20 - Friend, but Just

7 1 0
                                    

Dedaunan sudah mulai berguguran, sepertinya musim gugur akan segera tiba. Sayangnya, hanya ada daun kering saja yang berjatuhan, tidak dengan bunga indah yang akan menghiasi jalan. Lea mengendarai motornya dengan cepat hingga melindas dedaunan itu hingga membuat daunnya berterbangan.

Semenjak kejadian tadi malam, Lea ingin menjauhi Agasta sejauh-jauhnya. Bahkan kalau bisa, Lea tidak ingin lagi melihat Agasta. Tapi, apakah mungkin jika mereka bertetanggaan bahkan kuliah di kampus yang sama?

Rasanya, semua materi yang sudah ia pahami semalam hilang entah kemana. Bahkan semalam saja Lea tidak memperhatikan penjelasan Agasta dengan benar, ia malah sibuk menatap wajah Agasta yang sedang serius itu. Benar-benar tampan, tidak ada campuran formalin dan boraks. Apalagi ketika melihat Agasta yang sedang menyibak poninya ke bagian belakang, sungguh itu membuatnya semakin terlihat tampan.

"Apa-apaan sih pagi-pagi mikirin tuh tukang ngomel, gajelas." Lea bergumam sembari mengambil tasnya dan segera menuju kelas. Pagi ini ada kuis, dan Lea tidak mungkin meninggalkannya. Meskipun ia tahu ia tidak akan bisa menjawab, yang terpenting percaya diri saja dulu.

Lea duduk di kursinya, menunggu dosen killer itu datang. Kegaduhan di kelas pun sepertinya tidak akan mengganggu Lea, gadis itu memilih diam dan kembali membaca-baca materi pagi ini.

Sementara Wendy, gadis itu berdiri di jendela kelas Lea, menatap gadis itu. Tangannya mencekal kuat, seakan hendak menjambak rambut gadis itu hingga terlepas dari kepalanya.

"Semalem lo bener-bener bikin gue emosi karena berduaan sama pacar gue, Lea."

***

Dugaan Lea benar-benar terjadi, ia disuruh keluar dari kelas Bu Novri karena tidak bisa menjawab pertanyaannya untuk itu Lea memutuskan untuk ke kantin saja. Bukannya tidak bisa, hanya saja Lea tidak menguasai materi. Lagipula materi itu sama sekali belum dijelaskan, hanya diberi materi saja, apakah itu membuat paham? Dan dengan entengnya Bu Novri menjawab,

"Kamu punya smartphone, koneksi internet juga mustahil kalo kamu nggak punya. Setidaknya kamu punya nalar untuk mengerti materi itu, bukan hanya memandangi materi layaknya orang yang benar-benar paham. Teman-teman kamu bisa tuh, kenapa kamu enggak?"

"Kalo temen gue bisa, kenapa harus gue?" Monolog Lea, lalu menyesap es jeruk nipis dengan geram. "Lagian mereka bukan bener-bener temen gue."

Sedang asyik menyesap es, tiba-tiba saja Wendy datang dan langsung duduk di hadapan Lea dengan senyuman miring. "Hai Lea, long time no see."

Lea sedikit terkejut, mendapati seniornya dengan senyuman miring seperti itu, pasti ada masalah besar yang akan terjadi. Wendy pasti ingin membentak bahkan membullynya, tapi karena apa?

"Tali bra gue lepas, lo bisa bantuin gue nggak?"

Lea kebingungan sendiri, bukankah Wendy memiliki banyak teman? Dan seharusnya Wendy meminta tolong pada temannya, bukan pada dirinya yang notabenenya adalah junior. Apalagi terhadap bagian sensitif seperti itu, rasanya tidak lazim saja. Tanpa berpikir apapun lagi, Lea mengiyakan permintaan Wendy.

"Yaudah, ayo ke toilet. Kan nggak mungkin kalo di sini," ujar Wendy sembari menarik tangan Lea lembut.

Mendapatkan perlakuan lembut dari Wendy, Lea berpikir kalau Wendy tidak akan lagi membullynya. Bahkan biasanya Wendy akan menarik paksa Lea, hari ini Lea berkata dengan lembut dan tidak memaksanya sama sekali.

Apa mungkin Kak Wendy udah capek bully gue? Dia juga udah percaya kalo gue sama Kak Agasta itu gaada apa-apa? Mungkin. Batin Lea.

Wendy memberikan kedipan pada Thea yang berada di balik tiang besar, menginteruksikan untuk segera datang ke toilet. Thea yang di beri kode, langsung mengangkat ibu jarinya dan pergi ke toilet.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang