25 - Dinner

6 1 0
                                    

Sebenarnya bukan hanya untuk makan malam saja, tapi Lea juga membawa tugas-tugas yang diberikan oleh Bu Novri. Belajar dan makan malam, menyelam sembari minum air, begitu.

Malam ini Lea berdandan, sebenarnya bukan agar terlihat cantik dimata Agasta. Namun Lea tidak mau terlihat jelek ketika bersama Agasta. Tapi, apa bedanya?

"Lo udah bawa materinya?"

Lea mengangguk sembari menepuk totebagnya, "Udah, semuanya udah lengkap di dalem sini."

"Sebenarnya gue males banget ngebimbing lo, karena lo tuh nggak akan ngerti-ngerti. Tapi karena ini udah jadi tugas gue dan gue juga dapet untung, yaudah ayo." Agasta mengeluarkan motor sportnya dari bagasi, ia menaiki motornya dan menyalakannya. "Naik lo, tapi jangan deket-deket. Social distancing sama gue."

Lagian gue juga gamau kali deket-deket sama lo, kang debat. Batin Lea

Lea naik ke motor sport Agasta, ia benar-benar menjaga jarak dengan Agasta. Bahkan, Lea meletakkan tasnya di tengah-tengah agar menjadi penghalang antara dirinya dan Agasta. "Udah, ayo."

"Tas lo jangan taro di situ, ganggu punggung gue."

"Abisnya taro dimana?"

"Di muka lo! Ya dimana kek, yaampun." Agasta hampir saja kehabisan kata-kata untuk memarahi Lea.

Lea meletakkan tasnya di wajahnya, sampai ia sendiri tidak dapat melihat dengan jelas. "Kak, gue gabisa liat!"

Agasta menatap Lea dari kaca spionnya, "Astaga, aneh lo! Nggak salah gue nyebut lo alien." Agasta turun dari motornya lalu menatap Lea geram, ia merebut tas Lea dan memakainya di bahu kirinya. "Kalo bukan inget Mama lo baik banget sama gue, mungkin udah gue hajar lo sampe mampus."

Lea menepuk-nepuk pipinya, menantang Agasta. "Nih, hajar nih."

"Sok-sokan nantangin, gue tatap aja kicep lo kek ayam kecap."

***

Keduanya sudah sampai di kafe Gloria. Lea sudah lebih dulu masuk karena tidak mau menunggu Agasta yang masih mencari parkiran. Lea duduk di sudut kafe yang memang menjadi tempat duduk favoritnya. Lea juga memesan ice Americano untuknya sendiri. Bukankah Agasta bisa memesan sendiri? Jadi, ia tidak perlu memesannya untuk Agasta.

Lea membuka laptopnya, mencari file materi yang akan ia pahami sembari menyesap ice Americano.

Agasta datang dan langsung duduk di hadapan Lea. "Lo nggak mesenin minuman buat gue?"

Lea menggeleng, "Kan punya tangan, kaki, sama mulut buat ngomong."

"Gue gedig ancur lo berkeping-keping." Agasta bangkit, ia bangkit untuk memesan ke loket. Kafe Gloria memang sama sekali tidak memiliki pelayan untuk mengantar pesanan, jadi pengunjung harus memesan ke loket dan membawanya sendiri ke meja.

Lea menatap handphone Agasta yang tergeletak di atas meja, perlahan tangannya mengendap-endap dan mengambil handphone itu. Ia mulai menekan tombol power di handphone itu, namun saat ia menaikkan loockscreen nya, handphone itu menggunakan pin untuk membuka kuncinya. "Ngapain harus dikunci sih, kayak ada apa-apanya aja."

Lea menatap Agasta yang hampir kembali, lantas ia mengembalikan handphone itu di tempat semula. Namun belum juga ia meletakkannya, Agasta sudah keburu datang.

"Ngapain lo pegang handphone gue?"

Lea gugup, "Itu, tadi, pengen jatuh. Ah..." Lea membulatkan bibirnya ketika handphone Agasta benar-benar jatuh. Sebelum Lea mengambil handphone itu, Agasta sudah lebih dulu mengambilnya.

Agasta duduk dengan raut kesal, untung saja layar handphonenya tidak lecet. "Dari tadi di kampus, sampe rumah, sampe sini, kenapa lo demen banget bikin gue emosi? Bukannya naik haji, malah naik pitam."

Setelah perdebatan kecil itu, akhirnya Agasta benar-benar membimbing Lea sampai akhirnya Lea paham dengan materi yang diberikan oleh Bu Novri. Lea senang ketika melihat Agasta menjabarkan penjelasan dengan sangat detail, membuatnya paham.

"Jangan bilang lo nggak paham sama apa yang udah gue jelasin."

Lea menggeleng, "Enggak."

Agasta menepuk dahinya, "Makannya, pas pembagian otak jangan bolos. Kan gini, goblok orang se-kabupaten di embat sendiri."

Lea sama sekali tidak marah dengan perkataan Agasta yang memang nyelekit, Lea sudah kebal dengan mulut Agasta yang memang memakai karet dua, pedas. "Makannya jelasin lagi, gue masih belum paham." Yap, Lea hanya menjahili Agasta saja. Karena melihat Agasta marah, membuatnya senang.

"Dahlah, gue pengen pulang." Agasta bangkit sembari membawa handphonenya, namun Lea langsung menarik tangan Agasta untuk kembali.

Lea tertawa puas, "Gue bercanda, gue bercanda! Iya gue udah paham kok. Sini dong duduk dulu, onion ring lo juga belum abis."

Mau tak mau, Agasta kembali duduk dengan kepala panas. Sudah lelah ia menjelaskan sampai mulutnya berbusa, jika sampai Lea belum paham juga, fix otak gadis itu memang ketinggalan di perut Mamanya. Agasta menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 22:00 malam. "Udah malem, ayo pulang."

"Em?" Lea juga menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang memang sudah sangat larut. "Yaudah ayo."

Lea berpegangan pada bahu Agasta untuk naik ke motor besar itu, ia duduk sembari membenarkan kuncirannya yang sedikit berantakan. "Kak, pelan-pelan ya. Gue lagi benerin kunciran nih."

Agasta tidak menjawabnya, yang memang ia tidak mendengar ucapan Lea karena deruan suara motor yang sangat kencang. Agasta mengegas motornya dengan kecepatan tinggi, membuat Lea sontak memeluk Agasta dengan erat.

Lea menghela nafasnya berat, "Kak! Kan gue bilang pelan-pelan, gue lagi benerin kunciran! Kaget tau nggak, kunciran gue juga terbang kan!" Lea mengomel karena sekarang rambutnya menjadi tergerai begitu saja.

"Gue nggak denger!" teriak Agasta. Ia terus menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi. Udara malam ini terasa sangat dingin, ia rasa hujan akan segera turun. Jadi, ia harus cepat sampai rumah sebelum hujan. "Pegangan yang kenceng, gue pengen ngebut!"

Saat Agasta semakin mempercepat motornya untuk melaju, Lea kembali memeluk tubuh besar Agasta karena refleks. Lea berlindung dari hujaman angin yang menerpa wajahnya, rambutnya juga berterbangan bebas. Tangannya melingkar di pinggang Agasta, erat sekali. "Jantung gue kenapa nih?" Lea bergumam.

Begitupun Agasta, ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya ketika Lea memeluknya. Ia seperti merasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan.

Saat sampai di rumah, Lea membenarkan rambutnya yang sangat berantakan. "Kunciran favorit gue terbang gara-gara lo, ah!" Lea berdecak kesal.

Agasta memarkirkan motornya di garasi, "Emang gue peduli? Kunciran goceng tiga aja favorit, dih."

"Tau ah, nyebelin lo." Lea hendak pergi, namun ia kembali karena melupakan sesuatu. "Makasih karena udah ngajarin gue, maaf juga karena main meluk lo aja tadi." Lea langsung berlari ke kamarnya. Malu, sudah pasti. Di sepanjang jalan tadi Lea memang terus saja memeluk Agasta karena Agasta yang membawa motor seperti orang yang mengajak ke alam baka.

Saat Lea masuk ke rumahnya, ia mendapati Mamanya yang tengah menuangkan air ke gelas. "Kamu kemana sih, sampe malem banget gini. Tadi katanya cuma mau keluar sebentar sama Agasta, tapi malah sampe malam gini."

Lea menaiki tangga, "Itu Kak Agasta minta di kafe Gloria aja katanya, yaudah deh jadi malem begini." Lea memutar kenop pintunya, "Good night, Ma."

Gadis itu meletakkan tasnya di atas meja belajar, ia membuka pintu balkon dan menghirup udara malam yang tampak segar. Lea kembali merasakan rasa hangat saat tadi ia memeluk Agasta, rasa yang sepertinya pernah ia rasakan. Tapi, apa mungkin Lea pernah bertemu dengan Agasta di masa lalu?

Lea menatap jendela balkon kamar Agasta yang tampak remang-remang, bahkan ia bisa melihat bayangan Agasta yang tengah membuka baju di dalam sana.

"Di satu sisi, gue ngerasa De Javu sama pelukan tadi. Tapi di sisi lain, gue ngerasa takut buat deket-deket sama lo, Kak. Karena, banyak banget orang yang nggak suka gue deket sama lo."

***

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang