29 - Anxiety Disorder

8 1 0
                                    

Kini Lea dan Agasta duduk di motor membelah kota Yogyakarta petang ini, angin juga berhembus dengan santai seperti tahu kalau banyak orang yang kepanasan. Terlebih lagi Lea, saat tubuhnya hendak menempel dengan punggung Agasta di saat Agasta mencekal rem dengan mendadak, ia bisa merasakan hawa tubuh Agasta yang meningkat.

"Kak, punggung lo kok panas ya? Lo sakit?" tanya Lea yang mulai khawatir, pasalnya punggung Agasta beda dari biasanya, ini seperti air rebusan yang di diamkan beberapa saat. Meskipun sudah tidak panas, namun masih hangat.

"Gausah banyak tanya, males gue denger suara lo." tegas Agasta sembari menahan rasa sakit. Jujur saja, punggungnya terasa sangat perih sekali.

"Kok kayak basah sih? Lo keringetan banyak banget gini loh, Kak." Lea meraba punggung Agasta yang memang basah sekali meskipun Agasta mengenakan dua jaket tebal.

Agasta menghentikan motornya, "Lo bisa diem nggak! Gue gamau denger suara lo!" Agasta menatap Lea dari kaca spionnya, lalu tersenyum miring.

"Muka lo juga keringetan gitu, Kak! Lo sakit ya?" Lea turun dari motornya, setelah itu Lea menatap wajah Agasta yang basah dan keringat yang mengalir di pelipisnya. Lea menangkup kedua pipi Agasta dan menatap kedua mata laki-laki itu.

Dahi Agasta berkerut, ia panik. Jujur saja, ia merasa sangat tidak nyaman, ia merasa emosinya yang berubah-ubah setiap saat. "Jauhin tangan lo!"

Dapat Lea rasakan dengan jelas, tangan Agasta yang gemetar hebat. Keadaan ini persis sekali saat dulu ia berada di gudang sewaktu di jahili oleh teman-teman SD nya. Lea memeluk Agasta dengan sangat erat, persis seperti yang seorang cowok lakukan padanya sewaktu dulu. Lea kembali teringat pada saat itu, saat dimana ia di selamatkan oleh seorang cowok yang ia anggap seperti pangeran berkuda yang menjemput putrinya. Dan pelukan ini, persis pelukan itu.

"Gue gatau lo kenapa, tapi biarin gue bikin lo tenang." Lea berbisik dengan sangat melirih, mengusap punggung basah Agasta dengan tangan kanannya. "Lo emang nyebelin, tapi gue gabisa benci lo Kak."

Tak bisa memberontak, Agasta malah menikmati pelukan Lea. Pelukan yang bisa membuat rasa khawatirnya menghilang dan membuatnya terasa aman. Namun Agasta sadar, Rensa menyukai Lea. Jadi, ia tidak memiliki hak untuk merebut milik Rensa. Ia sadar, ia telah membunuh Mamanya Rensa yang membuat Rensa tidak akan pernah menganggapnya sebagai kakak lagi. Perlahan, Agasta melepaskan pelukannya. "Gausah sok care, benci banget gue sama lo."

Lea yang di katai begitu tetap diam, apa salahnya? Ia hanya ingin membantu Agasta, meskipun ia tidak tahu apa yang di rasakan oleh Agasta. Namun yang Lea pikirkan adalah, Agasta sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Naik, kalo enggak gue tinggal." Agasta kembali menyalakan mesin motornya. Setelah gadis itu naik, barulah Agasta melajukan motornya dengan kecepatan standar. Ia sudah tidak ingin lagi mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, karena ia tidak akan pernah mau mengulang kesalahan kedua kalinya. Sudah cukup kecelakaan masa lalu yang membuatnya tidak di anggap.

"Padahal gue cuma mau nenangin lo doang, tapi lo nya malah marah. Gue gatau apa yang ngebuat lo jadi ketakutan kayak tadi, tapi gue--"

"STOP ATAU GUE TURUNIN?!"

***

"Makasih, Kak. By the way nanti malem gue bisa nanya-nanya tentang Bu Novri nggak? Gue masih bingung kenap--"

"Pulang lo."

"Kenapa Bu Nov--"

"Pulang."

"Bu Nov--"

"LEA MARISSA AYU!"

Yang di sebut namanya langsung berlari terbirit-birit masuk ke dalam rumahnya dan mengunci gerbang, takut kalau Agasta akan mengejarnya. Sebenarnya itu hanya dusta, Lea hanya ingin mengobrol banyak dengan Agasta. Eits, bukan berarti Lea sudah mulai menyukai ketua BEM itu, hanya saja ia masih ingin tahu mengapa Agasta berubah hari ini, tidak seperti biasanya.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang