'Bentuklah sebuah garis, dari timur, barat, selatan, utara—membentuk layaknya daun dengan tiga tulang daunnya terpusat pada Alathana yang begitu agung dan megah'
Bahasa lampau itu begitu sulit membuat seorang Tetua Lanarta membuka buku lama yang memberikan sedikit artinya—Ini seperti bahasa langit dan tidak di mengerti oleh makhluk di Alathana. Mereka sengaja, menyembunyikan apa yang mereka ketahui dari para makhluk yang mungkin serakah melampaui kekuatannya.
'Lalu ucapkanlah 'Colonusaposa' secara bersama kearah langit yang tengah terjadi gerhana, layaknya cincin begitu agung milik Copanus maka dunia akan terbuka di pusat Alathana dengan pasir yang menggulung— berdirilah disana, maka kehidupan bersama sebuah bunga mitos itu akan tiba'
Jinalarta terdiam dengan irisnya yang kini menatap kearah lain, kearah salju yang turun cukup lebat untuk malam ini. Ia menyentuh dagu kecilnya, mengusapnya pelan dengan tatapan kosong sebelum pandangan itu menunduk dan membuka lembar lainnya—Jinalarta tidak percaya, dengan apa yang di bacanya malam ini.
'Kegagalan mungkin akan datang menyebabkan dimensi yang rusak dan akan selalu terbuka secara tiba- tiba—'
Jinalarta menganggukkan kepalanya dengan sebuah ilustrasi gambar diatas kertas berwarna coklat tua itu—Sedikit menyeramkan seolah memperingati bahwa kerusakan dimensi bukan lah hal yang sepele dan itu benar. Alathana pernah mengalami dua kali kehancuran karena kerusakan dimensi itu membuat Jinalarta memijat pelipisnya dan membaca halaman lain.
"Bukalah kembali gerbangnya dengan bantuan tujuh Lanarta dan satu bangsawan hingga gerbang itu akan tertutup—Selama yang mereka inginkan"
Iris abu itu tersembunyi dengan tubuhnya yang kini dihempaskan pada sandaran dengan helaan nafas yang terasa begitu ringan setelah menemukan cara agar gerbang itu kembali tertutup dan tidak terbuka secara tiba- tiba, membuat Jinalarta terdiam dengan kepalanya yang mengangguk pelan diikuti senyuman tipisnya.
"Alathana akan aman—" gumam Jinalarta yang kemudian mengirimkan hasil bacaannya pada Raja yang mungkin telah menunggu hasilnya. Hanya saja, Jinalarta terdiam dengan iris yang menatap kosong kearah langit- langit rumahnya.
"Manusia itu—tetap lemah dengan dinginnya Alathana walaupun dia—seorang Lanarta, atau mungkin dia seorang Lanaorda"
***
Kelopak monolid itu mengerjap pelan, mencoba terbuka ketika ia merasakan kecupan basah di wajahnya membuat keningnya berkerut dengan posisi tubuh yang kini menyamping, sedikit meringkuk seolah bersembunyi di dalam selimut. Pemilik kelopak monolid itu mengerang singkat dengan lengan yang ia arahkan untuk mengusir seseorang yang menganggu tidurnya.
Namun—lengannya digenggam begitu hangat, sangat hangat membuat kelopak monolid itu perlahan terbuka memperlihatkan iris hitamnya yang begitu sayu—mengarah pada sosok pria yang memberikan senyumannya yang begitu hangat serta tatapan berwarna madu yang begitu teduh membuatnya tersenyum tipis walaupun mata itu terpejam.
"Sangat mengantuk? Setelah menangis semalaman karena takut?"
Iris hitam itu kembali terlihat dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, mengingat apa yang dilakukannya semalam, menangis tanpa henti dan melarang agar Raja bicara. Ia sangat malu dan pagi ini Raja menggoda nya membuat nya semakin merasa malu dan ingin menenggelamkan dirinya di sungai besar di perbatasan Alathana.
"Perlihatkan wajahmu padaku, Raciru—Aku merindukanmu"
Jantungnya berdetak cepat mendengar ucapan berani dari Raja membuat nya menurunkan sedikit selimut dan hanya memperlihatkan mata monolid yang mampu membuat Raja tersenyum, menatap keindahan iris berwarna hitam yang mampu membuat hatinya berdebar seperti ini, mampu membuat nya merasa begitu bahagia dan merasakan jika Alathana adalah negeri yang begitu terang dengan udara dingin dan keresahan mengenai gerhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ring Solar Eclipse [TAEKOOK]
Romance"He had the magic in his eyes, even the stars envied" Menyeramkan ketika aku yang datang ke tempat dimana hanya ada gelap dan dingin yang begitu menakutkan-begitu sepi sebelum mata kegelapan itu menyapa, menarik ku penuh penuh amarah. Namun, ketika...