Part 2

44K 473 11
                                    

Part 2 : Orang Proyek

#Mariana POV
Kabupaten Kepahiang, Propinsi Bengkulu.

Hai,,, namaku Mariana. Usiaku 23 tahun ketika aku mulai menceritakan diriku ini. Aku tinggal di sebuah Kabupaten wilayah perbatasan Sumatera bagian selatan dan bengkulu, namanya Kabupaten Kepahiang. Aku tumbuh sebagai gadis biasa saja, seperti pada umumnya. Kulitku putih karena aku tinggal di daerah dataran tinggi. Rambutku keriting, orang menyebutnya keriting indomie, karena mirip dengan mie instans yang belum direbus. Wajahku biasa saja, mataku selalu menatap sayu dengan alis meruncing di ujungnya. Bibirku tipis dengan tulang pipi yang sedikit kempot. Tubuh cukup kurus namun tetap proporsional. Tinggiku hanya 163cm, tetapi itu sudah cukup tinggi daripada teman-teman sebayaku. Aku tumbuh menjadi gadis yang biasa saja di dusunku. Aku anak terakhir dari empat bersaudara. Kakak-kakakku sudah meninggalkan Kepahiang setelah menikah, mereka ada yang tinggal di Lampung, Jakarta, dan Medan. Akulah yang paling terakhir di antara kakak-kakakku.

Di usia 23, belum menikah sudah biasa di dusun kami. Biasanya pernikahan dilaksanakan di usia 25, bahkan ada yang 30 lebih. Mungkin karena kurangnya media komunikasi membuat warga enggan untuk berkenalan, atau berpacaran. Aku sendiri tak begitu ahli dalam percintaan. Setelah lulus sekolah menengah aku hanya di rumah saja. Ya,,, di rumah layaknya ibu rumah tangga. Ayahku hanyalah buruh tani dan ibuku buruh pengocek bawang putih, terkadang aku membantu ibuku, namun aku tak tahan aroma bawang putih yang menyengat. Sehingga, aku lebih suka memasak atau menonton TV untuk mengisi waktu luangku yang amat lapang.

Aku tak mempunyai teman dekat, layaknya gadis remaja selalu punya geng atau perkumpulan arisan atau apapun yang biasa orang-orang kota lakukan. Mengingat jarak antar rumah cukup jauh dan aku tak bisa naik motor sendiri. Hal itu membuatku enggan untuk bertemu temanku, atau bahkan menggosip dengan tetangga. Hal yang kusadari bahwa semua itu adalah kesalahan terbesarku nanti. Aku seharusnya punya teman untuk menceritakan semua beban pikiranku, namun aku malah menyimpannya sendiri, seolah-olah diriku Wonder Women yang siap menghadapi apapun.

Wajah desaku cukup Asri, hanya saja jalan di Desa yang rencananya akan di Aspal dalam waktu dekat. Tak hanya mengaspal, mungkin lebih tepatnya menimbun karena konturnya yang tak rata. Aku terbiasa karena tak perlu jalan yang bagus untuk sekedar jalan kaki belanja di warung sembako Mangcik di pinggir jalan raya. Asalkan sandal tak licin, amanlah itu.

"Rencananyo, jalan kito ni nak aspal samo Bupati." (Rencananya, jalan kita ini mau di aspal sama Bupati) Bapak menceloteh sendirian seraya memakan Ubi buatan Ibu.

"Yo, baguslah, ndak payah lagi kito kalau cak itu." (Ya, baguslah, nggak susah lagi kalau begitu) Ibuku menjawab sekenanya karena ia selalu sibuk dengan Bawang putihnya.

"Masalahnyo, uji pak Kades, motor aku ndak pacak masuk. Soalnyo nak diratoke." (Masalahnya, kata pak kades, motor aku tidak bisa masuk. Soalnya mau diratakan) Bapak sepertinya tak setuju dengan pembangunan jalan di depan rumah.

"Yo, titipke bae di tempat mangcik, kau jalan ke rumah." Kata Ibu. (Ya, titipkan saja di rumah MangCik, kamu jalan ke rumah)

"Ah, ndak galak aku!"
(Ah, nggak mau aku)

Aku sedari tadi menonton TV, lalu terjeda oleh iklan. Aku berdiri dan ingin membuang air kecil. Kemudian aku menyahut perkataan bapak dan ibuku itu.

"Bapak ni manjo, aku be jalan tiap hari ke warung MangCik." Kataku mengolok bapakku.
(Bapak tuh manja, aku saja tiap hari jalan ke warung MangCik)

"Melok-melok pulo betino sikok ini. Kawinlah pulok sano! Mangko idak meningke." Balas bapak mengolokku.
(ikut-ikut saja anak perempuan ini, menikahlah sana! Biar nggak bikin pusing)

"Agek, nunggu ado yang pas." Ujarku seraya berlari ke kamar mandi.
(Nanti, tunggu ada yang cocok)

Kamar mandi dengan rumah utama memang terpisah agak jauh ke belakang. Susahnya ketika hujan, aku harus menggunakan payung untuk sekedar ke kamar mandi. Segera kubuang hajat kecilku disana, aku melihat ke bagian bawah tubuhku. Bulu-bulu halus memenuhi liang perawanku. Aku jadi teringat perkataan bapak barusan, aku harus cepat menikah. Kubasuh bagian sensitif itu dengan air dingin sedingin es ala pegunungan. Setelah itu, aku menatap tubuhku sendiri. Kurasa, pinggulku mulai melebar dan bongkahan pantatku mulai mengkal. Aku juga tak sadar bahwa Behaku mulai kesempitan. Segera kubuka BeHaku dan muncullah kedua puting susu yang berwarna kecoklatan. Kusentilkan dengan jari dan aku merasakan rasa geli. Hmn,,, sepertinya aku sudah siap untuk menikah.

Mandul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang