"Dara kenapa?" tanya Dimas langsung. Pria itu buru-buru pergi ke rumah sakit saat menantunya itu menelfon.
"Parah," gumam Bara. Singkat tapi sangat jelas dan mampu membuat semua orang yang berada disana lemas.
"Maksud kamu apa Bara?!" Nia- Mama Dara menangis keras. Anaknya sedang hamil, dan kenapa bisa jadi seperti ini.
"Maafin Bara Ma," ujar Bara parau. Cowok itu tak menangis. Tapi dadanya terasa sesak saat menahan tangisan yang ditahanya dari tadi.
"Dara kekurangan darah," ujar Allard menjelaskan.
"Ambil punya saya, kebetulan golongan darah Dara sama dengan milik saya," hal itu mampu membuat senyum orang disana sumringah. Tidak dengan Bara, meskipun hatinya lega. Sangat lega.
"Saya anter Om," ujar Allard menawarkan. Ia yakin sahabatnya itu tertekan luar biasa. Ditambah lagi Bara pasti masih menahan sakit saat goresan luka yang terdapat banyak ditubuh Bara belum diobati.
Tidak mau, alasan yang bodoh. Bara sangat khawatir dengan kondisi Dara sampai tubuhnya tak diperhatikan. Dara aja yang luka sayatanya banyak bisa kekurangan darah, masa Bara nggak takut?
"Ikutt.." rengek Ares yang langsung jadi perhatian Dimas.
Bagas-Papa Allard dan Aryo masih mengurus masalah kekacauan yang ditimbulkan oleh Rizal. Sedangkan untuk urusan Indah, Allard memerintahkan Abang. Salah satu orang kepercayaannya.
"Sama Mama dulu," kata Allard membuat Ares cemberut menatap Papanya.
"Akal!" tangan mungil Ares memukul Allard kesal. Ni bocah emang nggak tau lagi keadaan genting ya.
"Mama mau beli es krim. Mau nggak?" tawar Seina mengalihkan.
"Es klim?" Seina mengangguk. Ia menggendong Ares tanpa persetujuan balita itu.
"Yang melah," pesan Ares. Seina hanya mengangguk menanggapi. Tak peduli nyambung atau tidak. Pokoknya biar nggak nempel ama bapaknya mulu.
Setelah melihat Seina dan Ares menjauh, Allard mengantarkan Dimas kedokter yang menangani Dara. Meninggalkan Bara dan Mama Dara disana dalam keadaan canggung.
Bara bangkit, tanpa suara. Dia berjalan tak menghiraukan Mama Dara yang hanya diam menatapnya pergi. Bara butuh ketenangan saat ini.
_ _ _
"Dara baik-baik aja Bar," ucapan itu menyadarkan Bara dari lamunanya. Cowok itu malah tersenyum getir.
"Papanya udah donorin darah kan?" kata Allard meyakinkan. Ia menemukan Bara berada lantai atas rumah sakit. Hanya diam tanpa bicara menikmati semilir angin.
"Ya," jawab Bara singkat.
"Lo kenapa sih?" tanya Allard. Dia memang cuek terhadap keadaan luar. Tapi tidak dengan Bara, mereka tumbuh bersama dari kecil. Sudah sangat tau sifat masing-masing.
"Kenapa? Lo pikir! Gimana gue bisa tenang saat Dara dalam kondisi kaya gitu?" sinis Bara. Cowok itu menahan rasa sesak didada. Nada suaranya pun terdengar parau.
"Setidaknya dia bakal bangun sekarang!" kata Allard tak kalah ngotot.
"Hmm, tau."
Bara hanya singkat menjawabnya. Mereka sedang dalam kondisi yang dikatakan parah. Banyak jahitan yang dilakukan melihat banyaknya sayatan ditubuh Dara. Dara dan anaknya.
Meski berawal dari kesalahan. Tapi Bara menyukai takdirnya kini. Takdir yang harus membawa Dara dalam keadaan rumit. Nyawa keduanya dipertaruhkan hanya karena dendam.
"Ares mana?" Allard menoleh. Ia duduk disamping Bara.
"Sama si Seina," ujar Allard singkat.
Setelah itu hanya keheningan yang mewarnai. Bara dengan pikiran kalutnya, Dara tak akan meninggalkanya kan? Sekali lagi pikiranya berujar seperti itu.
Dara itu hidupnya, wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Dulu mungkin awal menikah, Bara sedikit risih. Walaupun sikap itu tak ditunjukan secara nyata.
Menikah muda karena satu kesalahan tak ada dalam rencana hidupnya. Apalagi Bara yang tak pernah dekat dengan perempuan manapun. Jadi jika ada seseorang baru dihidupnya maka Bara akan merasa sedikit tak nyaman.
"Dara nggak akan ninggalin gue kan?" pertanyaan itu muncul begitu saja dari mulut Bara.
"Nggak lah, ngaco!"
"Tapi anak gue?" lanjut Bara. Hal itu membuat Allard terdiam. Kondisi janin Dara memang melemah.
Allard juga bukan tuhan yang bisa tau kapan mati dan hidupnya seseorang.
Ponsel Bara berdering. Papa Dara yang menelfonya.
"Kamu kemana? Saya sudah selasai," ujar Dimas dari sebrang sana tegas.
"Dara bangun?" ujar Bara. Seulas senyum menghiasi bibirnya.
"Belum," hal itu membuat senyum Bara luntur.
"Oh," hanya itu tanggapanya sebelum telfon dimatikan.
_ _ _
"Aku udah kengen masa," adu Bara. Kepalanya ia telusupkan ke pinggang Dara. Mendumel pelan disana.
"Yang," panggil Bara parau. Tanganya dengan hati-hati memeluk pinggang Dara. Banyak luka yang belum kering.
Tak ada jawaban. Hal itu membuat Bara terkekeh pelan. "Bangun ih!" ujar Bara sedikit memaksa.
Nyatanya mata itu tetap tertutup rapat. Mencoba menahan sakit yang ada. Bara mendongak. Menatap wajah Dara yang pucat pasi serta banyak luka lebam diwajahnya.
"Nakal," ujar Bara. Nadanya terdengar bercanda. Tapi tidak dengan keadaanya. Setitik air keluar dari sudut matanya.
Tubuh Bara sudah diobati. Pakaiannya pun berganti menjadi kaus putih polos bersih. Tapi Dara tak kunjung bangun setelah berjam-jam Dimas mendonorkan darahnya. Hal itu membuat semangat Bara luntur.
Tangan besar Bara bergerak kearah perut buncit Dara. Mengelusnya lembut.
"Hallo," sapa Bara tersenyum tipis.
"Kuat dong, biar Papa juga kuat," ujar Bara parau mengajak bicara janin yang dikandung Dara.
"Sayang kalian," ujar Bara kemudian. Tanganya tetap mengelus lembut perut Dara.
"Mama kamu nakal, nggak bangun bangun. Kamunya cepet bangun ya," pinta Bara menenggelamkan kepalanya kembali ke pinggang Dara.
Menangis disana. Katakan saja Bara cengeng, tapi itu kenyataanya. Lebih sakit melihat Dara menutup mata daripada terkena sayatan ditubuhnya.
Tangisnya berhenti saat merasakan elusan lembut dirambutnya. Terkesan lemah.
"Yang?" panggil Bara memastikan.
"Hm," hal itu membuat Bara tersenyum manis. Dengan cepat Bara mendongakkan kepalanya. Manatap mata Dara yang terlihat sayu seta senyum tipis dibibir pucatnya.
"Hua.. Kamu bangun!" kata Bara semangat. Ia memeluk tubuh Dara erat.
"Sakitt," rintihan Dara mampu membuat Bara kalang kabut. Ia lupa luka Dara banyak yang belum kering.
"Gimana? Dimana? Maaf.. Maafin aku," ujar Bara panik. Dara hanya tersenyum tipis.
"Yaangg.." rengek Bara. "Aku mau nangis," ujar Bara parau.
Dara memutar bola mata malas mendengar ucapan lebay Bara. Tapi juga tersenyum saat Bara kembali memeluknya lembut. Menangis.
_ _ _
Tanggapan kalian tentang cerita ini gimana sih? Cuma tanya
Vote dan komen ya
Salam sayang
❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARA [SUDAH TERBIT]
TeenfikceNyatanya Bara itu Nakal. Bara itu Dingin. Bara itu kaku. Tapi bagaimana kalau si Badboy, dingin dan kaku itu akan menjadi seorang ayah?. Berbeda, Bara akan belajar menjadi ayah yang baik untuk calon anaknya. Hanya karena dijebak bersama seorang pere...