namun sedikit kasar. Matanya masih memerah menahan sakit juga amarah yang menggebu. Tak ada hasil yang didapatnya. Hanya debu yang beterbangan dimukanya.

"Tenang jing!" Allard langsung menarik lengan Bara kuat. Sahabatnya ini tak bisa mengontrol dirinya dari tadi.

"Akhh!!" vas bunga terlempar kedinding. Menghasilkan suara yang nyaring. Pecahanya menyebar tak tentu arah.

Bara memegang kepalanya kuat. Sialan! Dia menghabiskan banyak waktu untuk tertekan pada orang yang salah.

Sekarang Bara tau, mengapa Kakeknya itu seakan akan menghancurkan dunianya dalam sekejap. Bara berdecih, bukan Kakeknya. Melainkan pembunuh.

Yang masih tak dimengerti Bara adalah kenapa Papanya tak pernah memberitahu hal itu kepadanya?

Dendam masalalu. Itu yang menyebabkan dia harus patuh dibawah sikap keras Kakek Bara. Pantas saja Papanya lebih memilih keluar dari keluarga besar. Rupanya dia tau, tapi tak pernah mengatakan sedikitpun pada dirinya.

"Sini!" titah Allard duduk disofa usang penuh debu.

"Coba inget, ada hal apa yang mencurigakan dirumah ini dulu? Atau Papa lo yang selalu ngelarang lo ini itu? Siapa tau kita bisa nyari bukti lebih dalem," usul Allard. Matanya menelisik keseluruh arah. Semuanya penuh debu. Tentu saja. Rumah ini tak ditempati bertahun-tahun.

Otak Bara memutar kejadian waktu semasa dirinya masih tinggal dirumah ini. Dilarang? Tak pernah. Bara dibiarkan bebas asal tak kelewat batas.

Sofa yang mereka duduki adalah ruang keluarga. Diujung sana, Bara menemukan pintu yang tampak asing baginya.

Bukan karena baru dibangun atau apa itu. Dulu setiap dia mau masuk ke situ. Papanya pasti melarang.

Bara langsung berdiri. Satu larangan, dia menemukanya. "Kita kesana," tunjuk Bara pada pintu yang menjulang tinggi.

Allard mengernyit. Dia tau pintu itu. Tak sekali dua kali dia ingin masuk tapi langsung diberi tatapan tajam oleh Papa Bara. Dulu sekali, waktu mereka masih bersama setiap saat.

"Iya, gue tau apa yang lo maksud," ujar Allard. Bara pasti mengalami hal yang sama. Dilarang untuk memasuki ruangan itu.

Mereka berjalan cepat. Sesampainya, tangan Bara langsung bergerak ingin membuka pintu yang sialnya dikunci rapat.

"Sial! Gimana?" tanya Bara kesal.

"Kita dobrak,"

"Gila aja. Pintu segede ini mau didobrak," cibir Bara.

"Cepet!" perintah Allard membuat Bara mendengus. Tapi tak urung melakukanya.

Mereka mengambil ancang-ancang. Berlari kuat mendobrak pintu itu dengan tubuh besar keduanya.

Braakk

Gagal.

Keduanya mengambil ancang-ancang lagi,

Braaakkk

Dan ya, pintu terbuka. Mereka menganga, hanya sebuah kamar yang luas.

"Kamar Kakek," lirih Bara mengerti. Keduanya mulai menjelajah masuk.

Tatapan Bara terkunci pada sebuah foto. Disana perempuan cantik serta laki-laki berpose tersenyum manis. Bergulir pada foto yang lainya. Allard yang langsung memegangnya. Dua laki-laki yang kira-kira seumuranya berpose saling merangkul damai.

"Lihat," Allard mengusap foto yang sedikit usang. "Ini Kakek lo, Kakek Reno. Yang sebenarnya," ujar Allard lirih.

Bara ikut mengamati. Wajah keduanya memang agak terlihat beda. Bara bisa mengetahui mana yang Rizal dan Reno.

"Dia mirip banget sama lo dan sama Om Aryo. Kalian emang kaya orang kembar," gumam Allard mengamati dalam dalam.

"Ucapan itu benar, Bi Ika benar. Kita udah punya buktinya Lard," mata Bara kembali memerah menahan tangisan. Kepalanya mendongak, diujung terdapat figura besar. Foto pernikahan. Senyum paksa menghiasi keduanya karena memang hanya dijodohkan. Tapi foto lainya membuktikan bahwa mereka memang saling mencintai.

Mata Bara mulai buram. Ia beralih kemeja disebelahnya. Dahinya mengernyit mendapati secarik kertas yang ada.

Kertas itu terlihat usang. Melipat lipat. Bara membukanya. Tulisan yang sudah sedikit pudar ada didalamnya.

"Bar," Bara menoleh, menutup kertas itu dan menaruh disakunya. Disana Allard sedang mengobrak-abrik laci nakas.

Langkah kaki Bara menghampiri Allard. Dapat dilihat olehnya Allard yang membolak-balikkan kertas yang ditaruh dalam stopmap bewarna merah.

"Gue tau ada yang janggal,"

Allard menoleh kearah Bara dengan raut serius. Membaca surat-surat penting yang ada didalamnya.

"Lihat," mata Bara menajam membaca surat tersebut. Otaknya teringat perkataan Bi Ika tadi.

"Gue inget, kita bicarain diluar," ujar Bara menarik tangan Allard untuk keluar.

Mereka keluar rumah besar nan megah itu. Bukan apa-apa. Berdua dengan Allard dirumah besar kosong penuh debu serta sedikit gelap tentu membuat Bara sedikit tak nyaman.

Didepan rumah terdapat dua kursi serta satu meja didepanya. Mereka duduk disitu.

"Kakek belom meninggal," ujar Bara tiba-tiba membuat Allard mengernyit heran.

"Maksud lo?"

"Lo pikir aja. Mungkin Papa terlalu ingin menghapus kenangan pahit masa kecilnya dengan menutup rapat-rapat kamar Kakek. Bahkan kita nggak boleh masuk sama sekali. Sedangkan barang-barang peninggalan Kakek ada didalamnya kan tadi?" Allard mengangguk mendengar penjelasan Bara.

"Dan surat ini? Ini berkas-berkas penting. Ditambah ada surat kepindahan Kakek. Gue yakin Papa nggak tau tentang ini. Kalau tau pasti dia langsung cari Kakek dimana aja tempatnya."

Allard diam tak bergeming, matanya masih membaca berulang kali berkas-berkas ditanganya.

"Kakek Reno seolah permainin kita Bar. Dia mungkin sengaja ninggalin beberapa bukti-bukti agar kita dapet nemuin dia," ujar Allard menanggapi.

"Ya, dan gue yakin posisi Kakek belom meninggal saat hilang dulu. Bi Ika bilang kalau seluruh keluarga besar nggak ada yang tau hilangnya Kakek kan? Bahkan Nenek ataupun Papa,"

Opini mereka terlihat sangat meyakinkan dengan faktanya.

"Hmm, gue setuju sama lo."

"Tapi apa lo yakin bahwa Rizal nggak tau kemana Kakek lo pergi?"

Pertanyaan Allard itu membuat Bara terdiam.

"Nggak mungkin. Kalau Rizal tau, kemungkinan dia nggak ngebalesin dendamnya sama gue ataupun Papa." ujar Bara sedikit ragu.

"Lo yakin?"

_ _ _

Vote and coment guys

Salam sayang

ALDARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang