23. jadi canggung

1K 258 54
                                    

Mashiho menggerakkan kakinya dengan gusar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mashiho menggerakkan kakinya dengan gusar. Ia tidak bisa menenangkan dirinya sedari tadi. Padahal Mashiho sudah mengunci diri di kamar selama empat jam. Namun, ia masih tidak tahu harus berkata apa dengan Nako.

"Sialan. Gue harus gimana coba sama Nako? Pusing kan jadinya. Mulut bego!" kesal Mashiho sambil memukul mejanya.

Berbeda dengan Nako yang sedari tadi tersenyum. Gadis itu bahkan melakukan segala pekerjaan rumah dengan senyumnya. Seolah olah hari ini adalah hari paling bahagia Nako. Nako yang sudah selesai makan siang menoleh ke kamar Mashiho. Sudah empat jam dan laki laki itu tidak kunjung keluar. Apa ia malu karena sudah menyatakan perasaannya dengan Nako?

Takut Mashiho mati kelaparan di dalam kamar, Nako memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Mashiho. Mashiho yang awalnya duduk di kursi meja belajar langsung berdiri panik. Hingga kakinya membentur meja belajar sangat keras. Rasa sakitnya bukan main bung.

"Mashiiiii?" tanya Nako dengan nada lucunya.

"Se-sebentar!"

Nako yang mendengar ucapan Mashiho terkekeh. Bahkan Mashiho terdengar gugup sekarang. Benar benar Mashiho yang berbeda. Jadi, Mashiho mengakui perasaannya bukan? Apa Nako juga harus menyatakan perasaannya kepada Mashiho hari ini?

Nako masih sibuk dengan pikiran tentang perasaannya. Berbeda dengan Mashiho yang tidak tahu harus berkata apa kepada Nako. Ia berguling guling di lantai sambil mengelus lututnya yang terbentur meja tadi. Mashiho bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin merasa canggung. Namun, sangat mustahil bukan untuk tidak canggung?

Mashiho menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ia harus gentle. Ia harus berani. Seorang ace basket menciut hanya karena ia menyatakan perasaannya? Itu memalukan!

Mashiho bangkit dari tidurannya. Ia berjalan ke arah pintu lalu membuka kuncinya. Di balik pintu itu, Nako mulai panik dengan sendirinya dan takut Mashiho hanya menyukainya sebagai adik. Mashiho selalu seperti itu bukan? Menunjukkan betapa sayangnya dirinya kepada Nako. Bagaimana jika rasa suka yang Mashiho maksud hanya rasa suka seorang kakak kepada adik? Nako sudah berharap terlalu lebih tadi.

Mashiho membuka pintunya. Tatapan mereka bertemu. Jantung keduanya berdetak sangat kencang. Lidah keduanya terasa kelu. Nako yang awalnya ingin menyuruh Mashiho makan merasa tidak dapat mengatakan apapun. Sama halnya dengan Mashiho. Laki laki itu awalnya ingin bertanya mengapa Nako memanggilnya. Namun, bibir Nako mengalihkan dunianya.

Ayolah, bagaimana bisa Mashiho mengabaikan bagian termanis dari gadis dihadapannya ini? Andai saja mereka bukan saudara, pasti Mashiho sudah menjadikan Nako pacarnya.

"Ma-Mashi makan dulu. Udah mau jam tiga. Mashi belum makan kan? Nako masak tuh di dapur. Dimakan ya! Nako masuk kamar dulu!" ucap Nako sambil buru buru masuk ke kamarnya.

Belum sempat Mashiho menjawab, Nako sudah menutup pintu kamarnya. Mashiho akhirnya berjalan ke dapur sambil mengusap tengkuknya. Rasanya jadi aneh sekali. Mereka jadi sangat canggung dan Mashiho tidak menyukai sensasi ini. Ada sebuah tembok yang membatasi mereka karena pernyataan Mashiho tadi pagi.

"Sialan. Gue jadi nyesel kan. Bego banget bangsat." umpat Mashiho sambil mengepalkan tangannya lalu memukul angin.

Pada akhirnya Mashiho makan masakan Nako. Begitu selesai ia kembali ke kamarnya dan keduanya kembali sibuk dengan pikiran mereka masing masing. Waktu terus berjalan. Tak terasa hari mulai gelap. Perut keduanya kembali berbunyi. Menandakan sudah waktunya mereka makan malam. Entah kebetulan atau memang takdir, keduanya membuka pintu kamar mereka di waktu yang bersamaan.

Lagi lagi. Keduanya bertatapan. Kali ini Nako memutuskan untuk tersenyum dan berjalan terlebih dahulu ke ruang tengah. Mashiho yang melihat itu menyusul Nako. Keduanya duduk di sofa dengan jarak yang cukup jauh. Nako duduk di pojok kiri sofa dan Mashiho duduk di pojok kanan sofa. Secanggung itu.


"Laper." titah Nako sambil mengelus perutnya.

"Mau makan apa?" tanya Mashiho.

"Pengen jajan."

"Gamau makan?"

"Nanti maleman aja. Mau jajan dulu."

"Sekarang?"

Nako menoleh ke arah Mashiho yang menatapnya bingung. "Satu abad lagi! Ya sekarang lah! Gitu aja nanyak!" kesal Nako.

Mashiho terkekeh melihat reaksi Nako. Refleks tubuhnya langsung mendekati Nako dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Nako yang tidak mengira akan dipeluk seketika membeku di dalam pelukan Mashiho.

"Lucu banget sih. Yaudah cepet siap siap. Kita keluar aja. Sekalian jalan jalan."

"Ke-kenapa meluk?"

"Maaf ya bikin suasana jadi canggung." kata Mashiho sambil mengelus kepala Nako.

"Na-"

"Gausah dipikirin banget. Itu ga penting kok."

Nako terdiam. Ia memilih untuk menikmati pelukan hangat Mashiho. Bahkan tangannya tergerak untuk membalas pelukan Mashiho. Baik Nako maupun Mashiho, keduanya sama sama menutup mata. Menikmati momen yang bisa berakhir kapan saja.

Hingga rasa hangat itu membuat Nako sadar. Mungkin saja, tidak ada hari esok. Mungkin saja, perasaannya akan selalu hadir dan tidak akan menghilang. Mungkin saja, tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk mengakui perasaannya.

Nako harus mencoba. Nako harus mengakui perasaannya selagi keduanya masih bersama. Bagaimanapun hasilnya nanti, setidaknya Nako sudah mengungkapkan perasaannya. Nako tidak boleh menyesal. Nako harus jujur.

"Emmm Mashi."

"Hm? Kenapa?" tanya Mashiho masih dengan tangannya mengelus rambut Nako.

"Nako juga."

"Hm? Juga apa?"

"Suka."

"Suka a-"

"Suka sama Mashi."

Ciah gimana nih?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ciah gimana nih?

𝐆𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐧𝐞, 𝐒𝐮𝐤𝐢 𝐧𝐢 𝐧𝐚𝐜𝐜𝐡𝐚𝐭𝐭𝐞 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang