"Selamat pagi, Bu Nala."
"...pagi, Dok."
Dokter perempuan bernama Hasna itu tersenyum ramah ke arah Nala yang baru bangun tidur.
Nala mengucek pelan matanya yang terasa masih berat akan rasa kantuk. Bagaimana tidak, tadi malam dia tertidur saat jarum jam sudah berada di angka dua dini hari, dia sampai lupa waktu karena terlalu fokus membaca isi buku diary yang baru saja dia temukan.
Dan memang sesuai dugaannya, isi diary itu benar-benar dapat membantunya di sini. Uh, ia merasa tak menyesal pernah membaca dengan teliti novel Too Late saat dirinya masih menjadi Adira Savina dulu.
"Bu, saya tensi dulu ya badannya," ujar dokter Hasna seraya meraih dengan lembut lengan kurus Nala.
Nala hanya diam memperhatikan kegiatan yang dilakukan dokter pribadi keluarga Abirama tersebut.
Dokter Hasna masih memasang senyum ramah walau fokusnya kini bukanlah wajah Nala yang menatap serius apa yang sedang ia lakukan.
"Normal kok ini tensinya 120/70. Ibu nggak ada keluhan-keluhan lain 'kan?"
Yang ditanya hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Kalo ingatannya? Masih belum pulih juga?"
Kontan wanita itu meringis setelah mendengar pertanyaan itu, dia jelas tahu kalau dia bukanlah mengidap penyakit Amnesia. Tetapi kalau dia jujur dengan mengatakan kejadian yang ia alami, bukannya mempercayai ucapannya nanti pasti Arza malah akan langsung mengirimnya ke rumah sakit jiwa.
Jadi, lebih baik dia teruskan saja kebohongan ini. "Belum, Dok. Saya masih belum mengingat apa-apa, tapi ada beberapa nama yang saya masih ingat. Apa memang ada yang seperti itu?"
Penyakit Amnesia Temporary yang kemarin ia sebutkan kepada Nino itu sudah pasti hanyalah karangannya saja. Otaknya yang saat itu sedang kusut—sampai saat ini sebenarnya masih kusut—tiba-tiba saja terpikirkan nama penyakit itu saat Nino mulai mencurigainya. Dia hanya tidak mau Nino mengadu pada Arza tentang keanehannya dan berakhir dengan mencurigainya macam-macam.
"Tentu saja ada, Bu. Nama penyakit ini adalah Amnesia Disosiatif. Amnesia jenis ini merupakan kondisi ketika pengidap tidak mampu untuk mengingat berbagai informasi pribadi yang bahkan dinilai sangat penting. Pengidap amnesia jenis ini bisa saja lupa siapa nama dan segala hal yang erat kaitannya dengan pribadinya." Dokter Hasna menjelaskan secara panjang lebar tentang sebuah nama penyakit kepada Nala yang menyimak dengan teliti setiap kata yang diucapkan oleh wanita paruh baya di hadapannya ini.
Dan Nala merasa puas saat penyakit itu agaknya memang terasa cocok dengan apa yang sedang ia alami.
"Ibu paham 'kan omongan saya?"
Kali ini wanita berumur dua puluh delapan tahun itu menjawab pertanyaan tersebut dengan anggukan.
"Kalau begitu, cukup segini saja ya, kunjungan saya hari ini. Nanti siang Asisten saya akan datang ke sini untuk mengantar beberapa obat," ucap sang dokter lagi.
Nala tersenyum simpul. "Makasih, ya, Dok, sudah repot-repot datang pagi-pagi begini."
"Nggak masalah," ujar dokter Hasna lembut. Sebelum benar-benar beranjak, dia sempatkan dulu untuk tersenyum sekali lagi seraya memberikan wejangan pada Nala. "Jangan lupa untuk makan dengan teratur ya, Bu?"
"Tentu. Sekali lagi makasih banyak, ya, Dok," jawabnya masih dengan senyum simpul di bibirnya.
Lalu setelahnya kamar luas ini kembali hanya ada dia seorang di dalamnya. Nala langsung merebahkan kepalanya ke bantal empuk yang tadi ia tindih, matanya terpejam rapat dengan sebelah tangannya menutupi wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nala with Her Second Chance (ON GOING)
Romance[Follow dulu sebelum baca] DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA INI! "Nala siapa?" Sebelumnya dia adalah Adira Savina, perempuan biasa dengan latar belakang biasa pula. Dia baru merasakan hidup sedikit layak setelah berhasil membangun bisnisnya sendiri. N...