XXXXIII

2.3K 193 7
                                    

Headphones on, world off.

Latisya sekarang sedang sibuk di kubikel dan menatap laptopnya yang menampilkan data-data. Kaki dan kepalanya bergerak sesuai dengan irama lagu, terkadang tangannya seperti ikut memainkan drum.

As soon as she listen to music.. she doesn’t care about others, Bonjovi’s song bring her to the imagination concert.

Tok..tok.. ada yang mengetuk ujung mejanya but, that music is too loud, even she can't hear her thought.

Latisya terperanjat ketika headphone nya dilepaskan oleh...

Adnan. Atasannya itu terlihat sedang menahan geram, tentu saja sedari tadi dia memanggil Latisya tapi tidak dihiraukan, lebih tepatnya tidak terdengar.

“Ada cadangan gendang telinga berapa kamu? Bisa tahan denger musik sekeras itu.” tanya Adnan dengan nada tajam.

“Kamu denger lagu nggak pake telinga kali ya, dipanggil dari tadi juga.” Lanjutnya ketus ditambah mukanya yang sudah jutek abis.

“Ya maaf Pak. Ini kan saya pake headphone jadi nggak kedengeran. Lagian itu gimana denger lagu tapi nggak pake telinga? Jadi denger pake apa dong mata?” Jawab Latisya dengan mukanya yang dibuat dengan ekspresi polos.

“Makanya jangan gede-gede gitu volumenya! Kamu yang denger lagu, orang lain yang jadi tuli nya.”

“Iya maaf Pak, jadi ada perlu apa Pak manggil saya?” Latisya berbicara dengan lembut, bahaya kalau Latisya lepas kontrol jadi ikutan emosi. Bisa-bisa world war. Karena bagi orang yang tau, Adnan dan emosi itu adalah satu kesatuan.

“Mana revisi yang saya minta kemarin?”

“Tadi pagi sudah saya taruh di meja bapak.”

“Oh ya? kok saya nggak lihat, kamu taruh dibawah?”

“Diatas laporan penjualan Pak, biar saya ambilin ya di meja bapak.” Segera Latisya beranjak dari duduknya menuju keruangan Adnan.

Latisya kaget ketika dia baru saja membalikkan badannya, ada Adnan sudah berjalan masuk ke ruangannya.

“Taruh lagi di meja, nanti saya baca.” Jawab Adnan sambil berlalu untuk duduk di kursi kerjanya.

“Oh.. oke Pak.”

“Latisya..” Latisya menatap lurus ke Adnan, seketika jantungnya berdetak lebih cepat ketika bola mata hitam Adnan menghunus tajam ke matanya. Tapi pandangan Adnan terasa lembut, tidak mengintimidasi seperti biasanya.

“Ya Pak?” Adnan berdehem, kemudian menggeleng.

“Saya permisi Pak kalau gitu..”

“Sya..” Lagi, Adnan memanggil Latisya. Dengan sabar Latisya berbalik dan kembali mendapati Adnan sedang menatapnya.

You look good with that short hair.” Latisya mematung selama beberapa detik kemudian dia mengangguk dan tersenyum kaku.

Thank you Pak.” Kemudian dia keluar ruangan Adnan sambil memegang pipinya dan memastikan pipinya itu tidak memerah karena perkataan Adnan tadi.

Latisya memang baru memotong rambutnya sampai sebahu, bukan karena mau buang sial atau apapun itu. Dia hanya ingin merubah penampilan saja, lagi pula memotong rambut pendek seperti ini adalah hal biasa dan pastinya bukan kali pertama bagi Latisya.

Mungkin Adnan tidak pernah melihat dia dengan rambut seperti ini, tapi bukan berarti dia harus memuji Latisya seperti tadi kan?

Kalau ditanya siapa manusia yang lebih random dari Ariq, jawabannya adalah Adnan.

Start with ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang