32 - Big Rocks

12 1 0
                                    

Agasta berjalan bolak-balik di kamarnya, antara ingin memberitahukan kepada Lea siapa dalang di balik semua ini, atau tidak. Masalahnya, jika ia membeberkan semuanya, yang ada akan terjadi perang dunia ketiga. Tahu kan bagaimana sikap cewek kalo sudah kecewa, seram.

Sebenarnya Agasta satu pemikiran sama Hema, keduanya masih belum percaya dengan apa yang mereka temukan. Dan cewek yang di curigainya masih belum 100% benar kalau dia yang menjadi dalang karena dilihat dari gerak-gerik nya juga sudah sangat mencurigakan.

"Gue nggak pernah mikir kalo temen yang deket banget sama kita bakalan bertindak kayak gini." Gumam Agasta, laki-laki itu berdiri di balkon kamarnya sembari menatap kamar Lea yang kala itu sudah gelap karena sang empunya sudah terlelap dalam alam mimpi.

"Pertemanan mereka emang bisa dibilang baru, bahkan baru beberapa bulan aja tapi... jujur, gue nggak habis pikir sama ini semua." Agasta menggeleng, terlalu pusing dengan semuanya. "Kalo dari data yang Hema temuin, emang kayak 97% itu pelakunya dia, tapi 3% lagi gue belum yakin kalo ada cewek yang senekat itu hanya karena masalah perasaan doang."

"Mending gue keep dulu aja sendiri, kalo gue udah yakin dan udah nemuin bukti yang lebih akurat baru deh gue gas."

***

Matahari telah memancarkan sinarnya, membuat siapapun mata memandang terasa silaunya. Seperti biasanya, Lea duduk termenung di atas kasur. Otaknya mengatakan ia enggan untuk berangkat ke kampus, namun hatinya menutun agar ia berangkat dan menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai. Tapi setelah kejadian kemarin teringat kembali, ia merasa sangat malu karenanya Agasta turut serta dalam masalah itu bahkan Agasta sampai menjelaskan semua itu seperti kemarin, apakah benar kalau dalang dari semuanya itu bukan Agasta?

"Gue males banget, jujurly sakit banget sih pas disebut jalang. Padahal niatnya gue cuma mau bantuin aja, tapi kenapa malah gue yang keperosok?" Monolog Lea, menertawai kebodohannya sendiri. "Bener apa kata Rensa kemarin, ini semua salah gue."

Menenggak air diatas nakas, akhirnya Lea memutuskan untuk berangkat ke kampus sendiri. Ia tidak ingin lagi berangkat bersama Agasta walaupun laki-laki itu memaksa, ia tidak akan lagi mau dijadikan kambing hitam atas segala permasalahan. "Udah cukup gue dibego-begoin."

Lea mengambil handphone diatas nakas, ia melihat beberapa notif yang berasal dari grup angkatan dimana pagi-pagi seperti ini sudah gibah saja. Gibahan mereka tidak jauh dari masalahnya, atau bahkan obrolan yang tidak penting.

Memutuskan untuk merapikan kasurnya, tiba-tiba saja Ghana datang. "Le, kamu kuliah jam berapa?" Tanyanya, pasalnya ini sudah jam 8 pagi namun Lea belum juga berangkat. Kalau untuk soal Lea yang menjadi korban bullying di kampus, tentu saja Ghana tidak tau karena Lea sendiri tidak pernah menceritakannya seperti saat SD dulu karena menurutnya ia bisa menghadapinya sendiri.

Lea menoleh, "Jam 11, Ma. Pagi ini dosennya nggak ada, jadi siangan aja aku ke kampus."

Ghana mengangguk lalu mendekati Lea dan mengambil alih selimut dari tangan Lea. "Udah kamu mandi dulu aja sana, abis itu makan. Mama udah goreng ikan gurame kesukaan kamu tuh."

Mendengar itu, bibir Lea terangkat. Senangnya pagi-pagi seperti ini dapat kabar baik kalau Mamanya itu memasak ikan gurame, ia akan makan banyak. "Asik! Makasih ya, Ma! Oke, aku mau mandi dulu." Lea berlari kecil untuk mengambil handuk di lemari dan ngibrit ke kamar mandi. Saat mandi, Lea membayangkan bagaimana nikmatnya makan gurame goreng dengan sambal terasi ter the best buatan Mamanya itu ditambah kerupuk Palembang, ah nikmatnya.

Segera menyelesaikan mandinya, Lea keluar dengan rambut yang sedikit basah. Lea terdiam ketika Mamanya masih disana, menatapnya tanpa berkedip. "Ma? Kenapa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang