Lea mendengus sembari menghela nafas berkali-kali, menetralkan nafasnya yang tersengal karena dia berlari lumayan jauh. Agasta sudah membuat jantungnya tidak sehat, Agasta sudah membuat jantungnya harus berolahraga di sore hari yang mendung ini.
"Sialan banget tuh manusia, kan... kan gue deg-degan," gumam Lea sembari mengatur nafasnya lagi. Untungnya, tadi dia sudah membeli es jeruk untuk membasahi tenggorokannya yang kering, jadi lumayan.
Namun saat Lea menatap ke depan, disana sudah ada Wendy dan salah satu temannya yang sama sekali tidak Lea kenali. Lea terdiam, bahkan es jeruk yang dia pegang sampai jatuh, sementara Wendy tertawa melihat Lea.
"Kita ketemu lagi, Lea."
Lea mundur, dia salah karena telah mengambil jalan yang sepi ini, seharusnya dia lewat jalan besar dan naik bus, atau memesan ojek online sebelum keluar, tidak seperti ini.
Wendy menarik lengan Lea, membuat gadis itu gemetar setengah mati. "Lo takut sama gue?"
Tidak menjawab, Lea malah semakin diam dan menunduk. Jujur saja, Lea bukan termasuk cewek pemberani yang akan melawan Wendy dan temannya ini, Lea cewek lemah, cewek tak berdaya. Fisiknya saja yang memang terlihat kuat, tapi hati dan mentalnya, tidak.
"Lep-lepasin..." Lea melirih.
"Lo kudunya sadar, gue udah bilang jangan deketin Agasta! Budeg lo?! Tuli?! Jangan sok jagoan jadi orang!" Wendy mendorong tubuh Lea, juga mendorong kepala Lea hingga tubuh gadis itu oleng dan terjatuh di aspal.
"Nggak, gue, nggak!" Lea berteriak sembari memegangi kepalanya dan menggeleng, Lea tidak ingin kejadian saat SD nya terulang, tidak!
"Kalo gue masih liat lo deket sama Agasta, mampus lo di tangan gue!" Wendy menginjak bumi dengan sangat kuat, membuat Lea semakin gemetar takut. Akhirnya, Wendy dan satu temannya pergi dari sana, apalagi kalau bukan untuk ke karaoke? Wendy memang anak BEM, itu semua karena ibunya yang memang rektorat di Universitas Pelita Bangsa. Kalau tidak, mungkin Wendy hanyalah mahasiswi biasa tanpa jabatan apapun.
Lea menggelengkan kepalanya sembari memegangi kepalanya, dia takut, Lea trauma, Lea kembali mengingat kejadian saat SD, dimana dia menjadi bahan bullyan di sekolah dasar-nya. Dulu, saat di sekolah dasar, Lea memang menjadi langganan bully anak-anak berandal, baik cewek maupun cowok akan membullynya tanpa ampun. Mulai dari mengambil uang jajannya, menendang kakinya, menjambak rambutnya, hingga memasukkan tas-nya kedalam tong sampah. Namun Lea hanya diam, Lea tidak mampu mengadu pada guru maupun kedua orangtuanya, Lea takut karena teman-temannya itu mengancam.
Sampai kini, Lea tumbuh menjadi gadis yang penakut dan suka tidak peduli dengan apapun. Lea begitu trauma, bisa di bilang, Lea stress karena itu, karena mengingat kejadian masa lalu.
Sebuah tangan terulur, Lea menatap uluran tangan itu dan menatap siapa orang yang telah memberinya uluran tangan.
"Rensa?"
"Lo kenapa? Sini, bangun dulu." Rensa meraih tangan Lea, Lea yang dalam keadaan takut, langsung memeluk Rensa dengan erat, dia butuh pelukan, dia butuh kehangatan dan keamanan.
"Heh! Mesum di pinggir jalan, kiamat emang makin deket!" Tegur Agasta sembari mengendarai motornya dan berhenti tepat di dekat Lea dan Rensa.
Lea menoleh, untung saja Lea hanya ketakutan, tidak sampai menangis. Kalau Lea menangis dan Agasta mengetahuinya, sudah pasti seniornya itu akan mengumbar semuanya sampai Lea benar-benar terkenal di kalangan Pelita Bangsa.
"Gue duluan." Lea melepaskan pelukan Rensa, lalu pergi dari sana, Lea butuh waktu, dia butuh kesendirian untuk menghilangkan trauma ini, trauma terbesar dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen Fiction"Jadi, selama ini Kakak menggunakan aku sebagai alasan untuk menjauh dari Kak Wendy?" "Justru itu, gue kemakan omongan gue sendiri, Le. Sekarang, gue malah cinta beneran sama lo. Bener kata orang, cinta itu beralasan." *28/08/2020*