XXVIII

2K 138 3
                                    

Sepulang dari Korea Latisya kembali bekerja, melebihi ekspektasinya. Kalau ada kata yang lebih dari 'sibuk' maka dia akan menggunakannya karena itu bisa menggambarkan keadaanya sekarang.

“Gue lelah, letih, lesu, capek, nggak bertenaga lagi.” Nabila menyenderkan punggungnya dengan wajah yang ditekuk.

“Lo kayak nggak pernah sibuk karena mau produk baru aja sih.” Latisya menjawab namun matanya tetap fokus pada layar laptop.

“Ini ituuu.. lebih sibuk dari kita biasanya Syaaaaa…” Nabila mengusap kasar wajahnya.

“Kerja ikhlas dong Bil!"

“Apadeh lo! Sekarang udah workaholic kayak pak Adnan ya.” Nabila menggeser kursinya untuk duduk lebih dekat dengan Latisya.

“Sana deh Bil, nanti ada yang marah lagi kerjaan lo nggak kelar.” Latisya mengibaskan tangannya agar Nabila pergi, karena pekerjaannya juga masih banyak yang belum selesai.

“Biarin lah. Sekali-kali kerjaan dianggurin, jangan kita mulu yang dianggurin!” Nabila memejamkan matanya.

Latisya tertawa mendengar keluhan sahabatnya ini, kalau dipikir-pikir dia tidak begitu merasa lelah, mungkin karena dia sudah terbiasa kerja rodi sejak di Korea kemarin.

***

“Adnan dari dulu udah gila kerja, tapi gue nggak tahu kalau dia makin menjadi kayak ini.” Bima memandangi berkas-berkas dimejanya, walaupun Bima sahabatnya tapi Bima juga manusia, punya rasa punya hati punya lelah.

“Mungkin dia udah pake settingan robotic ditubuhnya, kita masih manual gini. Nggak ada capeknya dia, semalem nggak tahu deh dia pulang jam berapa. Waktu gue mau pulang, Pak Adnan masih diruangannya.” Arvin menyahuti ketika melewati meja Bima saat menuju ke mesin fotokopian.

“Belum lagi tuh si Latisya, nggak tahu deh kapan dia istirahatnya. Pak Adnan apa-apa manggil Latisya mulu ya semenjak balik dari Korea.”

Belum sampai satu menit dibicarakan, Latisya keluar dari ruangan Adnan dengan muka yang ditekuk, dia kemudian menghempaskan bokongnya di kursi kerja miliknya.

“Itu muka apa cucian baru kering? Kusut amat.” Semua orang, minimal, akan memasang wajah seperti ini setiap keluar dari ruangan Adnan.

Tidak parah sebenarnya, Adnan hanya menambah sedikit beban saja untuk mereka, sedikit yang lama-lama menjadi bukit, bukit lama-lama menjadi gunung.

“Tuhkan! Parah bangett emang. Kasihan banget sahabat gue, dari Korea kemarin nih pasti dibikin kerja muluuu..” Bila memeluk Latisya seolah-olah Latisya begitu menyedihkan.

Latisya membuka internet dan mengetikkan sesuatu, Nabila sampai dibuat bingung dengan apa yang diketik Latisya. Nabila berpikir apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan mereka.

"Ngapain lo ngetik pasal 27 ayat 2? Tentang HAM?"

“Pak Adnan itu harus tahu pasal ini! Nih, bahwa 'tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.' Pekerjaan kita bikin kita jadi manusia tak layak hidup tahu nggak!” Latisya menunjuk layar laptopnya.

Hari ini sudah empat kali dia masuk keruangan Adnan, dan tiga dari empat itu, Latisya selalu diomeli.

“Hahahaha anjirr.. pasal banget nih Sya?” Mereka tertawa, setidaknya mereka harus bersyukur dibalik kesulitan masih ada hal yang bisa membuat mereka tertawa walaupun sebenarnya itu tidak lucu sama sekali. Biar seolah-olah bahagia saja.

“Makasih Sya sudah bacain saya pasal itu, sekarang saya minta tolong kamu bisa bantu saya cari ini. Kalau sudah ketemu tolong bacain lagi  ya.” Adnan berbicara dengan muka yang dibuat sesantai mungkin, sedangkan Latisya sudah seperti kehilangan hak untuk bernapas.

Start with ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang