Part 13

101 13 0
                                    

Pagi pagi sekali Jimin berniat bergegas pulang dari bangunan mewah berluaskan sekitar satu hektar itu.

Ketika ia berjalan menuju pagar tinggi besar bak di kerajaan, ia hanya bertemu dengan Min ahjussi di pekarangan yang sekaligus menjadi tempat parkir salah satu mobil andalan keluarga konglomerat itu.

"Tuan Jimin?? Apa saya perlu mengantarkan anda?"
Tanya ahjussi itu sedikit terkejut melihat Jimin sudah bangun dan bersiap pergi di pukul enam pagi ini.

Bahkan matahari saja masih enggan memperlihatkan eksistensinya, karena embun yang begitu pekat di daerah bukit membuat cuaca menjadi dingin.

"Tidak perlu repot, ahjussi...
Aku akan menggunakan bus saja.."
Jawab Jimin seraya menunduk sopan menyapa supir paruh baya itu.

"Tapi Tuan, halte bus sangat jauh dari sini..
Setidaknya biarkan saya mengantar sampai halte.."
Pria bersetelan hitam itu buru buru mengambil kunci mobil di pos keamanan dekat pagar yang membentang.
Dan kembali berlari kecil masuk ke dalam mobil van mewah yang setiap hari ia kemudikan.

"Hmm baiklah... maaf merepotkanmu sepagi ini, ahjussi.. tapi tolong katakan pada Jeena bahwa Ahjussi mengantarku hingga apartemen.
Dia dan Jieun noona pasti akan sangat cerewet jika mengetahui kau tidak memgantarku."
Jimin menyusul masuk kedalam mobil hitam legam layaknya mobil untuk selebritis.

"Baik, Tuan.."

~~

Jimin berdiri di depan gedung apartemennya.
Memandang ke seluruh ketinggian gedung berwarna coklat muda menjulang.

Menenteng tas jinjing kerja yang setiap hari menemaninya bekerja.
Baju dan celana yang sama dengan hari kemarin masih berbau alkohol.
Beruntung aroma mobil Jeena membantu menyamarkan bau alkohol yang menyengat.

Entah kenapa sekarang Jimin merasa asing dengan tempat tinggalnya sendiri.
Ada sisi yang hancur di bagian dirinya.
Entah karena tidak bisa menerima keadaan, atau karena merasa gagal menjaga istri tercintanya.

Di dalam perjalanan tadi, ia menghubungi Jieun dan atasannya di sekolah, meminta izin untuk tidak masuk kerja hari ini, karena tubuhnya tidak bisa di paksakan untuk sekedar memberikan penjelasan pada murid murid yang selalu berteriak ketika ia mengakhiri pelajaran.

Murid murid itu terlalu menyukai sosok Jimin.
Setidaknya ada alasan ia tersenyum pagi ini ketika mengingat antusias muridnya.

Di perjalanan yang sama pula Jimin memikirkan sesuatu.
Lebih tepatnya memikirkan suatu tindakan saat nanti dia tiba di tempat tinggalnya sendiri yang sudah mulai asing.
Agar ia bisa meredam rasa gagalnya.
Mencari cara agar ia bisa membunuh kiasan makna yang ia sebut sakit hati.

Langkah pertamanya ia tunaikan menuju pintu utama apartemen.
Dengan rambut yang masih setengah basah, Jimin berkali kali menyisirnya dengan ruas jari gemuknya.

Siapapun yang melihatnya sepagi ini, dengan rambut setengah basah, akan merasa mendapat keberuntungan di awal hari.
Jimin memang idaman wanita.
Ia tidak terlalu tampan, tapi auranya begitu mematikan.

Jimin masuk ke dalam besi yang bekerja naik turun di gedung itu.
Tapi ia tidak menekan tombol angka sesuai dengan lantai dimana ia tinggal.

Ia menuju lantai lain.

Dengan sedikit ragu ketika pintu lift terbuka, beberapa saat ia hanya memandang ke arah lorong apartemen di lantai itu.

Hingga pintu lift akan tertutup kembali, Jimin menahannya dengan sepatu kerja coklat tua miliknya dan menyebabkan pintu lift terbuka kembali.

Ephemeral • PJM •ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang