Once - 22

790 105 1
                                    

Sepuluh menit sudah Choi Seolhyun mendudukkan dirinya didepan kursi empuk yang berhadapan langsung dengan dimana dokter Jung berada. Memberikan beberapa petuahnya, sehingga Seolhyun mengangguk saja. Ia mengerti, ia juga berpikiran akan melakukan hal itu, namun ia sendiri juga takut. Ia takut pasiennya itu tidak menerima keterbukaannya. Pria itu mungkin saja akan menolak mentah-mentah dan memyuruhnya pergi menjauh. Atau lebih parahnya pria itu akan menyuruhnya pergi dari rumah sakit ini.

"Baiklah, aku akan mencobanya sebisaku, dokter Jung," ucap Seolhyun setelah dokter Jung menghentikan kalimatnya.

Gadis itu akhirnya keluar dari ruangan dokter Jung, tangannya masih membawa nampan yang sama untuk orang yang sama juga.

Sepanjang jalan Seolhyun hanya tengah memikirkan apa yang dokter Jung itu katakan. Mengenai apa yang harus dirinya lakukan sebagai perawat perempuan yang memiliki potensi lebih besar untuk membuat Kim Taehyung mau membuka mulut. Dokter Jung hampir saja kewalahan kendati dokter akan selalu mendapatkan masalah dari pasiennya. Namun menjadi dokter tentu saja bukan hal yang mudah. Apalagi jika pasiennya seperti Taehyung semua, mungkin dokter Jung juga akan cepat-cepat resign dan membuka prakter dirumah saja sebagai konsultan psikolog.

Seolhyun mengerti. Dirinya harus melakukannya. Melakukan pendekatan dari hati ke hati  Seperti yang dokter Jung itu katakan padanya.

Seolhyun menarik nafasnya sejenak. Menahannya dalam paru-parunya beberapa detik sebelum akhirnya menyemburkannya ke udara. Seolhyun harus menyiapkan dirinya. Setidaknya ia harus terlihat seperti hari-hari lalu. Tetap tenang, kendati semalaman dirinya sulit sekali tertidur dengan nyenyak hanya karena isi kepalanya dipenuhi oleh seseorang yang berada di ruangan yang hendak dirinya masuki.

Suara kenop pintu terbuka, terlihat pemandangan seperti yang biasa Seolhyun lihat di bilik Taehyung setiap paginya. Seperti sudah menjadi sarapan bagi Seolhyun dengan memandangi punggung Taehyung yang entah jam berapa pria itu bangun dan rambutnya telah basah sekarang. Pria itu telah menyelesaikan mandinya. Tebakan Seolhyun, pria itu baru beberapa menit yang lalu mandinya, karena ujung-ujung rambutnya masih basah sekali, bahkan sampai menetes ke lantai dan bajunya yang terlihat sedikit basah.

Pria itu terduduk membelakangi pintu, yang secara otomatis mungkin tidak menyadari kehadiran Seolhyun walaupun suara kenop pintu itu cukup membuat siapapun terhenyak.

Memegang sebuah kanvas yang tidak terlalu besar ditangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sibuk memegang kuas dan mencampur warna di mangkuk kecil berwarna putih itu.

"Apa aku mengganggumu?" ucap Seolhyun sembari langkahnya maju menghampiri presensi dimana pria itu sedang tenggelam dalam dunianya. Tangan-tangannya seperti telah lihai bermain seni. Sudah seperti seorang seniman dengan aliran absurd paint yang berparas rupawan.

Tidak ada sahutan maupun sambutan yang Seolhyun dapatkan dari Taehyung. Bahkan hanya sekedar melirik keberadaannya pun Taehyung nampak enggan. Jelas Seolhyun sama sekali tidak masalah, ia mengerti, keberadaannya saja mungkin tidaklah diharapkan oleh Taehyung. Pria itu telah menunjukkan sirat ketidaksukaannya semenjak dirinya pertama kali menemuinya. Jadi, jika sekarang Taehyung bersikap tak acuh, ia sudah tidak terkejut. Memang seperti itulah Kim Taehyung dimatanya. Dingin, tampan, namun sayang, diagnosanya malah menunjukkan bahwa pria sesempurna Kim Taehyung harus depresi. Penyebabnya? Ia tidak terlalu tahu. Menurut riwayat, Taehyung hanya menjerit-jerit saat setelah sadar di rumah sakit darurat di Busan dulu.

"Maaf jika kemarin membuatmu marah," ucap Seolhyun setelah mendapati Taehyung menghentikan aktivitasnya.

Meletakkan piringan cat nya diatas nakas, tanp njiira melepaskan kuasnya. Namun tidak lama kemudian, pria itu meletakkan kanvas dan kuasnya bersisihan diatas meja kabinet yang berada tak jauh dari ranjangnya.

"Berikan obatnya," ucap Taehyung setelah ia merubah posisi duduknya hingga menghadap kearah perawat Seolhyun berdiri dengan canggung.

Seolhyun tidak mengerti harus melakukan apa pada pasiennya selain menurut saja. Pria itu sepertinya sedang tidak berada didalam mood yang baik, kendati memang pria itu tidak pernah berada dalam mood yang baik. Seolhyun selalu saja mencari kesempatannya, namun Kim Taehyung sepertinya telah membangun benteng yang kelewat kokoh setelah peristiwa kemarin dengannya. Ia menyayangkan hal itu, namun harus bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Pun jika dirinya menyesalinya, itu tidak akan berpengaruh apapun. Masa lalu akan tetap jadi masa yang telah berlalu. Tidak bisa diperbaiki sekalipun memohon pada semesta untuk kembali memutar waktu. Semesta tidak akan pernah menurutinya.

Seolhyun menyerahkan obatnya. Tanpa penolakan berarti. Namun dirinya jadi ragu sendiri. Ia tidak merasa yakin untuk saran dokter Jung, jika Taehyung terus-terusan mengabaikannya.

Seolhyun menyodorkan dua butir pil, seperti biasa.  Pun dengan segera Taehyung meraihnya, mengambil gelas dengan tangan satunya yang masih menganggur. Namun tidak langsung meminumkannya. Tidak juga Taehyung memasukkan kedua obat itu kedalam mulutnya.

Sedetik Seolhyun berharap Taehyung akan menatapnya, tidak apa-apa hanya sepersekian detik, karena ia membutuhka itu, kontak mata. Ia mungkin bukan seorang dokter, namun sekolah perawatnya juga sedikitnya bermanfaat, harusnya begitu.

Tepat tiga detik setelah Taehyung diam saja, akhirnya kedua netra itu memandang Seolhyun. Menatap dengan tatapan kosong namun terasa sekali bagi Seolhyun tatapan dingin itu begitu mengintimidasi. Seperti bukan dirinya yang perawat, namun seorang pembunuh berantai yang sedang di interogasi. Padahal kenyataannya, Taehyung lah yang membutuhkan interogasi itu.

Hampir saja Seolhyun terbius, namun dengan cekatan dirinya mengalihkan pandang pada nasi dan sup diatas nampan yang masih ia pegang. Ia belum ingin mati membeku hanya karena tatapan pasiennya sendiri yang seperti menusuk kedua netranya. Mungkin jika tatapan bisa membunuh, Seolhyun sudah mati terkapar di lantai sedari tadi.

"Kau harus makan dulu sebelum minum obat." perawat Seolhyun nampak menyodorkan sesendok sup dengan nasi padat ditengahnya. Meniup sejenak sebelum menyuapkannya pada Taehyung. Berusaha menghilangkan kecanggungan itu, meskipun sulit sekali, tapi Seolhyun selalu bisa memanipulasi suasana hatinya. Dia tetap harus profesional. Dan selalu profesional. Harusnya begitu.

Tepat setelah Taehyung mendapatkan tatapan yang sebentar sekali itu, Taehyung reflek saja menyernyitkan dahinya. Menatap bingung kearah perawat yang hari ini terlampau baik padanya. Kendati tidak hanya hari ini perawat itu baik padanya, melainkan setiap hari semenjak merawatnya. Namun,  Taehyung merasa bahwa perawat itu tidak seperti biasanya. Lebih lembut dan tidak ada paksaan.

"Aku bisa sendiri," ujar Taehyung sambil meletakkan gelas ditangan kanannya disamping kanvas yang telah dicampakkannya beberapa saat lalu.

Taehyung terlihat mengambil alih sendok yang berada ditangan mungil Seolhyun kemudian memakannya sendiri. Sampai 5 kali untuk sendokan terakhir, Taehyung menyerahkan kembali mangkuk berisi sup itu keatas nampan. Masih sisa banyak, namun Seolhyun sudah cukup tenang karena ia bisa melihat Taehyung sudah mulai makan dengan baik hari ini.

Jika Seolhyun mengatakan kembali bahwa Taehyung tidaklah 'gila', mungkin tidak akan ada yang mempercayainya. Atau malah lebih parahnya, Seolhyun akan dihakimi kendati laporan medis telah jelas sekali menunjukkan bahwa Kim Taehyung itu memang tidak 'benar'.

Namun disamping itu, Seolhyun yakin untuk beberapa praduga di kepalanya, masih tentang Kim Taehyung yang sebenarnya baik-baik saja. Ia yakin karena selama ini dirinya lah yang merawat Taehyung, jadi ia lah yang mengetahui seperti apa Taehyung.

Jika lagi dan lagi Seolhyun mengatakan bahwa Taehyung itu berpura-pura, akankah ada yang percaya padanya?

"Jangan terlalu baik padaku, nona, atau kau akan menyesal nanti."

.
.
.
.
.
.
.
[ ]

Redemption ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang