Nala menatap pemandangan di depannya dengan mata berbinar-binar. Sesuai dugaannya, rumah ini memang memiliki taman yang cukup luas dan asri, sayang disana hanya ditumbuhi rumput hijau yang memang sengaja dirawat sebaik-baiknya dan juga beberapa bunga yang ditanam dalam pot-pot kecil.
Sepertinya memang desain rumah ini sengaja dibuat begini. Sebelah kiri dijadikan taman yang asri dengan rumput gajah asli yang ditanam di sana serta ada beberapa bunga dalam pot yang diletakkan di sekitarnya, sedangkan sebelah kanan dibiarkan beraspal guna memudahkan kendaraan untuk diparkirkan ke dalam garasi.
Tangan Nala sudah gatal sekali ingin menanam berbagai macam bunga di taman ini, biar saja rumput gajah itu dipangkas sedikit yang penting tamannya ini bisa terlihat lebih berwarna nantinya. Dulu saat ia masih menjadi Savina, ibunya hobi sekali mengajarkannya tentang cara menanam tanaman dengan baik dan benar, ibunya juga memberitahu cara agar tanaman itu tak mudah layu atau mati.
Dia sudah mencobanya dulu dan itu memang berhasil, jadi dia juga ingin mempraktekkannya di sini.
Tapi ... dia harus meminta izin serta minta dibelikan hal-hal yang diperlukannya lebih dulu pada Arza, iya 'kan? Tuan rumah di sini adalah Arza, jadi apapun yang dia lakukan di sini harus atas seizin Arza 'kan?
Nala mencebik saat mengingat Arza.
Bagaimana bisa ia meminta banyak hal, ponsel yang ia minta empat hari yang lalu saja tak kunjung dibelikan.
Ia tahu lelaki itu membencinya, tapi dia 'kan hanya minta dibelikan ponsel! Masa begitu saja tidak dibelikan? Di zaman yang sudah canggih seperti sekarang, tidak memiliki hal penting seperti ponsel tuh rasanya tidak enak. Bi Jannah saja yang sudah tua begitu ponselnya sangat bagus, masa dia yang nyonya rumah di sini malah tidak punya?
Dia 'kan malu harus meminjam terus menerus ponsel Bi Jannah untuk berkomunikasi dengan Aila-adiknya-yang juga tak kunjung datang kemari karena beralasan dia masih harus menjalani ujian tengah semester di sekolahnya dan baru bisa ke sini minggu depan.
Nala mengembuskan napas panjang. Ia merasa sangat kesepian di sini. Arza, suaminya itu melarang keras dia keluar dari rumah ini, bahkan hanya ingin ikut Bi Jannah ke minimarket saja dia dilarang.
Uh, Nala merasa seperti tahanan.
Sekali lagi, Nala mengembuskan napas panjang. Ia benci mengeluh sebenarnya.
Merasa tidak ada lagi yang ingin ia lakukan di sini, Nala lantas berbalik masuk ke dalam rumah seraya mengencangkan tali jubah tidurnya. Mendadak ia merasa lapar, jadi ia putuskan untuk berjalan ke arah dapur.
Di sana, bisa Nala lihat ada tiga asisten rumah tangga yang sedang memasak, termasuk Bi Jannah.
"Mbak Nala? Mau sarapan, ya?" tanya Jannah, yang langsung sigap menoleh ke arah Nala yang berdiri di depan dapur.
Nala menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Lalu tanpa disuruh lagi, ia langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan.
Jannah menyuruh salah satu ART yang masih kelihatan muda di sana untuk menyiapkan sarapan. Dan tak butuh waktu lama, akhirnya satu piring nasi goreng yang terlihat menggiurkan pun tersedia di depan Nala.
"Mbak mau minum air putih aja apa jus buah?" Sebenarnya Jannah hanya basa-basi saja bertanya seperti itu. Dia jelas sudah hafal kalau Nala lebih suka air putih ketimbang minuman lain untuk menu sarapan seperti ini.
Nala menimbang sebentar sebelum menjawab, "Aku mau jus ya, Bi. Jus apel terus batu es-nya yang banyak."
Ia mengerutkan keningnya bingung. Selama dua tahun ia melayani Nala di rumah ini, tak pernah sekalipun wanita itu meminta hal seperti barusan. Dia ingat, dulu Nala pernah sangat marah saat ia menyediakan jus di waktu sarapan begini. Tapi kenapa sekarang malah berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nala with Her Second Chance (ON GOING)
Romance[Follow dulu sebelum baca] DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA INI! "Nala siapa?" Sebelumnya dia adalah Adira Savina, perempuan biasa dengan latar belakang biasa pula. Dia baru merasakan hidup sedikit layak setelah berhasil membangun bisnisnya sendiri. N...