Udara terasa begitu menyengat dengan suhu yang kini menunjukkan pukul 46 derajat celcius dengan pemberitahuan lain yang mengatakan jika suhu terasa seperti 50 derajat celcius—Angin berhembus begitu kencang dengan kecepatan 145km/jam, sangat cepat dengan awan yang kini tampak memenuhi langit di atas keringnya pijakan barat laut Afrika—
Mauritania, sebuah negara di Afrika yang juga biasa di sebut sebagai Republik Islam Mauritania—Negara yang cukup besar di wilayah Afrika dengan 90% lahan yang termasuk Sahara Dalam sehingga curah hujan lebih sedikit dibandingkan negara Afrika lainnya. Bangunan berwarna coklat berdiri begitu megah, gurun membentang —Hanya saja, 20% penghasilan masyarakat dibawah rata- rata.
Negara itu—Sebuah negara yang kini memiliki masalah hak asasi manusia yang begitu tinggi—Poligami, pekerja anak adalah hal utama dan itu begitu mengiris hati sosok pemuda yang berada di sebuah kota, barat laut Mauritania—Kota kecil bernama Ouadane dengan beberapa orang yang hanya menggunakan pakaian putih membalut tubuhnya—Mungkin pakaiannya khasnya menunjukkan keagamaan mereka.
Kaki kecil itu melangkah ditengah angin yang begitu ribut setelah menyelesaikan penelitiannya pada penemuan yang di laporkan oleh pemerintah setempat pada dunia karena memang— Reruntuhan di Kota ini adalah salah satu warisan budaya semenjak di tinggalkan pada abad ke 16 dan sesuatu yang kembali ditemukan oleh warga merupakan salah satu harta karun yang mungkin bisa menjadi sejarah nantinya.
Kaki kecilnya berhenti melangkah dibawah menara yang cukup tinggi dan dijadikan warisan kebudayaan—Berwarna coklat bebatuan menjulang keatas membuat iris hitam menyusuri bangunannya, mendongak hingga sudut matanya berkerut. Mungkin, dirinya tidak akan menyesal telah berkunjung ke Negara Islam ini, begitu indah walaupun udah cukup panas.
"Ksour Of Ouadane—"
Bibir tipis itu bergumam singkat menatap menara yang begitu megah membuat kakinya melangkah menyusuri bangunan yang hancur dan dijadikan warisan budaya itu—Begitu sepi dengan angin yang terus berhembus cukup kencang membuat keringatnya kembali kering dan mungkin ia akan terkena flu setelah kembali ke Hotel—
Jemarinya menyusuri batu bata kasar itu hingga jemarinya menemukan sebuah gambaran kecil menggunakan batu bata, membuat tatapannya menyendu karena sepertinya ada seorang anak yang tak memiliki alat untuk menggambar hingga mereka menggambar di bebatuan—Ia menghela nafasnya dan kembali melangkah, menyusuri reruntuhan kota itu sebelum menggunakan kaca mata hitam miliknya karena angin semakin kencang membawa debu halus mengenai mata.
Namun, langkahnya kembali berhenti—Kemudian mundur beberapa langkah ketika mendapati bangunan yang cukup megah tanpa pintu masuk yang sedikit berbeda, dibiarkan terbuka dengan bagian puncaknya mengerucut tempat masuk tanpa pintu itu. Ia memiringkan kepalanya sebelum tersenyum tipis.
"Sebuah tempat ibadah—"
Kakinya kembali melangkah mundur dengan jemari yang mengepal dibalik punggungnya, menatap kemegahan masjid yang tak lagi terpakai sekarang. Iris hitam di balik kacamata itu mengedar dengan pikirannya yang terus memaksanya untuk masuk kedalam bangunan dimana muslim melakukan ibadah disana—Hanya saja, pemuda itu menghargainya dan ia tidak akan menginjakkan kaki disana. Agamanya berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ring Solar Eclipse [TAEKOOK]
Romance"He had the magic in his eyes, even the stars envied" Menyeramkan ketika aku yang datang ke tempat dimana hanya ada gelap dan dingin yang begitu menakutkan-begitu sepi sebelum mata kegelapan itu menyapa, menarik ku penuh penuh amarah. Namun, ketika...