18 - Petikan Gitar

14 1 0
                                    

Ketika lift sudah normal, pintu turut terbuka. Agasta menatap Wendy, Jeffrey, Yuda dan Dinda berdiri di luar sana dengan reaksi yang berbeda-beda.

Menyadari bahwa lift sudah terbuka, Lea langsung melepaskan pelukannya pada Agasta lalu keluar dari sana. Ia langsung memeluk Dinda, hanya dia yang bisa membantu Lea untuk saat ini. Bukan hanya itu sebenarnya, ia tidak memiliki teman selain Dinda.

"Mantep, drama Korea dimulai bung!" sorak Yuda yang sudah ricuh dan sudah menilai situasi kalau sebentar lagi akan ada drama gratis yang harus ia tonton.

"Kira-kira, apa yang mereka lakuin di dalem?" tanya Jeffrey mulai memanas-manasi.

"Ciuman? Pelukan? Atau?" Yuda dan Jeffrey semakin menjadi mengolok Agasta dan Lea. Mereka berdua tertawa puas dengan apa yang mereka bayangkan.

"Gas, kamu ngapain?"

"Gausah banyak tanya." Tanpa menjawab pertanyaan dari Wendy, Agasta langsung melenggang pergi. Ia muak menatap wajah sok imut padahal busuk itu. Tanpa aba-aba, Jeffrey dan Yuda langsung berlari mengikuti Agasta.

"Kuat-kuat ya, kopi panas emang harus disiram air panas biar makin panas," bisik Yuda pada Wendy yang membuat gadis itu semakin kesal.

Wendy mengepal tangannya kuat, ia menatap Lea dengan raut kesal. "Gak punya otak apa lo? Udah berapa ribu kali gue bilang, JAUHIN AGASTA, ANJING!"  Wendy menarik rambut Lea, lalu mendorongnya asal yang membuat Lea terdorong hingga punggungnya terbentur dinding.

"Lo juga, bilangin tuh temen lo yang gapunya kuping, jangan deketin Agasta lagi!" bentak Wendy sembari menunjuk ke arah wajah Dinda lalu pergi dari sana. Malas sekali jika ia harus menetap wajah menjijikkan Lea, wajah imut yang ia pakai sebagai topeng.

"Anjir, mulutnya udah kayak ketoprak Mas Deden." Dinda berkomentar, menyamakan ucapan Wendy yang memang pedas seperti ketoprak Mas Deden yang ada di kantin. "Lo udah gapapa kan, Le?"

"Bawa gue ke klinik dong Din, gue pengen rebahan bentar."

Tanpa menjawab, Dinda langsung menuntun Lea untuk ke klinik. Bagaimanapun juga Lea adalah sahabatnya saat ini, sahabat adalah segalanya terlebih lagi ia adalah anak rantau. Sebisa-bisanya ia harus memiliki sahabat terbaik yang akan ada disaat ia sedih maupun senang.

***

Agasta memegangi dadanya, seperti ada yang tidak beres di dalam sana. Kelakuan Agasta tentu mengundang keingintahuan kedua laki-laki yang saat ini tengah memakan kentang goreng yang saling menatap heran.

"Gas, dada lo numbuh?" Pertanyaan yang bodoh terucap dari mulut Yuda, laki-laki itu tertawa tanpa rasa bersalah bersamaan dengan Jeffrey.

"Ngadi-ngadi lo Yud, hahahaha! Tapi enggak beneran numbuh kan, Gas?" tanya Jeffrey yang ikut-ikutan. Kedua laki-laki itu tertawa puas, menjahili Agasta memang menjadi kesenangan tersendiri untuk keduanya.

Sebenarnya, Agasta tidak pernah menganggap serius ucapan kedua sahabatnya itu. Ia juga biasa saja dengannya karena ia tahu itu hanya sebuah lelucon yang memang tidak lucu menurutnya namun bisa membuat kedua sobat karibnya itu tertawa lepas. "Coba cek dada kalian berdua deh, kali aja numbuh." Setelah mengatakan itu, Agasta bangkit dan berjalan menuju ruang BEM untuk menenangkan diri. Banyak sekali pekerjaan yang menunggunya, mulai dari tugas kuliah, menjadi asisten Bu Novri, dan mengurus organisasi.

Sementara Jeffrey dan Yuda meraba dadanya, sepertinya keduanya memang benar-benar takut jika dadanya akan bertumbuh.

"Gue rata ah, lo gimana Yud?" tanya Jeffrey setelah meraba dadanya sendiri.

Yuda mengangguk, "Sama, rata juga."

Jeffrey kembali berpikir, "Ini yang bego si Agasta atau kita sih? Kok kita malah ngikutin kata-kata dia?"

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang