Part 21 : Ricky Setiawan

19K 305 10
                                    

Part 21 : Ricky Setiawan

#AuthorPOV

"Jadi, mendiang ayahandamu, meninggal karena terbunuh ketika menonton Orkes." Tanggap dr. Endah dengan nada penuh iba dan bela sungkawa.

"Iya dok." Ucap Maria sembari mengusap air matanya ynag mulai luluh membasahi pipi. Ia teringat perangai bapaknya, walau sebenarnya bapak tak terlalu dekat dengan anak-anaknya. Bapak jarang sekali mengobrol, kerjaannya dirumah hanya menonton televisi dan merokok di teras rumah. Ia juga jarang keluar rumah jika tak ada acara.

"Hmn,,, apa pelakunya sudah ketemu?" Tanya dr. Endah kepada Maria yang tersedu-sedu.

"Su,,,sudah dok. Ia dipenjara selama 2,5 tahun." Jawab Maria terisak.

"Apa! Kok dua setengah tahun." Sesal dr. Endah yang menyayangkan seorang pembunuh dihukum seringan itu. Seharusnya pembunuh bisa dihukum lebih dari seumur hidup.

"Ya, kakak sudah menanyakan ke pengadilan. Katanya, itu kasus perkelahian yang menimbulkan korban jiwa. Hukumannya cukup ringan karena si Aryo dalam pengaruh alkohol." Ucap Maria yang mulai menenangkan diri.

"Kamu kenal orang itu!" Ucap dr. Endah dengan nada jijik.

"Ya, dok. Aryo adalah teman sekelas saya di SMA. Bisa jadi kami bertetangga. Ia anak kampung sebelah. Setahuku, ia sudah keluar dari penjara tahun lalu." Ucapan Maria terdengar geram ketika menceritakan Aryo yang telah merenggut nyawa bapaknya.

===============
Waktu itu, musik berlanggam dengan keras. Aroma tuak dan minuman keras terhampar dimana-mana. Acara pernikahan memang telah usai, namun Orkes Organ Tunggal harus tetap berlangsung sampai kumandang Adzan Maghrib.

"Mang Hari, kok duduk aja. Ayolah goyang. Lihat nah, penyanyinya seksi!" Ajak seorang pria yang mengajak Pak Hari yang sedari tadi hanya duduk di kursi seraya menatap para pemuda bergoyang di depan panggung.

"Hahahaha,,, biarlah yang muda-muda aja." Ucap Pak Hari yang tersenyum ramah. Entah kenapa? Waktu itu Pak Hari enggan untuk bergoyang. Biasanya ia selalu didepan panggung mengikuti irama lagu. Tetapi dipikirannya bukanlah itu. Ia memikirkan anak gadisnya yang belum menikah. Ia memikirkan Maria yang mau tak mau harus menikah. Pak Hari bersyukur, ada seorang pria yang cukup tampan dan mapan mau datang kerumahnya.

"Hmn,,, kontraktor ya. Jangan aja habis kontrak langsung tekor." Batin Pak Hari membanggakan calon mantunya sendiri.

Tadi, setelah usai acara pernikahan ia bertanya kepada sang empunya acara. Atau lebih tepatnya bapak dari anak perempuan yang telah dipinang itu. Pria yang meminang itu menghantarkan mahar sebesar 50 juta dan 4 suku emas (1 suku = 6,8 gr). Lalu, Pak Hari juga bertanya berapa dananya untuk acara pernikahan ini. Ternyata acara pernikahan itu mengeluarkan dana sebesar 70 juta, alias si tuan rumah harus nombok.

Pak Hari berpikir, apakah tabungannya itu cukup untuk menggelar acara sebesar ini. Padahal, menurutnya acara ini masih biasa saja. Tidak seperti acara pernikahan anak Pak Haji Subhan yang besar-besaran itu. Sampai-sampai memesan tenda seluas empat lapangan bulu tangkis. Acara ini masih biasa saja dengan biaya sebesar 70 juta ini.

Itulah kenapa Bapak empat anak itu terdiam dikala lagu kesayangannya dinyanyikan. Anaknya yang pertama menikah dengan hasil kebun yang masih dihargai tinggi. Pernikahannya cukup mewah karena saat itu Pak Hari masih memiliki kebun karet dan karet merupakan komoditas mahal. Anak kedua Pak Hari seorang pria, terpaksa ia menggadaikan separuh kebunnya kepada menantu Pak Lurah karena keluarga calon mantunya meminta uang asap yang cukup besar. Lalu anak ketiga pak Hari juga sama, belum lunas hutang tanah yang digadaikan ke menantu pak lurah. Terpaksa, Pak Hari harus menggadaikan semua kebun yang tak seberapa luas itu kepada menantu Pak Lurah. Lalu harga karet turun drastis. Hasil dari kebun pak Hari hampir seluruhnya untuk membayar cicilan hutang. Alhasil, Pak Hari harus merelakan ganti rugi atas tanah yang ia gadaikan. Namun masih baik ia disuruh dan digaji oleh menantu Pak Lurah untuk mengurus kebun karet bekas miliknya. Saat itu hingga sekarang Pak Hari adalah seorang buruh tani. Kebun yang ia beli dengan hasil kerja kerasnya di negeri orang sudah menjadi hak milik orang karena kasih sayangnya kepada putra-putrinya. Terlebih lagi, ketiga anak Pak Hari sudah punya kehidupan sendiri. Sampai saat itu, ia tak pernah menyesal telah kehilangan hartanya, ia tetap bangga kepada putra-putrinya yang telah berhasil menjalani kehidupan mereka masing-masing. Kini tinggallah Maria si bungsu yang masih sendiri.

Dalam hati kecilnya, apa yang harus ia gadaikan ketika mendengar mahar dari calon mantu terakhirnya sedikit. Jika ia menolak, maka putri bungsunya akan tersakiti. Dan mitos yang beredar, jika orang tua menolak pemberian mahar dari calon mantunya, maka bisa jadi anak itu akan menjadi gadis tua akibat kesombongan orang tua. Di suatu sisi, tenda pelaminan, riasan, baju seragam keluarga, orkes organ tunggal, hingga hidangan untuk tamu harus dibayar. Dan harga itu semua sudah melambung tinggi dikala Pak Hari harus terseok men-deres getah karet milik orang lain.

Ia menatap sekitar, seketika keributan itu terjadi. Lalu ia berdiri dan ingin melerai keributan itu.

"Hoe, hoe, sudah Aryo." Seru Pak Hari kepada seorang pemuda yang ia kenal karena pemuda itu teman sekolah anaknya dulu.

"Apa kau!" Ucap Aryo sembari menarik sebilah pisau dari saku celananya.

"Buang pisau itu!" Seru Pak Hari sembari menunjuk ke arah pisau. Seketika suara organ berhenti.

"Jangan banyak oceh kau, tuo kampang!" Ucap pemuda yang mabuk itu sembari mendekat ke arah Pak Hari. [Jangan banyak oceh kamu! Orang tua bangsat!]

Lalu seketika suara teriakan terdengar dan Pak Hari tersungkur di tanah. Darah mengalir dari perutnya yang masih tertancap pisau.
===============

"Jadi setelah itu? Kau dinikahkan dengan Ricky." Tanya dr. Endah kepada Maria.

"Ya dok. Pernikahan saya hanya dihadiri keluarga. Belum lagi,,,," Perkataan Maria terhenti ketika ia memikirkan sesuatu.

"Belum lagi apa? Ceritakanlah?" Pancing dr. Endah selaku ahli kejiwaan.

"Empat puluh hari setelah bapak meninggal, kakak mulai membicarakan rumah itu. Mereka ingin menjual rumah kami." Ungkap Maria datar.

"Lha terus, kamu dan mamak tinggal dimana?" Ucap dr. Endah.

"Rencananya, setelah 100 hari kematian bapak, aku boleh menikah dengan Mas Ricky. Keluargaku dan keluarga Mas Ricky setuju dengan acara pernikahan sederhana itu. Setelah menikah nanti, aku ikut mas Ricky ke Palembang, dan mamak ikut kakak di Jakarta, sekalian bantu ngurusin cucu." Ungkap Maria dengan senyuman di akhir kalimatnya. Ia teringat ketiga ponakannya yang lucu.

"Lalu, setelah kamu menikah? Kamu tinggal dimana sama suamimu?"

"Hmn,,, begini ceritanya."

Mandul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang