Part 25

97 8 0
                                    

Semenjak kejadian itu Jimin tidak merespon sama sekali panggilan dari Yeonmi. Bahkan ia sengaja tidak mengisi daya baterainya karena merasa lelah dengan dering telpon dari Yeonmi. Ia baru saja membalas pesan Yeonmi dan mengatakan padanya bahwa ia lelah dan akan tidur. Setelah itu Jimin mematikan lagi ponselnya.

Kasur empuk khas dari hotel mewah yang di tempat Jimin dan Jeena memang menawarkan pemandangan malam yang luar biasa.
Dari ketinggian lantai 23, Jimin bisa melihat keindahan temaram lampu dari pusat kota.

Sejenak ia berusaha menyampingkan segala keluhnya dengan hanya menikmati kerlap kerlip dan kehidupan ramai yang jauh di bawahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejenak ia berusaha menyampingkan segala keluhnya dengan hanya menikmati kerlap kerlip dan kehidupan ramai yang jauh di bawahnya.

Ini sudah pukul dua belas malam. Setelah makan malam bersama beberapa kolega dan sponsor dari tim acara fashion week besok, Jimin dan Jeena memutuskan untuk beristirahat karena mulai besok pagi mereka pasti sangat sibuk.

Tetapi Jimin malah tidak bisa memejamkan indra penglihatannya sama sekali. Ia begitu fokus untuk mematangkan rencananya untuk berpisah dengan Yeonmi.

Baru saja dia akan mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja di meja yang berada di kamar hotel mewah itu.
Tiba tiba beli pintu kamarnya berbunyi.

Ia yakin itu pasti Jeena, karena siapa lagi yang berada di hotel ini bersamanya selain Jeena.

Jimin pun mengalihkan langkahnya menuju pintu.
Membukanya, dan mendapati Jeena menangis tersedu sambil memegang baju hangat yang tidak dipakai olehnya.

"Jeena-ssi !! Ada apa? Kau kenapa???"
Jimin panik karena melihat Jeena tiba tiba menangis di depan pintu kamarnya.

"Oppa !!!!!!!' Aaaaaaaaaaaaa...."
Tangis Jeena pecah saat Jimin memegang bahunya dan memeriksa dari ujung rambut sampai ujung kaki apakah ada luka atau apapun yang membuat tangis Jeena sedikit masuk akal.

"Hey hey ssttt ! Suaramu keras sekali !
Masuklah dulu..."
Jimin menarik pelan tangan Jeena agar suara tangisnya tidak membuat tamu yang lain terganggu. Atau bisa saja sudah ada yang mendengar tangis itu menggema di koridor dan mengira jika itu suara hantu.

Akhirnya Jeena duduk di sofa kecil yang berada si salah satu sudut kamar Jimin.

"Habiskanlah dulu tangismu.. aku akan menunggumu bercerita..."
Jimin memberikan teh hangat pada Jeena yang menekuk kedua kakinya diatas sofa sambil berusaha menghentikan sedu tangis yang membuat dia sedikit sesak.

Jeena meminum teh itu perlahan karena asap yang mengepul menandakan hawa panas dari teh bukan main main.

"Oppa......."
Tangis Jeena sepertinya akan pecah lagi.

"Eoh?? Ada apa???"
Jimin panik ketika hendak duduk di sebelah Jeena.

"Tehnya pahit ......"
Jeena menyodorkan gelasnya pada Jimin yang mematung membeku mendengar perkataan Jeena.

"Aaahhh mian Jeena-ssi... aku lupa menambahkan gula.... aku terlalu panik.. tunggulah sebentar.."
Jimin buru buru mengambil bungkusan gula yang berada tak jauh dari tempatnya dan menenggelamkannya pada teh Jeena.

"Nah ini sudah manis.. minumlah..."
Jimin memberikan senyumnya pada Jeena beserta tehnya.
Entah mana yang lebih manis diantara senyum dan teh buatan Jimin.

Selesai meneguk teh manis, Jeena merasa sedikit lega. Terutama ia merasa lega karena Jimin terus menepuk halus bahunya agar merasa tenang.

"Katakan padaku, sebenarnya kau kenapa hingga menangis seperti ini??"
Jimin mulai membuka suara melihat Jeena sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Oppa... maafkan aku mengganggumu...
Tapi ini benar benar membuatku takut..
.... aku berminpi buruk oppa..."
Jeena mengubah posisi duduknya menjadi menghadap pada Jimin.
Ia bersila sambil menahan air matanya lagi.
Ia memang masih kekanak kanakan sekali.

Mendengar itu Jimin menelan ludahnya dan berniat hendak memukul kepala Jeena dengan lampu yang berada di nakas. Tapi ia urungkan mengingat otak Jeena sangat kecil, pasti dia akan langsung mati, pikir Jimin.

Jimin menghela nafas menahan kesal, dan juga hendak menertawakan tingkah Jeena.

"Memangnya kau bermimpi apa sampai kau menangis seperti ini?? Apa monster laut mengejarmu??
Atau raksasa hutan memakanmu???"
Ledek Jimin.

"Aku bermimpi orangtuaku meninggal, Oppa...."

Jawaban Jeena yang menohok membuat Jimin menyesal telah mengatakan hal bodoh tentang mimpinya.

Jimin berusaha menenangkan Jeena dengan memberanikan mengelus pelan kepala gadis yang masih terlihat ketakutan itu.
Mungkin bisa menenangkan ketakutan Jeena.

"Aku takut kehilangan orangtuaku, karena aku tidak bisa dekat dengan mereka seperti anak dan orangtua pada umumnya.. kami hanya sering berhubungan melalui telpon saja.. menyedihkan..
Dan tiba tiba aku bermimpi menyaksikan mereka meninggalkanku dengan cara yang tragis..
Itu menyakitkan bagiku sekaligus menakutkan oppa.... bahkan aku belum bisa sedekat itu dengan mereka.. aku takut oppa........"
Tangisnya kini berusaha ia tahan, tapi membuat dadanya sesak dan Jeena menenggelamkan kepala di kedua lututnya.

Jimin reflek menarik Jeena kedalam dadanya.
Membiarkan gadis yang seperti adiknya itu larut dengan tangis sendunya malam ini.

"Jangan takut, Jee.. itu hanya mimpi...
Ya, Semua itu hanya mimpi..
Kau sudah terbangun dengan sejuta kebahagiaanmu yang sudah menunggu.
Jangan takut..
Jangan takut Jeena-ssi....
Aku disini ......"

Perkataan Jimin yang terlontar begitu hangat bagi Jeena seolah membuat semuanya terlihat akan baik baik saja.
Tanpa disadari, Jimin juga mengatakan itu untuk dirinya sendiri.
Dia berusaha menguarkan dirinya dengan kedok menguatkan orang lain.
Itulah Jimin.

Dan entah kenapa ada rasa ingin melindungi yang sudah lama tidak terpatri, kini kembali menyapa di relung pikiran Jimin.

Ia melihat sosok Jeena yang rapuh, butuh sosok yang kuat hanya untuk sekedar menjadi sandaran saat Jeena menangis karena mimpi buruk.

Jimin sudah sangat lama tidak merasakan hal ini.
Dulu sekali ketika melihat Yeonmi menangis karena hal sepele, ia begitu ingin melindungi dan menghentikan air mata itu dengan tawa bahagia.

Tapi kini ia merasakannya pada orang lain.
Apakah kebetulan ini sengaja di buat oleh Tuhan ?
Jimin tidak tau.
Ia hanya berusaha mengendalikan rasa ini demi kebaikan semua orang. Terutama Jeena.
Jimin tidak ingin kecanggungan berada di antara mereka.

"Oppa....."
Setelah beberapa menit Jeena menghabiskan sisa tangisnya di dada Jimin. Suara Jeena melemah.
Tangisnya sudah tak menggema.

Posisi mereka masih tak berubah,
Jeena yang bersandar di dada Jimin sambil merasakan detak jantung sang pria dengan telapak tangannya yang mungil.
Tangan Jimin yang sibuk mengelus halus surai Jeena, dan tangan satunya memeluk erat tubuh Jeena seolah gadis itu adalah barang yang mudah pecah jika di lepaskan.

Beberapa lama mereka berada di keheningan malam itu.

"Oppa....."
Suara lirih Jeena terdengar lagi.

"Tidurlah Jee... Jangan takut...
mulai sekarang aku akan terus menjagamu...."

Jimin mengecup pelan pucuk kepala Jeena yang mulai meredupkan inderanya dan masuk ke alam mimpi yang menyambutnya dengan hangat.





~bersambung~

Maaf untuk late update yaaa...
Semoga kalian suka part ini dan jg ttep setia menunggu part selanjutnya..
Aku bakal usahain utk lebih cpt update ...

Pleaseeeee jgn lupa drop vote dan comment yah dear ...
Biar aku tmbah semangat lagi bkin part2 selanjutnya...

💜💜💜

Ephemeral • PJM •ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang