31. Pernikahan (3)

7 4 0
                                    

Gavin dan Naysa berjalan beriringan memasuki kembali ruang acara. Setelah memasuki ruangan, Naysa mengajak Gavin duduk di kursi yang berada hampir di pojok ruangan.

"Nay, mau mojok?" tanya Gavin, ia menggelengkan kepalanya, "Jangan dulu lah, Nay."

Naysa mengkerutkan dahinya. Pikiran Gavin sudah terlalu jauh menembus cakrawala, "Ngga mojok, cuman mau nonjok!"Naysa kemudian menarik Gavin cepat menuju kursi yang sudah ia tentukan.

Para tamu kian berdatangan, sebentar lagi acara akan dimulai. Besar kemungkinan, acara ini akan berakhir sampai tengah malam.

Terlihat dari arah Naysa duduk, para tamu saling menggandeng pasangan masing-masing. Ada yang tengah suap-menyuap kue, ada yang tengah berfoto untuk mengabadikan momen, ada pula yang tengah bermesraan seperti tengah berada di dunianya sendiri. Semua tampak bahagia. Mata Naysa tertuju pada Laras yang terlihat bermanja-manjaan pada Anggara. Sangat menggemaskan sekali pasangan halal itu.

"Nay, waktu lo nyuruh gue dateng kesini, lo lucu," ucap Gavin sambil tersenyum geli, mengingat momen dimana Naysa memintanya untuk datang ke acara ini.

"Gausah di inget," ketus Naysa. Benar-benar menyebalkan. Entah setan dari daerah mana yang membuat Naysa berlaku seperti itu saat meminta Gavin datang ke acara ini.

Langkah kaki terdengar mendekat, Gavin mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. Gavin menyenggol lengan Naysa, memberitahu pada Naysa, bahwa Laras dan Anggara sedang berjalan ke arah mereka berdua.

Naysa dengan refleks menggenggam tangan Gavin. Gavin lagi-lagi terkejut, bukannya melepas, Gavin justru membalas genggaman tangan Naysa, membuat jari mereka saling bertaut.

"Ini, pacar kamu, Nay?" tanya Laras dengan nada menggoda.

Naysa tersenyum canggung, ia tidak mengiyakan juga tidak membantah.

Senyum jail timbul di wajah Laras, "Sejak kapan?"

Gavin dan Naysa saling bersitatap, seakan sedang bertelepati.

"Belum lama, Kak." Naysa berusaha menjawab dengan santai, meskipun dalam rongga tubuhnya, desir darahnya, begitu menggila di dalam sana.

Jantung Gavin tak kalah berdegup kencang. Ia melilirik Naysa dalam. Wajah Naysa terlihat tegang namun berusaha selalu menampilkan senyum manis yang mampu meluluhlantakkan perasaan Gavin. Dada Gavin serasa terguncang oleh senyuman itu.

Gavin berdiri, ia lupa mengenalkan dirinya pada  kakak Naysa, ia juga lupa belum memberikan ucapan selamat. Gavin mengulurkan tangannya yang disambut oleh Anggara, "Gavin Mahesa."

Anggara tersenyum, "Anggara."

Laras ikut tersenyum, "Laras."

Gavin merogoh kantong celananya dan mengambil secarik kertas yang berada di dalam kantong celananya, "Maaf kak, tadi siang saya pesen hadiah untuk pernikahan kalian, ternyata datangnya telat, jadi saya suruh mereka langsung datang ke kalian. Nanti, kalo udah datang, tinggal serahin ini aja ya, Kak."

Laras menerima kertas yang diberikan Gavin, ia membaca tulisan yang berada di kertas berukuran mini tersebut. Mulut Laras tiba-tiba ternganga, terkejut dengan nominal total yang berada di kertas itu, "I-ini ga salah?"

Naysa menatap Gavin dengan tatapan bertanya, Gavin menggelengkan kepalanya, "Ngga salah Kak, maaf karena hadiahnya telat."

Laras menggelengkan kepalanya. Ia terkejut bukan main. Laras menyuruh Anggara ikut menatap note yang diberikan Gavin. Anggara pun tak kalah terkejut, itu bukan nominal yang biasa, itu luar biasa, apalagi untuk ukuran anak sekolahan seperti Gavin. Ini seperti mimpi.

RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang