Once - 31

1K 74 0
                                    

Halte
3 tahun yang lalu.

Hujan tanpa petir. Atau badai tanpa angin. Semuanya sama saja, selalu meninggalkan dingin sebagai sensasi terakhir yang kian menyakitkan. Selalu menusuk sampai ulu hati. Membentrok layaknya seorang diktator keji. Lalu pada akhirnya membuat raga seolah mati membeku ditengah sesak yang semakin mendera.

Pukul 11 malam bukanlah waktu yang lazim untuk berada disebuah jalanan yang sudah sepi. Bersisihan dengan halte bus yang telah kosong tak berpenghuni, ada dua orang dengan wajah yang menegang. Satu pria berdiri dengan pakaian formal kerjanya. Membawa serta tas berisi kertas kerjanya karena barusaja diharuskan lembur untuk pemberitaan esok pagi. Namun malam ini semuanya buyar, tidak ada lagi deadline yang memenuhi isi kepala. Tidak ada lagi kekasih yang mungkin saja akan menyambutnya dengan sapaan 'selamat malam' melewati pesan singkat. Semuanya sirna. Sorot matanya menggelap dibawah hujan-menahan amarah.

"Dasar brengsek!" umpat seorang pria yang tidak lebih tinggi dari pria dihadapannya.

Tidak ada lagi yang tersisa. Umpatan-umpatan yang terus mendera seperti kian memanas di tiap suku kata itu menghuni gendang telinga. Sedangkan yang diumpatinya hanya diam saja. Tidak melawan. Dan tidak memberi pembelaan, pun pada dirinya sendiri. Benar-benar pasrah seperti seorang terdakwa yang sedang diadili. Kali ini bukan oleh seorang hakim, melainkan seorang teman. Atau sebut saja sahabat.

Pria itu terus saja mengumpati pria didepannya. Tidak peduli pun pria itu tidak menyahut sama sekali. Memuakkan melihat pria itu bahkan tidak meminta maaf atau menyahut satu patah kata pun darinya. Seperti tidak merasa bersalah, atau malah senang mendapati dirinya mengeluarkan segala amarahnya.

"Apakah tidak ada gadis lain selain Lee Hana didunia ini?"

Suara pria bernama Choi Yoongi terasa kian menggelegar. Tidak ada saingan berupa petir atau apaun, karena nyatanya hujan lebih mendominasi malam kelamnya. Malam terkelam dalam sejarah kehidupan Choi Yoongi sepanjang dirinya bernafas dibumi. Hatinya hancur, melebur layaknya abu. Tidak bersisa. Kepingannya bahkan beterbangan meninggalkannya seorang diri. Dadanya sesak, seperti oksigen di sekitarnya saja ikut merasa berduka dan menghindari pria itu hingga pria itu kesusahan bernafas. Rongga dadanya seperti penuh, namun dengan kehancuran yang tidak bisa dideskripsikan dengan hanya sebaris kalimat. Yoongi terlalu hancur, membiarkan matanya merah dengan air mata yang merebak melebur bersama air hujan yang membasahi seluruh badan.

Gadisnya. Gadis yang sangat dicintainya memilih untuk tidak lagi bersamanya. Menjadikan dirinya masa lalu kemudian melangkah menuju seorang pria yang katanya adalah masa depannya. Bagaimana tidak hatinya tidak hancur sehancur-hancurnya. Pria mana yang tetap baik-baik saja saat jelas-jelas gadis yang selama ini selalu ada dan selalu bersama pada akhirnya lebih memilih untuk bersama pria lain yang ternyata adalah seorang teman yang selama ini sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Hyung. Aku tidak bermaksud seperti itu?" sahut Taehyung yang terlihat seperti sedang nembela dirinya sendiri dihadapan Yoongi yang sudah menganggapnya lebih dari keparat.

Akhirnya Kim Taehyung bersuara. Menyuarakan pembelaan pada dirinya disaat Yoongi sudah benar-benar tutup telinga. Ia tidak ingin mendengar apapun dari Kim Taehyung, termasuk pembelaan diri yang memuakkan, juga penyanggahan sialan yang membuatnya mungkin bisa saja menghabisi Taehyung tanpa ampun.

"Kau tahu kan? Hana itu kekasihku. Mengapa kau terus saja mendekatinya?" ujar Yoongi terus saja memojokkan Taehyung hingga rasa-rasanya Taehyung sudah bingung akan menjawab seperti apa.

Choi Yoongi sudah kelewat kesabarannya. Ingin menghajar tetapi ia bukan hewan liar yang akan menyerang saat permasalahan masih setidaknya 1 % bisa diselesaikan dengan kata-kata. Ia masih memiliki sisi kemanusiaan yang berdiri kokoh meskipun diatas luka yang menganga.

Redemption ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang