"MAMA!" Lea berteriak, lalu melempar Agasta dengan bantal. Siapa suruh laki-laki itu tiba-tiba saja berada di sana seperti bapak-bapak yang siap menerjang para gadis kecil.
BRUGH!
Agasta jatuh dan tertimpa tangga dibawah sana. Laki-laki itu memegangi bokongnya yang terasa sangat sakit, ia meringis sembari memindahkan tangga kayu dari atas tubuhnya. Sungguh kesialan, bokongnya sangat sakit. "Arghs..."
"Mampus gue!" Lea berdiri dan berlari ke balkon kamarnya, menatap kebawah dimana Agasta yang tengah meringis kesakitan. Sudah pasti, ia akan terkena amukan dari Agasta.
Ghana datang ketika mendengar suara sesuatu terjatuh yang sangat nyaring, Ghana menatap Agasta yang meringis, lalu menatap Lea dengan wajah yang khawatir. Sebenarnya, tadi Ghana menyuruh Agasta untuk memberitahukan pada Lea untuk membuka pintu, karena pintu rumahnya dikunci oleh Lea yang membuatnya tidak bisa masuk ditambah Ghana tidak membawa handphone untuk menelepon Lea dan juga gadis itu mendengarkan lagu dengan volume yang lumayan keras.
"Astagfirullah!" Ghana membantu Agasta untuk berdiri dan mendudukkan laki-laki itu di sofa teras rumahnya. "Lea, kamu tuh gimana sih! Main dorong aja, gimana kalo Agasta luka, lecet, amnesia?!"
"Bukan gitu, Ma!"
"Alasan mulu! Cepet turun!"
"Dari sini?"
"Iya, kalo kamu berani!"
Nantang bos?
Lea menaiki pagar penyangga, lalu mulai menyentuh besi-besi besar pagar yang ia gunakan sebagai tumpuan, ia benar-benar menuruti apa yang dikatakakan Ghana.
"YAAMPUN, LEA! KAMU TUH, YA, HIH!" Ghana geram sendiri melihat tingkah putrinya yang seperti Rapunzel yang turun dari balkon istana. "Perasaan Mama nggak ngidam yang aneh-aneh sampe punya anak kayak kamu." Bukan maksudnya Ghana menyuruh Lea untuk turun melalui balkon, maksudnya adalah menyuruh Lea untuk keluar dan membantu Agasta.
"Aduh, Mama, ih! Kan Mama yang suruh, gimana sih!" Lea malah kesusahan sendiri saat ia benar-benar sudah tidak bisa kembali, kelemahan Lea adalah tidak bisa turun dari tempat tinggi, dan bodohnya ia malah menuruti perkataan Mamanya yang sama sekali tidak serius.
Lea sudah panik tak karuan, kembali naik? Ia sama sekali tidak bisa naik lagi. Melanjutkan untuk turun? Percuma saja, ini tinggi sekali yang ada ia malah jatuh seperti Agasta.
"Ma, tangganya berdiriin!" pinta Lea saat ingat Agasta yang naik dengan tangga.
Saat Rensa hendak mengambil tangga itu, Ghana malah menghalanginya. "Udah, biarin aja tuh anak nangkring di situ sampe besok. Lagian sok-sokan mau turun lewat situ padahal gabisa juga."
"MAMA, JAHAT!" Lea menatap sekitarnya, jika ia salah melangkah, nyawa lah taruhannya. Jarak dari balkon kamarnya sampai bawah lumayan tinggi, mungkin ia akan mengalami patah tulang jika terjatuh dari sini. Tapi... bagaimana keadaan Agasta? Apakah tulang-tulangnya patah?
Ghana memijat kaki Agasta yang sakit, "Mana lagi yang sakit, Gas? Biar Tante pijitin."
"Nggak usah Tante, inimah gapapa nanti juga baikan sendiri kok, Tan." Tolak Agasta, tidak enak juga kalau meminta bantuan pada Ghana. Tapi jujur saja, bokongnya nyeri sekali.
"Yaudah kalo gitu, Tante masuk dulu. Tante lupa kalo ada kunci cadangan di atas garasi," ujar Ghana dengan tertawa tak bersalah.
Jika saja Ghana mengingatnya, Agasta tidak harus naik ke balkon Lea dan berakhir jatuh ditimpa tangga yang membuat bokong dan punggungnya sakit seperti ini.
Rensa beranjak, ia mengambil tangga dan mendirikannya di samping Lea. "Turun lo."
Lea melihat ke bawah dengan sedikit takut, ia meraih tangga itu dengan kakinya. Lea takut ketinggian, maka dari itu ia jarang sekali berada di balkon, meskipun hanya sekedar duduk-duduk saja. Meskipun tidak terlalu tinggi, tapi yang namanya phobia ya tetap saja phobia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen Fiction"Jadi, selama ini Kakak menggunakan aku sebagai alasan untuk menjauh dari Kak Wendy?" "Justru itu, gue kemakan omongan gue sendiri, Le. Sekarang, gue malah cinta beneran sama lo. Bener kata orang, cinta itu beralasan." *28/08/2020*