24 - Ambisius

7 1 0
                                    

Lea keluar dari ruangan Bu Novri dengan malas, seharusnya ia tidak malas-malasan seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana? Ia terpaksa harus bimbingan dengan Agasta, walaupun ia ingin sekali menjauh dari laki-laki itu.

"Ren! Rensa!" Lea berteriak memanggil Rensa saat melihat laki-laki itu tengah berjalan di koridor. Lea berlari menghampirinya, "Ren, abang lo mana?"

"Kok nanya gue?"

"Kan gue nanya, salah?"

"Gue gatau." Rensa melanjutkan langkahnya meninggalkan Lea, malas sekali ketika ada orang yang menanyakan Agasta. Ia sangat membenci Agasta, dan akan tetap begitu untuk selamanya.

"Mm, Ren! Boleh pinjem handphone lo sebentar nggak? Gue mau--"

"Nggak." Rensa melanjutkan langkahnya melenggang pergi. Mood nya sudah terlanjur buruk, ia sedang tidak baik-baik saja.

Lea tertegun, ia pikir meminjam handphone Rensa adalah hal yang mudah, namun nyatanya tidak sama sekali. Lantas, bagaimana caranya ia bisa mengecek siapa pemilik anonymous account itu? Kalau bukan Rensa, lantas siapa? Apakah Wendy? Tapi, apakah gadis itu mengerti soal sadap-menyadap?

"Akh! Gue pusing."

Tanpa disangka, Rensa berbalik dan berdiri di hadapan Lea. "Lo sakit?"

"Hah? Hehehe."

***

Kini Lea dan Rensa benar-benar sudah berada di klinik. Sebenarnya Rensa hanya salah faham saja dengan gumaman Lea, tapi tidak apa-apa. Dengan begitu Lea bisa mengorek informasi dari Rensa kalau ia tidak bisa meminjam handphone laki-laki itu.

Padahal gue ngomong pelan banget dah, kok dia bisa denger gitu ya? Batin Lea.

"Lo ngomongin gue?"

"Hah?" Lea bingung sendiri, ia benar-benar tidak menyangka jika Rensa mendengar suaranya? Tapi apakah iya Rensa memang bisa mendengar suara hatinya? "Lo bisa denger suara hati orang?"

"Nggak."

"Seriusan ih anjir! Kok lo tau gue lagi ngomongin lo, meskipun dalem hati."

Rensa mengangguk, "Jadi lo beneran ngomongin gue?"

Lea mengerjap, "E-enggak!"

"Lo udah gapapa, kan? Gue mau ke kelas." Rensa bangkit dari duduknya, saat hendak beranjak keluar, Lea mencengkeram erat tangannya.

"Lo gamau minjemin handphone lo ke gue? Gue bener-bener butuh banget, handphone gue habis baterai dan gue harus telepon Mama buat kasih makan kucing gue. Emang lo tega liat kucing gue pingsan karena kelaparan? Dimana rasa periperkucingan elo.." Lea melirih, semoga saja Rensa berubah pikiran dan memberikannya pinjam.

"Nggak." Rensa melepaskan tangannya dari cekalan Lea lalu keluar dari klinik. Ia tahu kalau gadis itu meminjam handphonenya bukan untuk menelepon Mamanya, namun untuk urusan lain.

Lea menghela nafasnya berkali-kali, ia kembali memikirkan bagaimana caranya bisa meminjam handphone Rensa dan laki-laki itu mau meminjamkannya. Namun sepertinya, itu adalah tugas tersulit. Lebih baik ia berdebat dengan Agasta selama 24 jam daripada harus memaksa Rensa yang sama sekali tidak membuahkan hasil.

Dan sekarang, Lea baru saja mengingat kalau ia harus bimbingan dengan Agasta. Sial, dimana laki-laki itu sekarang? Ah, bukankah Agasta adalah orang yang sibuk di organisasi kampus? Tapi mengapa dia mau menjadi asisten Bu Novri? Ah, Lea tahu mengapa alasannya. Pasti karena Agasta tampan dan pintar, Bu Novri mengangkatnya menjadi asisten, kalau tidak ya tidak mungkin. Mendengar dari gosip yang beredar juga, Bu Novri menyukai Agasta. Padahal, Bu Novri sudah memiliki suami dan tiga orang anak.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang