Barisan dibubarkan, Lea menyeret tas karung goni nya dengan lesu. Para senior tidak bisa membuatnya beristirahat walaupun satu menit. Mungkin, besok Lea tidak akan masuk. Mungkin.
"Air!" Lea merintih dan meraba angin siapa tau ada pangeran berkuda membawakannya boba, lalu dia jatuh dan lututnya yang tak sengaja berbenturan dengan kerikil, membuat lututnya sedikit lecet.
"Akh! Siapa yang naro kerikil disini, anjir!" Pekiknya, rasanya sangat sakit. Lebih sakit daripada di tolak doi. Dan lihat sekarang, lututnya tergores dan sedikit berdarah.
Sebuah sapu tangan berwarna kelabu menutupi luka itu, membuat Lea menatap siapa yang baru saja melemparnya.
"Kalo luka, di obatin. Bukan malah lo liatin aja, nggak akan sembuh kalo cuma lo liatin."
Lea masih terpaku. Bukankah dia adalah Rensa Abrisam? Mahasiswa yang tadi membantunya dari serangan senior killer?
"Gimana gue mau obatin, sakit!"
Tanpa aba-aba, Rensa mengangkat tubuh Lea dan membawanya ke klinik yang masih buka. Dia menidurkan Lea di atas bangsal, dan mulai mencari kotak p3k.
Lea sedikit meringis dikala Rensa menempelkan kapas yang sudah basah karena alkohol tepat di lukanya. Namun sekali lagi, Lea masih saja terpaku menatap Rensa yang sangat cool itu. Menatap rambut laki-laki itu yang sedikit panjang yang tertiup angin malah membuat laki-laki itu terlihat tampan. Hei! Lo mikirin apaan, Lea?!
"Gue, Lea. Lo siapa?" Tanya Lea sembari mengulurkan tangannya, menunggu Rensa untuk menjabatnya.
"Rensa." Katanya tanpa menjabat tangan Lea, Lea yang melihat itu perlahan menurunkan tangannya, malu sekali.
"Udah. Gue duluan ya." Rensa kembali meletakkan kotak p3k di atas lemari, lalu mulai melangkahkan kakinya keluar. Namun, sebelum dia keluar Agasta sudah berada disana dengan tatapan mengintimidasi.
"Lo Rensa?"
"Ya."
"Lo sama Lea ikut gue."
"Ini udah bukan jam ospek, jadinya gue gabisa."
"Lo ngelawan gue?"
"Menurut situ?"
"Jadi junior nggak ad--"
"Sopan santunnya?" Tanya Rensa yang membuat Agasta semakin murka. Bahkan, Agasta hampir saja meninju wajah Rensa kalau saja Lea tidak bangkit dan menariknya.
"Ada apa, Kak?" Tanya Lea kemudian, bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bukan karena itu saja, setelah mengetahui bahwa sikap dari senior bernama Agasta dan teman barunya bernama Rensa yang begitu dingin dan arogant, sudah Lea yakini pasti ini akan berkahir ke perkelahian. Ah, teman? Memangnya Rensa menganggapnya sebagai teman?
"Lo berdua, ikut gue." Agasta melepaskan tangan Lea kasar, lalu berjalan mendahului keduanya.
"Ay--" belum juga Lea selesai berbicara, Rensa sudah lebih dulu berjalan mengikuti Agasta. Mau tak mau, Lea juga berjalan mengikuti keduanya.
Mengapa dirinya harus bertemu dengan orang yang begitu dingin seperti ini? Ini sama sekali bukan ekspetasi Lea. Pikirnya, dia akan menemukan seseorang seperti Bagaskara, sahabatnya sejak SMA yang kini harus berpisah karena Bagaskara harus pindah ke Jakarta.
Dan disinilah mereka berada, di ruang sidang. Agasta memilih ruang sidang karena agar intimidasi kali ini lebih mencekam. Dan ya, Agasta tidak akan membebaskan Maba yang telat walaupun baru sekali. Karena, dia sangat menjunjung tinggi kedisiplinan.
"Lo berdua tau apa alasan gue manggil kesini?" Tanya Agasta yang duduk di kursi hakim.
Lea menatap Rensa yang duduk tampak tenang, berbeda sekali dengannya yang sudah gelagapan dan berkeringat. Keduanya duduk di kursi tersangka dengan jarak radius satu meter.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen Fiction"Jadi, selama ini Kakak menggunakan aku sebagai alasan untuk menjauh dari Kak Wendy?" "Justru itu, gue kemakan omongan gue sendiri, Le. Sekarang, gue malah cinta beneran sama lo. Bener kata orang, cinta itu beralasan." *28/08/2020*