BAB 26

6.4K 254 0
                                    

"Jadi, kita akan makan siang dimana?" Martin menoleh ke samping, dimana Valerie duduk dengan memainkan Handphone-nya.

"Aurel bilang dia menunggu di restoran Erlangga" balas Valerie

"Serius Va!" Florencia tiba tiba memekik di jok belakang.

Valerie menoleh ke belakang, menatap jengah pada Viviana yang sedah seperti anak kecil yang mendapatkan permen "Kenapa kau begitu senang?"

"Eh" Viviana gelagapan membuat Valerie heran "Yah kan Resto suamimu itu Resto bintang lima Va, isinya orang orang kalangan atas semua. Jadi yah wajar dong aku senang"

Valerie tidak yakin dengan jawaban Viviana yang seperti menyembunyikan sesuatu. "Apa kau merasa kalo kau kalangan bawah Vi, ayolah Vi. Aku yakin kau senang bukan karena itu"

"Percaya aja sih Va, capek tau nyari alasan yang pas" Viviana mendelik kesal, sungguh di otaknya tidak ada alasan yang cocok untuk di keluarkan.

"Yah makanya kasi tau yang jujur" Valerie kembali menatap ke depan.

"Alasan jujurnya nggak boleh ada yang tau. Udah sih va, percaya sama yang bohong aja."

Martin sendiri sesekali mencuri pandang pada Valerie yang sedang memasang wajah kesalnya. Rasa bahagia ketika melihat Valerie, membuatnya yakin jika dia memang benar benar mencintai Valerie.

"Ngapain ngeliatin aku kayak gitu?"

Martin gelagapan sendiri saat dirinya ketahuan, ia merasa malu sendiri karena tertangkap basah sedang memandangi Valerie dengan senyum senyum. "Tidak apa apa, hanya saja aku merasa geli liat wajah kesalmu itu" balas Martin.

"Ayo turun, kita sudah sampai" ujar Martin, ia turun terlebih dahulu, disusul oleh Valerie dan Viviana.

"Moga moga aja masih ada tempat yang kosong" gumam Viviana setelah melihat begitu banyak pengunjung.

"Aurel udah nyiapin kali, ayo masuk" ketiganya memasuki Resto.

"Aku disini" Aurel langsung berdiri dan melambaikan tangannya ketika melihat Valerie memasuki Restoran.

"Kangen!" Tubuh Valerie hampir terhuyung kala Aurel memeluknya tiba tiba

"Kalian baru beberapa hari nggak ketemu udah menye menye kayak gitu, nggak malu diliatin orang" sindir Florencia, padahal dirinya sendiri kadang bersikap seperti itu.

"Iri bilang boss"

"Halu Nona? Mana ada boss iri sama bawahan"

"Udah udah, malah pada ribut. Malu kali diliatin orang." Valerie mengambil duduk di samping Aurel dan meminta Martin agar duduk di kursi yang berhadapan dengannya, begitu juga dengan Viviana yang ikut gabung dengan mengambil kursi di sampingnya.

Aurel memandang wajah pria di depannya yang seperti tidak asing lagi. "Ngeliatin dia nggak usah sampe segitunya kali Rel" tegur Florencia

Aurel tidak mengidahkan teguran Florencia "Martin bukan sih?" Tanya Aurel pada akhirnya, ia tidak ingin hanya menebak nebak saja.

"Iya" balas Martin dengan singkat, ia menatap Aurel dengan bingung, berusaha mengingat ingat, apakah mereka pernah bertemu sebelumnya."Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Aku Aurel. masa nggak ingat"

"Aurel" gumam Martin sebelum ingatannya kembali di masa masa dia masih sekolah di menegah atas, dan memiliki sahabat yang sangat dekat dengannya dan setelah lulus mereka sudah tidak lagi bertemu, dan sekarang apakah di depannya ini adalah sahabat semasa SMA-nya.

"Rere" Martin mengucapkan nama panggilan yang diberikannya dulu, membuat senyum Aurel merekah.

"Uhhh TinTin, aku pikir kau sudah lupa" tanpa banyak berkata lagi, Aurel menghampiri Martin dan langsung memeluknya yang langsung di balas oleh Martin.

Melupakan ketiga manusia yang menatap keduanya tanpa berkedip, apalagi Valerie, ia sama sekali tidak menyangka jika pria yang sering Aurel bicarakan adalah Martin.

"Mereka pacaran yah?" Tanya Viviana dengan bisikan.

Valerie refleks menggeleng. "Mungkin mereka hanya teman saat SMA, kau tidak lupa kan kalo Aurel itu pacaran dengan kak Vano."

"Eh iya iya."

"Mau sampai kapan meluk anak orang?" Tanya Florencia, jengah melihat Aurel yang tidak melepaskan pelukannya, padahal Martin sendiri sudah tidak membalas pelukannya.

"Ganggu aja" kesal Aurel sebelum kembali ke kursinya.

"Hati hati Rel, kalo kakak aku liat bisa bahaya" ujar Valerie "Eh tapi tunggu dulu, Martin kan waktu itu datang ke pernikahaan aku, emang kalian nggak ketemu?"

Keduanya menggeleng "Setelah menemuimu aku langsung pulang"

Valerie mengangguk paham.

"Va, pesan makanan gih. Laper tau" Viviana memegang perutnya dengan memasang muka melas.

Valerie melambaikan tangan, memanggil salah satu pelayan yang dengan segera menghampirinya. "Ini menunya Nyonya" Valerie menerima buku menu itu, melihat lihat makanan apa yang cocok untuk di makan, setelah memesan. Mereka makan dengan tenang.

.
.
.

"Arghhhgh."

"Masih tidak ingin buka mulut?" Tanya Erlangga, ia memandang remeh wajah penghianat di depannya, yang sekarang telah disiksa oleh pengawalnya.

"Hen..tikan. Tu..an" mohon tuan Arkan dengan nafas tersenggal senggal.

"Baik, tapi cepat katakan siapa yang menyuruhmu melakukan itu semua?"

Tuan Arkan menunduk dalam, ia tidak akan bisa mengatakan siapa yang menyuruhnya, jika tidak ingin keluarganya kenapa napa, tapi jika tidak dia katakan maka nyawanya lah yang akan melayang.

"Masih tidak ingin buka suara?" Masih tidak ada suara membuat Erlangga segera meraih Handphone-nya. "Bawa dia kemari" titah Erlangga.

Tidak lama. Pintu terbuka dan masuklah salah satu pengawal yang menyeret seorang anak kecil yang merontak ketakutan.

"Daddy! Hiks help me" gadis kecil itu semakin menangis semakin kencang saat mendapati ayahnya yang sedang disiksa.

"Nana" lirih Tuan Arkan. "Lepaskan puteriku. Saya mohon Tn. Lepaskan puteriku, bunuh saja saya. Tapi tolong bebaskan puteri saya" pinta Tn. Arkan.

"Dia akan selamat, jika kau buka mulut, tapi jika tidak..." Erlangga menodongkan pistolnya ke arah gadis kecil itu yang menangis ketakutan. "Jangan harap puteri kecilmu selamat"

"Saya akan katakan" putus Tn. Arkan, dia tidak akan rela puterinya dibunuh. Tidak akan pernah rela. "Dia adalah T..."

Dorr

Semuanya terjadi begitu cepat, teriakan dari gadis kecil bernama Nana memenuhi ruangan Eksekusi saat melihat peluru itu mengenai ayahnya.

"Sial, cepat cari tau siapa yang melakukannya" titah Erlangga. Hampir saja dia mengetahui pelakunya. Tapi orang itu sudah mati tanpa memberinya informasi. Sial.

"Dia berhasil lolos Tn." Lapor Daniel membuat Erlangga geram.

"Bodoh!" Ia memandang ke arah jendela yang sudah bolong, ia yakin seseorang menembak dari jarak yang cukup jauh. Dan pastinya adalah orang yang sudah terlatih. Jika tidak, ia tidak akan mungkin bisa melakukannya.

"Kembalikan anak itu pada keluarganya."

"Lalu bagaimana dengan jasadnya Tn?" Tanya Daniel, jelas jasad yang dimaksud adalah jasad Tn. Arkan.

"Itu akan menjadi urusanmu" Erlangga meninggalkan ruangan setelah mengatakannya.

Sepertinya dia tidak akan istirahat karena masalah perusahaannya dan juga musuh yang dia beluk ketahui siapa. Dia memang sudah menduga salahs satu orang, tapi Erlangga butuh bukti untuk itu.

ValerieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang