Sembilan

39 3 0
                                    

"Apa lagi sekarang?"

Donghan mengehela nafas, lalu meletakkan gelasnya di atas meja bar. "Gue gak nyangka kalo ternyata Kikan itu beneran penting di hidup gue."

Donghyun nyengir, lebih ke prihatin. Dan tetap ganteng. "Lo tu lima tahun sama Kikan, baru nyadarnya sekarang?"

"Lo pasti udah sering denger kalimat ini 'kehadiran seseorang itu akan terasa lebih berharga ketika dia udah gak ada di samping kita', itu yang gue rasakan sekarang."

"Lo gak lupa kan kenapa lo bisa kehilangan Kikan?"

Donghan menggeleng. "Gimana bisa lupa."

"Yaudah terus lo mau apa sekarang? Mau Kikan balik ke lo? Yang buat dia menderita, lo. Yang mencampakkan dia, lo. Dia datang curhat ke lo, kalo dia mau dijodohin, tapi lo malah..." kalimat Donghyun terputus. Dia pun gak sanggup ngelanjutinnya.

"Tadinya pas ngeliat mereka berdua, gue pengen turun dari mobil, terus tarik Kikan dari sana sambil ngomong 'yang di dalam perutnya ini anak gue'. Bajingan banget gak sih?"

Donghyun mengangguk mantap. "Sangat. Sangat sangat bajingan. Bisa pindah kubu gue ke Yohan kalo lo berbuat kayak gitu."

Donghan mengusap wajahnya, lelah. "Tapi gue butuh dia. Serius."

Donghyun terdiam. Dia sangat sangat khawatir pada temannya ini sekarang. Prihatin juga. Bagaimanapun dia mengenal Donghan sudah lama. Bahkan dia juga terlibat dalam hubungan Donghan dan Kikan. Ya walaupun mereka adalah tipe cowok yang sama, mereka juga bisa memiliki waktu mengobrol dengan topik serius seperti ini. Tidak melulu soal cewek, main-main, dan urusan dunia.

"Mama lo apa kabar?" tanya Donghyun kemudian setelah jeda yang cukup lama.

"Masih di rumah sakit. Selang oksigen nya udah dilepas tapi masih belom sadar juga," Donghan lalu bersandar. "Dulu waktu gue menghadapi masa-masa kayak sekarang ini, Kikan pasti selalu ada di samping gue. Kemaren juga waktu dia datang jenguk, gue yang kayak 'ok, penenang gue dateng' tapi ketika gue gak sengaja lihat perutnya, terus dia bilang dia harus pergi ke dokter kandungan sama.. sama suaminya, gue yang kayak 'no, lo gak boleh pergi'. Dan tanpa sadar gue peluk dia."

Donghyun kaget. "Lo peluk dia?"

Donghan mengangguk. "Terkadang gue mikir apa yang buat gue sama dia bertahan sampai bertahun-tahun. Gue pikir alasannya cuma karena kita memang jodoh, atau karena dia cinta mati ama gue. Tapi ternyata bukan. Itu cuma pikiran egois gue. Gue kadang kayak merasa 'ini cewek gak mau lepas dari gue mungkin karena takut kalo gak sama gue, dia gak bakal ketemu ama siapa-siapa lagi'. Tapi gue salah. Dia bertahan sama gue, karena dia memang berusaha untuk tetap bertahan dan diam-diam mau ngerubah gue. Lo tahu kan gimana Mama nya gak suka sama gue. Gue bejat, gue akuin itu. Tapi Kikan bertahan, dan gue malah buang dia. Dan seperti ending drama, yang bejat kalah."

Donghan yang curhat, tapi Donghyun yang menghela nafas.

"Jadi selanjutnya lo mau gimana? Mau buat Kikan balik, dia udah punya suami. Dia udah bahagia."

"Tapi dia dijodohin," Donghan menoleh pada Donghyun. "Dan anak yang dia kandung, itu anak gue."

"Jangan gila," tanpa dijelaskan lebih jauh pun Donghyun tahu arah pembicaraan Donghan kemana.

"Bagaimanapun mereka nikah cuma buat nutupin Kikan yang sudah hamil. Gak ada cinta di antara mereka. Kikan cuma cinta sama gue, dan gue juga."

"Donghan-"

"Gue belom mikir sejauh itu sih. Gue masih fokus ke kesehatan Mama gue sekarang. Tapi-"

"Gue gak akan pernah bantu lo dengan segala pikiran curang lo saat ini. Gue udah bilang gue bisa pindah kubu kalo lo bertingkah," potong Donghyun.

To Reach YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang