39

269 44 139
                                    

Ketiga manusia itu kini berjalan beriringan, berniat berangkat ke sekolah. Namun, dari jarak delapan meter menuju gerbang— salah satunya menghentikan langkah secara tiba-tiba. Perempuan disampingnya dan laki-laki berkacamata itu menoleh kebelakang dengan air wajah yang bingung.

"Kenapa lu?" Tanya salah satunya, Jeno.

Nana hanya tersenyum seakan mempunyai ide di dalam isi kepalanya.

"Gak jelas lo, buruan masuk!" Sambar Ara yang melanjutkan langkahnya, tapi dengan cepat ditahan oleh Nana.

"ET!!! Jangan dulu!" perintahnya.

"Apaan?" tanya Jeno penasaran.

"Kita bolos aja!" ucapnya seenak jidatnya.

Sepasang mata itu membulat dengan pandangan tak mungkin. Kini kedua sahabatnya itu menggeleng remeh untuk bereaksi terhadap kalimat yang diucapkan oleh Nana.

"Tumben ngajak bolos?" tanya Ara.

Nana tersenyum ceria, "kita main, hari ini gak usah dulu mikirin pelajaran," usulnya penuh dengan kepercayaan diri.

"Yakin lu? Sebulan masuk udah bertingkah aja lu!" kata Jeno sambil tersenyum jahil.

Laki-laki itu menghela nafas berat, "udahlah, kuy berangkat!"

Bukannya merasa resah, mereka bertiga ternyata sama saja untuk niat bolos sekolah, sekarang ketiganya tengah berjalan kaki menelusuri trotoar. Posisi depan itu Nana, belakangnya ada Ara, dan di belakang gadis itu diikuti Jeno.

Tepat pandangan Nana terhenti ketika melihat bis yang bertuliskan alamat keberangkatan dimana alamat itu adalah tujuan sebenarnya ia mengajak kedua sahabatnya membolos.

Mereka terhenti saat Nana melambaikan tangannya sebagai aba-aba supaya bis itu berhenti. Tentu saja, sekarang bisnya berhenti di hadapannya.

Ara menatap Nana tak mengerti, "Lo gak lagi halu kan?"

"LO MAU BAWA KITA KESANA?" tanya Jeno terkejut saat sadar membaca alamat yang tertera dikaca bening bis itu.

"Udah, naik aja! Gak usah bacot dulu!" sambar Nana sambil masuk kedalam bis itu.

Jeno dan Ara saling bertatapan, keduanya kebingungan— tapi mau bagaimana lagi, tanpa ambil resiko mereka ikut masuk kedalam. Bangku paling belakang, di sana kosong dan cukup lebar, mereka duduk di sana dengan posisi Ara di tengah, diapit oleh ke dua sahabatnya. Sangat beruntung sekali.

"Yakin lo?" tanya Jeno sambil menatap wajah Nana, ragu.

Nana mendecik, lalu ia meyakinkan sahabatnya itu yang dari tadi bertanya tak kunjung berhenti, membuatnya pusing, "udah, santai aja. Gue ngajak ke pantai udah bosen sama pemandangan kota terus. Lagian gue udah bawa semua obat ko, gak usah alay lo semua!"

Ara menatapnya sinis, "dih, awas aja lu nyusahin. Mana gue gak bawa baju ganti, bekel aja ketinggalan di rumah."

"Dompet lu bawa kan, Ra?" tanya Jeno.

Gadis itu menggeleng hingga terlihat kikuk dihadapan Jeno dan Nana, "ya, abisnya gue ga tau! Gue cuma bawa tiga puluh rebu, gimana?"

"Yaelah, Ra!" keluh Jeno.

"Ada gue tenang, nih tinggal gesek! Lu juga bawa kan, Jen?" tanya Nana kepada Jeno sambil memperlihatkan kartu atm-nya.

Jeno memeriksa keadaan dompetnya, berharap kartu atm itu ada di dalamnya, "huh—ada!" ucap Jeno dengan air muka ceria.

"Dah, Ra! Lo tinggal duduk manis aje!" ujar laki-laki berkacamata itu dengan senyumannya, terlihat kedua matanya menyipit, gemas.

"Iye dah, gimana lu pada, yang penting gue gak kelaperan!" ujar Ara.





ᴛᴀᴋ ᴛᴇʀɢᴀᴘᴀɪ ; ᴊᴀᴇᴍɪɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang