Part 22

16.4K 267 2
                                    

Part 22

#MariaPOV
"Saya terima nikah dan kawinnya dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai!" Ucapan Mas Ricky itu menggetarkan hatiku. Kini aku telah bersuami karena kakak-kakakku dan mamak memintaku untuk cepat menikah. Pernikahan sederhana tanpa organ tunggal, dan hanya dihadiri oleh tetangga terdekat. Mungkin cibiran serta cercaan akan dilontarkan oleh para tetangga, namun biar saja. Kakak-kakakku dan mamak sudah ikhlas untuk menjual rumah ini. Dan hasilnya nanti akan dibagi. Aku tak punya suara karena mereka menganggapku masih kecil, walaupun aku bersuara, mereka tak mungkin mendengarku.

Acaranya penuh hikmat karena sebenarnya aku masih berduka. Seminggu yang lalu adalah acara 100 hari wafatnya bapak. Dan kini aku harus berpura-pura bahagia di hadapan semuanya, terutama dihadapan Mas Ricky dan keluarganya. Sungguh ironi yang membuatku tersenyum penuh lamunan. Lagi pula, Mas Ricky sepertinya sudah tak sabar denganku. Berkali-kali, masa sebelum kita menikah. Mas Ricky ingin mengajakku keluar, namun aku menolak karena aku sedang tak bernafsu ketika sedih seperti ini. Namun nanti malam mungkin aku tak dapat menolak hal itu. Belum lagi, Mas Ricky akan lebih ganas dari sebelumnya. Mungkin aku akan dibuatnya kelojotan dan aku tak dapat menolaknya.

Setelah selesei, mamak mendekatiku. Ia membenahi riasanku. Kulihat lipatan matanya yang tertutup air mata. Sungguh, hal yang tak biasa bagiku. Aku harus berpisah dengan seorang ibu. Tapi aku lega, setidaknya Yuk Minna mengajak mamak ke Jakarta. Daripada harus terkatung-katung ditengah hutan seperti ini. Menurutku itu benar, aku harus beranjak dari Dusun ini untuk mengubah hidupku. Dengan begitu, aku mengetahui banyak hal tentang dunia ini.

"Kamu nanti tinggal dimana?" Tanya mamak kepadaku.

"Tinggal sama Mas Ricky lah Mak." Jawabku.

"Di Palembang Yo, jauh nggak dari Jakarta. Kalau naik bis, berapa jam?" Mamak tak pernah sekolah, ia tak tahu mana Jakarta dan mana Palembang.

"Kalau nggak salah 2 hari 2 malam." Ucapku.

"Alangkah jauhnya." Gumam mamak.

"Kalau naik pesawat cuma sejam." Ungkapku.

"Nggak ah, ngeri." Ujar mamak berseringai lucu.

"Yo kan nanti bisa telponan. Terus enak tinggal di Jakarta, kota besar." Ucapku agar mamak mulai ikhlas melepasku, namun sepertinya aku yang sulit berpisah dengan mamak.

"Terus, nanti kau tinggal dimana?" Tanya mamak kembali.

"Di Palembang-lah Mak." Jawabku mengulangi.

"Bukan, maksud mamak tuh tinggal dimana, dirumah mertua, rumah sendiri atau tinggal di kontrakan." Aku baru mengerti maksud dari pertanyaan mamak. Mungkin mengkhawatirkan tempat tinggalku nanti.

"Oh, nggak tahu Mak. Itu terserah Mas Ricky." Aku tak pernah sempat menanyakan hal itu kepada mas Ricky, karena pikiranku hanya tertuju pada acara pernikahan ini. Dan menurutku, pertanyaan itu tak sopan dilontarkan olehku.

"Eh, Ricky kerja apa sekarang? Kan proyeknya sudah selesai?" Ucap mamak. Memang betul, mas Ricky sudah menyelesaikan proyeknya. Seperti biasanya, orang-orang proyek selalu menganggur ketika pekerjaannya selesai, tinggal menunggu ada proyek lagi.

"Mnnn, katanya dia nolak ajakan mandor karena mau menikah dulu," jawabku.

"Oh, pantas nggak ada kawannya yang datang," gumam mamak.

"Iyo, kawan mas Ricky begawe semua." Timpalku.

°°°°°°°

Acara pernikahanku yang sederhana sudah selesei. Badanku terasa berat karena Baju Gede yang kupakai sangatlah berat. Belum lagi hiasan kepala dan make up tebal. Perias pengantinku memberikan sebotol air mawar dan kapas untuk menghilangkan riasan itu. Lalu kuakhiri tingkat lelahku dengan membasuh tubuhku. Walau hari sudah petang, rasanya sungguh segar mengguyur tubuhku. Biasanya, aku enggan mandi ketika malam tiba. Air dingin itu seakan mengusir sebagian besar lelahku.

Suara berisik dari perbincangan keluarga dan para tetangga mulai sirna oleh petang. Dan saat itu, aku harus memasuki kamar pengantin. Sebenarnya, kamar itu hanyalah syarat hiasan bagi pengantin saja. Dindingnya dihiasi kelambu dan beberapa hantaran tersusun disana. Aku memasuki kamar dan berganti pakaian biasa. Kini, aku sudah menjadi seorang wanita yang bersuami. Aku memakai daster biasa dengan Make-Up yang mulai pudar.

Aku keluar kamar karena mertua-ku ingin berpamitan. Mereka tidur di sebuah penginapan yang tak jauh dari rumah. Jumlah mereka cukup banyak sehingga rumahku tak mampu menampung semuanya, belum lagi keluargaku yang masih tetap tinggal.

Nasib kehidupanku selanjutnya ada di tangan Mas Ricky sekarang. Rumahku sudah oleh Pak Lurah dengan harga yang cocok. Tinggal menunggu aku dan mamak untuk angkat kaki dari sini.

Hari ini, tubuhku cukup lelah karena aku harus bersalaman dengan banyak orang yang ingin memberikan selamat kepadaku. Aku juga melihat kelelahan di wajah Mas Ricky. Seruan serangga malam mulai berdenyut seiring dengan lelapnya kelelahan kami. Sebelum tidur, aku dan Mas Ricky harus berberes terlebih dahulu. Ranjang kami cukup penuh dengan hantar-hantaran. Semuanya dihias dan sayang sekali jika dibongkar. Pernikahan sederhana ini cukup melelahkan, hanya saja pikiranku terbagi. Jika saja bapak masih hidup, mungkin kami akan tidur di penginapan karena rumah kami pasti berisik dan ramai orang.

"Adek sayang." Sapa Mas Ricky yang baru saja masuk kekamar.

"Hmn," gumamku seraya meletakan Smartphoneku. Aku barusaja membalas pesan di WA-ku. Banyak teman yang kecewa aku tak mengundangnya. Alhasil, mereka hanya mengucapkan selamat saja.

"Capek banget hari ini." Keluh Mas Ricky yang sudah terbaring di sampingku. Ia merentangkan tangannya seakan mempersilahkan kepalaku untuk bersandar diketiaknya.

"Iya mas. Aku capek banget." Aku menimpalinya. Kuputar tubuhku dan kusandarkan kepalaku ke ketiaknya. Aku merasakan aroma tubuh Mas Ricky yang selalu membiusku. Lalu detakan jantung yang lirih begitu terdengar nyaring di telingaku.

Mas Ricky menoleh dan mencium keningku. Akupun mendongak dan membalas ciumannya. Kami berdua tahu, bahwa rasa lelah sedikit menurunkan tingkat birahi itu. Aku yakin juga mas Ricky kelelahan.

"Mnnn, jadi kapan kita pindah, dek?" Tanya Mas Ricky yang tak tahu menahu soal status rumah yang kutinggali ini.

"Kata kakak, dua Minggu lagi mas." Jawabku, "tapi mamak berangkat ke Jakarta dua hari lagi."

"Hah, jadi,,, hanya kita berdua nanti." Ucapnya.

"Iya, mas." Jawabku.

"Hmnnnn,,, hehehehe." Mas Ricky tersenyum sendiri. Entah apa yang dipikirannya. Mungkin ia akan merencanakan sesuatu yang menjadi kebiasaannya.

"Apa! Senyum-senyum." Aku curiga dengan senyuman misterius itu. Mungkin juga aku harus menyiapkan tubuhku untuk dinikmatinya siang dan malam.

"Nggak apa-apa ah." Jawabnya sekilas saja.

"Iihhh, pasti pikirannya jorok ya?" Pancingku.

"Hmn,,, lihat nanti yaaa?" Ia menerima tantanganku.

Kamipun terdiam sejenak merasakan kelelahan sekaligus kebahagiaan ini..Aku lega, mas Ricky mau meminangku secepat ini. Keluarganya juga ramah dan membaur dengan keluarga kami.

"Dek,,,?" Sapanya, aku harus meluangkan mataku karena hampir saja aku terlelap.

"Hmn,,, apa sayangku." Jawabku mesra.

"Kalau seminggu kita bisa jalan-jalan dulu donk disini." Ajak Mas Ricky.

"Iya, nanti kita jalan-jalan."


Mandul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang