26 - Enam Tahun Lalu

9 1 0
                                    

Susu hangat dan roti bakar susah siap di meja makan, laki-laki itu duduk sembari meletakkan tas di atas kursi. Kini hanya tinggal menunggu Rensa dan mereka sarapan bersama, sebenarnya setiap pagi Agasta selalu menyiapkan sarapan untuknya dan untuk Rensa, namun adiknya itu tidak pernah mau dan malah langsung berangkat ke kampus. Jujur saja, itu sedikit membuat hatinya sakit.

Baru saja laki-laki itu hendak memasukkan roti bakar kedalam mulut, gangguan nada dering di handphone mengganggu fokusnya.

"Halo, Ma?"

"Halo sayang, gimana kabar kalian?" tanya Sintia, Mamanya dari seberang sana dengan senyuman yang lebar.

"Aku sama Rensa baik kok, Ma. Ada apa? Tumben nelepon."

"Enggak ada apa-apa sih, cuma mau ngasih tau kalo kalian bisa pindah lagi ke apartemen. Kayaknya Mama gajadi deh buat pakai apartemen nya, kerjaan Mama di sini banyak banget, sayang." Jelas Sintia sembari mengapit handphone dengan bahunya, sementara tangannya sibuk mengetik di laptop.

"Mm, okey, Ma. Tapi kayaknya Rensa aja yang pindah, aku udah nyaman sama rumah baru di sini." Agasta duduk sembari menyesap susunya. Jujur saja, ia sudah mulai nyaman di rumah ini. Apalagi tetanggaan dengan gadis alien itu.

Terdengar suara bingung dari Sintia, "Loh, kenapa emangnya? Kamu marah ya Mama gak jadi pulang?"

Agasta menggeleng, "Bukan gitu, Ma. Aku cuma udah nyaman aja sama rumah ini, lagian kan rumah ini udah di beli juga, sayang aja kalo nggak di tempati." Agasta menghela nafasnya, "Jadi biar Rensa aja yang di apartemen."

"Gue gak mau di apartemen." Tiba-tiba saja Rensa menyahut tanpa menatap Agasta, ia keluar dari kamarnya dengan pakaian yang biasa ia kenakan. Kaos putih dengan kemeja hitam yang tidak ia kancing kan dipadukan dengan celana jeans hitam dan sepatu yang terlihat kasual.

"Rensa? Kamu biasa bicara sebentar sama Mama, sayang?" Sintia sedikit berteriak karena tadi ia mendengar suara Rensa. Sintia sangat merindukan Rensa, berkali-kali ia menghubungi Rensa, namun Rensa sama sekali tidak pernah menjawab teleponnya entah karena alasan apa.

"Ma, Rensa udah berangkat ke kampus. Nanti biar aku aja yang bilang sama dia." Agasta menunduk, menatap gelasnya yang berisi susu cokelat.

"Mama kangen banget sama Rensa, Mama pengen banget meluk anak itu. Kamu tau kan, Rensa nggak pernah mau dipeluk sama Mama. Dia selalu menjauh kalo ketemu Mama," ujar Sintia dengan suara sesak. Ia menangis karena mengingat bagaimana Rensa yang begitu membencinya.

"Iya, Ma. Aku tau, aku juga lagi berusaha buat ngomong sama Rensa buat angkat telepon dari Mama. Tapi Rensa kukuh gamau, bahkan dia juga gamau juga gamau ngomong sama aku.. aku tau kesalahan aku itu emang besar banget dan dia pantas marah banget sama aku. Tapi gimana caranya buat Rensa kayak dulu lagi, biar dia mau ngomong sama aku lagi.." Agasta melirih, sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak pernah mengobrol santai dengan adiknya itu hanya karena sebuah kecelakaan.

"Yaudah, Mama gapapa kok. Mungkin, Mama emang salah dan Rensa juga berhak marah sama Mama. Mending kamu cepet ke kampus ya, jangan sampai telat. Mama sayang kamu dan Rensa, see you my son." Dengan suara tangis yang begitu kentara, Sintia menutup teleponnya dengan berat hati.

Agasta menghela nafasnya, ia meletakkan handphonenya di atas meja. Sebenarnya ini bukan hanya salah Mamanya, tapi juga salah dirinya.

Sore itu, Agasta yang masih berusia 12 tahun memaksa Papanya untuk membelikannya sebuah PS yang baru saja keluar. Saat itu, Agasta masih sangat labil dan egois, ia mengancam tidak mau pergi ke sekolah kalau tidak dibelikan PS. Dan pada akhirnya, Papanya menyerah dan mengajak Sania dan Agasta untuk ke toko PS. Saat itu, Rensa sedang ekskul disekolah nya yang membuatnya tidak bisa ikut.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang