09 - Gibah

11 1 0
                                    

Apartemen bernuansa mewah itu tengah berada dalam situasi panas, karena ada dua orang yang bertengkar dengan kepala panas disana.

"Jangan kerja di bar lagi. Mama ngirim uang tiap bulan, dan itu cukup buat kita berdua."

"Gausah urusin hidup gue, urusin aja hidup lo sendiri!" Bentak salah satu cowok dengan nada tinggi, membuat Agasta berdiam diri sembari menatap laki-laki itu.

"Gue kakak lo! Kewajiban gue ngasih tau lo yang mana yang bener!" Agasta berteriak, ruangan putih itu seketika seperti menjadi tempat uji nyali karena hawanya sangat tidak bersahabat.

"Gue nggak pernah anggap lo sebagai kakak gue. Jadi, stop bertingkah sok peduli sama gue, Agasta!" Laki-laki itu mengambil tasnya, lalu keluar dan membanting pintu dengan sangat keras.

Agasta hanya bisa menghela nafas, menatap pintu itu dengan nanar. Dia adalah seorang kakak, orang yang paling berperan penting untuk mendidik adiknya selagi orangtunya tidak ada disini. Tapi, apa yang di lakukan adiknya sangat menyusahkan. Seringkali Agasta mengatakan agar adiknya itu tidak bekerja lagi di bar, namun sepertinya sangat susah untuk memberitahukan adiknya kalau bekerja di bar itu tidak baik.

Agasta menatap adiknya yang berjalan di trotoar dari atas balkon.

"Lo nggak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi gue, Ren."

Agasta beralih, ia mengambil handphonenya dan mengecek grup kampusnya yang pastinya sudah ramai memanggil dirinya. Anggota BEM memang tidak ada yang becus, semuanya harus di suapi dulu, baru mereka akan berjalan. Kadang, Agasta lebih memilih untuk mundur dari ketua BEM di banding harus mengajari puluhan curut yang berada di balik kata mahasiswa.

Mereka semua tidak waras, tidak mau bekerja keras demi proker, maunya yang enak saja. Kalau di marahin, ngedumel. Di diemin, keenakan. Itu yang membuat Agasta kesal.

Dan kali ini, Agasta siap mengoceh panjang lebar memarahi seluruh anggota BEM yang kurang ajar itu. Namun sebenarnya, bukan anggota BEM yang malas-malasan, hanya saja Agasta yang terlalu ambisius dalam mengejar prokernya demi penilaian yang bagus.

Sedari tadi, Agasta terus saja menatap room chat nya dengan Lea. Lagi dan lagi gadis itu tidak membalas chat nya padahal tertera dengan jelas kalau gadis itu tengah online, itu membuat Agasta uring-uringan lalu melempar handphonenya.

"Tuh cewek emang ngajak gue ribut."

Sementara Lea, ia mematikan handphonenya agar tidak mendapatkan notifikasi chat dari Agasta. Lea tidak ingin Agasta semakin mendekatinya, ia juga masih takut dengan ancaman Wendy.

"Aduh, ntar kalo Kak Agasta makin ngomel gimana ya? Yang ada dia malah makin nggak jelas, dan gue bakalan jadi bulan-bulanan Kak Wendy."

"Haaaaaah! Pusing." Lea berguling kesana dan kemari, seharusnya Lea mengundur waktu kuliahnya menjadi tahun depan, siapa tahu takdirnya di masa depan berbeda dengan sekarang.

***

Pagi yang cerah berawan ini, Lea tengah buru-buru ke kampusnya. Ia hanya tidak ingin Agasta datang dan menjemputnya seperti apa yang di katakan nya kemarin. Dan itu, akan menjadi malapetaka baginya. Hari terkahir ospek ini, seharusnya menjadi hari paling calon mahasiswa senangi. Karena, sebentar lagi tidak akan ada omelan, teriakan dan bentakan dari senior yang dapat membuat telinga panas.

Kini, Lea dan Dinda berjalan menuju kantin. Siang hari yang terik ini memang waktu yang pas untuk minum es jeruk nipis.

"Bu, es jeruk nipis sama baksonya yang pedes nya satu!" seru Lea pada Ibu penjual es dan bakso yang tengah berkutat membuatkan pesanan orang lain.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang