21. Keluarga

51 22 3
                                    

{SELAMAT MEMBACA CERITA INI, JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT♡}

****

Eva mengantar Naysa pulang, di perjalanan mereka hanya diam tak ada perbincangan, cukup sunyi. Mereka teringat jelas bagaimana Mutia menangis ketika tau Ayahnya meninggal.

Naysa tak pernah kenal dengan Ayah Mutia, melihat saat sehat pun tidak, tapi ia dapat merasakan kesedihan Mutia tadi, ia juga punya Ayah, walaupun Ayahnya tak pernah menyayangi nya, ia tetap menyayangi Ayahnya, sebelum Naysa benar-benar bahagia, Naysa tak mau Ayah ataupun ibunya dipanggil oleh sang kuasa.

Mobil berwarna merah dengan lancar melewati jalanan kota, sampai akhirnya mobil itu masuk ke komplek perumahan Naysa. Eva sebelumnya sudah menanyakan di mana rumah Naysa, dan kini mobil itu sudah terparkir di depan rumah Naysa.

Ada pemandangan yang cukup membuat Naysa heran, ada 5 mobil yang  terparkir di depan rumahnya.

"Ada apa Nay? Kayaknya rame deh rumah lo?" Eva bertanya kala melihat banyak mobil-mobil mahal terjejer di hadapan rumah Naysa.

Naysa mengangkat kedua bahunya. "Kayaknya temen-temen ibuku lagi arisan."

Eva mengangguk, ia pamit kepada Naysa. Lalo mobil itu melaju dengan apik hingga tak terlihat lagi oleh mata Naysa.

Naysa melangkah nemasuki gerbang rumahnya, mobil-mobil itu sepertinya tak asing, Naysa membuka pintu rumahnya, sudah ada banyak orang di dalamnya. Mereka adalah keluarga besar Naysa.

Canda, tawa dan perbincangan seketika berhenti ketika Naysa masuk ke dalam rumah itu. Semua seakan mematung, bumi seakan berhenti berputar.  Naysa meneguk salivanya susah payah, ia mendekati satu-satu keluarga besarnya dan menyalami tangannya. Setelah itu, Naysa langsung menuju ke atas, ke kamarnya.

Nenek, Om, Tante, dan Sepupu Naysa semuanya melihat ke arah Eza, Muka dan mata mereka semua seakan meminta penjelasan.

"Ngga perlu di kasih tau, kalian pasti udah tau jawabannya!" Eza dengan santai menjawab lalu menegak minumannya.

"Selama itu dia nanggung beban sendirian? beban yang gatau asalnya darimana?" Tanya Eric menggelengkan kepalanya tak percaya sembari menatap Adiknya, Eza.

"Seharusnya saya bisa lebih kaya dari Mas-mas, gara-gara dia, kekayaan kalian melebihi saya!" Eza seakan tak mau disalahkan.

Eno, Kaka tertua ikut menimpali. "Rasanya kurang etis, ketika kamu berlaku seperti itu pada orang yang tak pernah tau kesalahannya apa,"

Eza memandang kedua kakanya. "Halah, kalo kalian ada di posisi saya juga kalian bakal berlaku seperti itu!"

Semua yang ada di ruangan itu tak ada yang bersuara selain menontoni ketiga bersaudara yang sedang berdebat.

"Saya tidak gila kekayaan seperti kamu!" Eric menunjuk Eza tak sabar.

"Tapi, kamu bekerja siang malam tanpa henti! Buat apa kalo bukan buat harta hah?!" Eza seperti tak takut dan terus menantang.

Sebelum keadaan semakin panas, Rani--Nenek Naysa lebih dulu melerai ketiga putranya. "Cukup! Cukup! Kalian bertiga sama, hanya memikirkan harta saja!"

Rani berdiri sambil dibantu tongkatnya,  walau usianya sudah hampir menuju 70 tahun, Rani tetap cantik dan elegan. Ia berjalan ke tangga atas menuju kamar cucunya.

RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang