XXXXIV

2.4K 201 11
                                    

“Sya..Syaa.” Latisya menoleh ketika dipanggil oleh Recky yang baru saja keluar dari ruangan Adnan. Recky menunjuk ruangan Adnan menggunakan dagunya karena tangannya saat ini sedang memegang laporan, yang Latisya yakin laporan penjualan bulan lalu.

Pekerjaan beberapa hari ini memang cukup banyak, entah berapa kali Latisya sudah bolak balik ruangan Adnan. Latisya beranjak keruangan Adnan dan membawa laporan yang baru saja selesai lima belas menit yang lalu.

Tok..tok..

Adnan hanya melirik sekilas dan kembali fokus ke laptopnya. Beberapa hari ini Adnan tidak begitu banyak bicara dengan Latisya, dia juga jarang keluar ruangannya kalau tidak untuk sholat bahkan di saat makan siang tetap diruangannya. Ya, workaholic kalau lagi hectic gimana sih, bisa tiba-tiba jadi apatis gitu kan.

Tapi rasanya Latisya jadi sedikit kesal karena Adnan bicara seperlunya. Dia tahu mereka sedang sibuk, tetap saja rasanya seperti Adnan jadi cuek sama Latisya.

Latisya buru-buru menggelengkan kepalanya setelah berpikiran seperti itu, dia jadi tidak habis pikir, hanya karena Adnan jadi banyak bicara sama dia belakangan ini, memuji rambutnya, belum lagi tingkahnya yang mendadak random, ditambah lagi cokelat kemarin terus dia jadi baper? Nggak dong.

“Sudah beres?” Adnan bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya,

Bukannya kalau bicara itu harus lihat orangnya ya?

“Sudah Pak.” dia membuat suaranya jadi sedatar mungkin. Adnan menerima dan membaca laporan, kemudian dia mencoret-coret beberapa bagian dan mengembalikannya lagi dengan Latisya.

“Revisi dikit, yang typo juga dibenerin itu.”

“Iya Pak, ada lagi?” Latisya menjawab sama datarnya dengan muka Adnan. Adnan menggeleng. Latisya menghembuskan napasnya kasar dan tanpa dia sadar itu berhasil membuat Adnan menoleh kearahnya.

“Kenapa?” Latisya hanya menggeleng dengan mukanya yang datar, dan sedikit kesal. Tanpa dia tahu alasannya kenapa dia tiba-tiba jadi kesal seperti ini.

“Nggak suka revisi?” Adnan menaikkan satu alisnya.

“Kok bapak mikirnya gitu? Nggak kok Pak, ya kalau ada salah saya revisi. Ini kalau nggak ada lagi, saya permisi ya.” Latisya langsung keluar dari ruangan Adnan, menyisakan Adnan yang masih menatapnya.

***
“Beres?”

Latisya menggeleng, “Nggak, ada revisi dikit.”

“Bener ya kata lo, kalo lagi sibuk gini dibawah pimpinan Pak Adnan berasa lagi kerja rodi.” Nabila terkekeh.

“Ya kan? Titisan William Deandles banget emang.” Latisya menganggapi Nabila.

“Latisya..” Belum juga Latisa mendudukkan bokongnya di kursi, namanya sudah kembali dipanggil.

“Kamu ikut saya ke kantor pusat sekarang ya.” Dilihatnya Adnan membawa beberapa berkas dan kunci mobil ditangannya. Mendengarnya Latisya jadi memejamkan mata dan menghembuskan napasnya, kesabarannya menghadapi Adnan hampir habis.

“Ini revisiannya gimana Pak?”

“Nanti aja, nggak lama kok disana,” “Ya.. kalau lama paling lembur.”
Paling lembur katanya? Enteng banget ya Adnan bilang lembur.

Padahal kan sekarang Latisya lagi mencoba back to the market buat cari pengganti Ariq.  Tapi titisan William Deandles ini malah memberikannya pekerjaan terus.

“Dikit juga kan revisinya? Nanti saya bantu, buruan udah siang.” Latisya bisa apa selain mengangguk.

Ketika sudah berada di dalam mobil Adnan hanya berdua saja, entah kenapa suasana mobil Adnan terasa sangat sepi, Adnan juga dari tadi hanya diam membuat Latisya jadi canggung.

“Yang mulia, titisan William Deandles.. terus apa lagi panggilan dari kamu buat ngatain saya?” Tiba-tiba saja Adnan bersuara.

Latisya kaget bukan main mendengar penuturan Adnan, bukannya menjawab Latisya malah mengatupkan bibirnya.

Kalau panggilan ‘Yang Mulia’ Adnan pasti tau karena Latisya sendiri memang sering memanggilnya seperti itu, tapi kalau ‘Titisan William Deandles’ darimana dia tahu? Latisya jadi meringis.

“Apa lagi?” Desak Adnan, tidak terdengar marah terkesan datar tapi tetap saja membuat Latisya jadi takut.

“B.. bapak dengar?”

Adnan diam tidak merespon, dan hanya fokus dengan jalanan. Latisya jadi berpikir kalau Adnan jadi marah dengannya. Membayangkan Adnan marah-marah membuat Latisya bergidik ngeri.

“Mmm.. nggak ada Pak. Itu saya juga bukan ngatain bapak kok, tapi kalau bapak mikirnya gitu yaa..saya minta maaf.” Dia mencoba menetralkan suaranya, dan berharap agar Adnan tidak tersinggung.

Start with ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang