Part 5

27.8K 338 12
                                    

Part 05 :

Dalam diam kami menyantap makanan kami. Aku heran, Mas Ricky pendiam ketika dihadapanku, namun ia cerewet di WA. Apakah ia pemalu? atau ia tak tertarik padaku. Ia menyulut rokoknya dan menatap smartphonenya tanpa memperhatikanku.

"Mas," kataku membuka pembicaraan.

"Mnnn," ia meletakan smartphonenya dan menoleh kearahku.

"Kok mas diem aja?" Tanyaku seraya memutar badan. Kini aku menghadap dirinya, namun Mas Ricky tetap menatap kearah depan.

"Hehehe,, ndak apa-apa. Emang aku pendiem kok." Jawabnya dengan bahasa berlogat jawa. "Yuk, kita jalan lagi."

Ia-pun membayar makanan kami. Dan kami kembali meneruskan perjalanan. Sebelum berjalan, ia bertanya padaku kemana arah dan tujuan. Ya... ia memang bukan orang sini, seperti yang dikatakan sebelumny bahwa aku sebagai penunjuk jalan baginya.

"Kita mau kemana dek?" Tanyanya kepadaku. Kini ia yang menegakkan badannya, dan tersentuhlah buah dadaku dengan punggungnya. Rasa getaran itu kembali terasa olehku. Getaran aneh yang membuat tubuhku enggan bergerak.

"Mmnnnn, kemana ya?" Aku kebingungan menjawab karena sebenarnya aku juga tak punya rencana.

"Kudengar, daerah kepahiang banyak air terjun. Tapi aku tak tahu jalannya." Ia berkata seraya menoleh. Wajah kami berdua hampir bertemu disana. Aku masih tergetar dengan buah dadaku yang serasa tergencet oleh punggung mas Ricky. Aku biasa saja karena ia juga biasa. Mas Ricky tak menunjukkan sikap singkuh atau risih. Hal itulah yang sebenarnya membuatku nyaman.

"Ahhh,,, kita ke Curug Embun saja." Ungkapku.

"Ayoh, tunjukan jalannya."

°°°°°

Jalanan pegunungan yang berkelok menjadi sensasi tersendiri bagiku. Terakhir kali aku ke Curug Embun adalah ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Aku kesana bersama teman-teman sekelas. Untung aku masih ingat dengan jalan berliku itu.

Langit yang cerah tiba-tiba menghitam disertai angin yang kencang. Sayub-sayub aku mendengar gemuruh dari kejauhan. Apakah hujan akan turun begitu saja. Wahh,,, sial sekali jika hujan turun.

"Dek, mau hujan ini? Gimana?" Mas Ricky berteriak keras, namun terasa pelan dibandingkan dengan deruan motor.

Aku merasakan hal yang sama, aku merasakan rintikan air menyentuh kulit tanganku.

"Yahhhh,,, hujan mas." Kataku.

Belum sempat mas Ricky menjawab. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Mas Ricky secara naluri membelokkan motornya menuju pondokan bekas jualan di tepi jalan. Untung saja ada pondokan itu, sehingga kami mendapat tempat yang teduh.

Motor besar Mas Ricky terparkir di tepi jalan, lalu kami berteduh di dalam pondokan itu. Hujan turun amat deras sehingga kami hampir basah kuyub walau hanya sebentar kami diluar.

"Yahhh, basah ndak dek?" Ia bertanya seraya menatap diriku yang sedang melepas jaket. Jaket berbahan kulit kaleb, sehingga mudah basah jika terkena air. Entah, aku melirik tatapan itu, sepertinya Mas Ricky melirik ke arah tubuhku. Buah dadaku yang menyembul diiringi dengan lekuk pinggulku. Hmn,,, bukan pria jika ia tak tergoda. Belum lagi parfumku bertema manis namun tak terlalu menyengat. Hal itu pasti akan membuatnya sedikit tergoda olehku.

Ia kembali terdiam menatap derasnya hujan. Suasana jalan amat sepi, hanya beberapa truk dan bus saja yang lewat. Tak mungkin ada pengendara sepeda motor ketika hujan deras seperti ini. Hujan di pegunungan pasti disertai angin kencang. Bahaya jika berkendara sepeda motor ketika hujan turun.

Aku menatap Mas Ricky, ia diam walau sesekali melirikku. Ia tak berkata apapun, apakah ia tak begitu tertarik padaku? apakah aku kurang cantik ataukah aku bukan tipenya?

"Mas, kok diem aja sih?" Tanyaku lagi.

"Hehehe,,, bingung mau ngomong apa." Jawabnya, "memang aku pendiem kok dek."

"Tapi di WA cerewet banget. Sampai-sampai mau nyium ketek segala, hihihihi." Aku mengingat hal lucu disaat aku berbalas pesan dengannya. Mas Ricky menyunggingkan senyum seraya menggaruk rambutnya.

"Oh, itu, mmmnnnn,,," ia kelihatan kebingungan. "Hahahaha,,, itu sebenarnya..."

Kini kami berhadapan, aku menyampirkan jaketku di sebuah bangku yang terlipat. Kini pandangannya begitu jelas menerawang buah dadaku di hadapannya. Aku memang tak pandai terhadap pria, namun aku bisa membaca gerakan bola matanya.

"Sebenarnya, apa mas?" Tanyaku penasaran karena ia tak menyeleseikan perkataannya.

"Ah, nggak." Katanya mengelak.

"Ihhhh,,, ngomong kok nggak selesei." Kataku seraya menusuk perutnya dengan ujung jariku. Aku merasakan otot perut yang keras ala pekerja keras.

"Hehehehe," Ia hanya tertawa ringan.

Lalu pembicaraan kami terhenti disana. Entah, aku mencoba diam karena tak mungkin aku saja yang membuka pembicaraan. Mungkin cara itu dapat memberikan ia pelajaran bagaimana seorang pria memperhatikan pasangannya. Aku akan coba!!!

Aku mengeluarkan smartphone-ku dan membuka Instagram. Aku hanya mencoba saja, apakah ia akan mengajakku bicara atau mau bagaimana?

Cukup lama aku menarik gulir Instagram, namun ia tak kunjung mengajakku bicara. Huuuuhhh,,, pria yang membosankan.

Lalu,,, sepertinya Mas Ricky mengetahui maksudku. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku. Aku merasakan otot perutnya menyentuh lenganku. Lalu ia mendekatkan wajahnya kepadaku seraya berkata, "main apa dek?"

"IG," jawabku singkat. Sepertinya ia kebingungan dengan jawabanku.

"Dek, rambutmu wangi, pake shampoo apa?" Pertanyaan yang tak begitu bermutu bagiku.

"Shampoo biasa kak, beli diwarung." Jawabku singkat.

"Hmn, boleh nggak kakak cium?" Candanya.

"Nah, cium ketek Maria." Ungkapku seraya memgangkat tangan kananku tinggi-tinggi.

"Sini," raut wajahnya berubah drastis. Yang dari biasa saja, menjadi bersemangat.

"Ihhh, jorok! Hahahaha," kata seraya menepis dan menjauh darinya. Aku kembali terfokus ke smartphoneku lagi.

"Yahhh, hujannya lama ini!" Ia menggerutu seraya melepas jaketnya. Lalu ia menatapku yang pura-pura sibuk dengan smartphone.

"Adek lihat apa sih?" Tanyanya sembari melangkah mendekatiku. Kali ini ia begitu dekat dan menempelkan badannya kepadaku. Aku merasakan aroma parfum maskulin dari tubuh kekarnya itu. Aroma yang cukup membiusku, namun aku masih sadar karena ini tempat umum.

"Lihat HaPe kak." Jawabku singkat.

"Kok lihat Hape sih," ia mengeluh.

"Mnnn, kakak nggak ajak adek ngobrol." Aku menghaturkan keluh kesahku saat ini.

"Yaa, ngobrolin apa?" Grrrrr, aku mulai geram dengannya. Ia terlihat membosankan dari yang aku bayangkan. Apakah ia pemalu? atau apa? Aku tak begitu tahu.

Aku kembali terdiam merasakan suara rimtikan hujan yang tak kunjung reda. Mas Rikcy juga bosan dengan keadaan ini. Tak ada obrolan dan cenderung membosankan.

Ia kembali mendekatiku dan melihat layar smartphone yang kumainkan. Kali ini ia mendekatiku dari belakang, aku merasakan deruan nafas ringan menyentuh leherku.

"Bener, adek belum punya pacar?" Tanyanya.

"Kalau aku ada pacar, sudah pasti pacar aku marah karena jalan dengan mas." Jawabku cukup ketus.

"Eh, dek. Sebelah sini sedikit, nanti basah." Tangan kekarnya menyentuh bahuku dan menggeser tempatku berdiri. Aku merasakan sesuatu ketika bergeser itu. Bongkahan pantatku menyentuh benda tumpul milik Mas Ricky. Rasanya sungguh aneh walau hanya sekilas saja.

Lalu,,,

Mandul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang