Prolog

133 24 9
                                    

Secara natural, dari mata ini terbuka, lalu aku menjadi bayi, sampai hidup menua di bumi ini, aku benar-benar tidak menyangka yang namanya dunia ternyata kejam sekali. Sepotong es loli membutuhkan uang seribu rupiah untuk bisa kau cicipi. Begitu murah, begitu mudah bagi orang lain. Tapi bagiku, mendapat seribu rupiah itu cukup sulit, sebab, aku tidak beruntung. Lahir di keluarga yang miskin itu sungguh tidak enak. Mau minta uang saja harus pintar-pintar membaca kondisi hati dan dompet Ibuku. Salah sedikit bisa fatal akibatnya. Karena pernah, suatu hari Ibuku mau tidak mau harus menahan rasa malunya untuk sekadar mengatakan, "maaf mas, tidak jadi." Kepada pedagang es krim yang sudah terlanjur kugiring sampai ke depan rumah.

Setelahnya, aku tidak dapat es krim, tapi aku kena marah. Aku bahkan tidak sempat untuk merasa kecewa karena Ibu memintaku untuk mengerti kondisi keuangan keluarga. Well, Aku baru berumur 5 tahun tapi sudah diminta mengerti urusan orang dewasa. Itu mungkin cukup berlebihan, tapi aku selalu bisa melakukannya. Aku belajar untuk selalu mengerti dan akhirnya tumbuh menjadi seorang gadis yang pengertian.

Caraku dihukum oleh Ayah untuk hal-hal yang kecil juga cukup keras. Tidak perlu kujelaskan lagi bagaimana caranya, sebab kurasa, aku tidak sendiri yang merasakan hal itu. Semua orang di masa kanak-kanaknya akan mendapatkan pukulan jika berbuat kenakalan. Terlebih aku anak perempuan. Anak perempuan tidak sepantasnya membuat kenakalan jika tidak mau masa depannya hancur berantakan. Dan sepertinya, masa depan itu sangat menakutkan. Sebab, dia membuat banyak orang tidak berani menggunakan waktu untuk bersenang-senang guna memenuhi apa yang mereka inginkan. Termasuk aku.

***

Dream First ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang