SONDER

174 35 6
                                    

Aku benci berada di tempat ini. Bangunan dengan aroma disinfektan, obat, dan cat dinding serta interior berwarna pucat adalah satu dari banyak tempat yang pernah masuk dalam daftar hitamku. Tapi pagi ini, aku harus melangkah kembali ke tempat ini. Bukan sebagai asisten psikolog, melainkan pasien yang mengidap borderline personality disorder[1].

Lima tahun lalu, aku berhasil melangkah ke tempat serupa di kota kecil ini. Di salah satu rumah sakit jiwa ternama, aku pernah mengabdikan diri. Aku bekerja layaknya psikolog, memberi terapi dan membantu jiwa-jiwa lain pulih. Sayangnya, BPD yang kuidap harus menghentikan langkahku.

     Satu bulan belakangan ini, aku kembali mengalami gangguan kecemasan. Parahnya, aku tidak bisa mengontrol nafsu makanku. Angka di timbangan terus naik. Kondisi psikisku semakin menunjukan ketidakstabilan. Perasaan yang mudah sekali berubah membuatku sedikit kesulitan menghadapi pasien di rumah sakit tempatku bekerja.

Puncaknya, Pak Kuswoyo harus mengambil tindakan tegas setelah menemukanku tengah menangis bersama pasien di kamar mandi. Pasien itu mengunci dirinya di kamar mandi dan itu berhasil menghancurkan suasana hatiku.

“Kamu harus menyembuhkan dirimu sendiri sebelum menyembuhkan jiwa yang lain, Prisa. Saya yakin sekarang akan lebih mudah bagimu untuk pulih,” kata Pak Kuswoyo, psikiater senior di rumah sakit tempatku bekerja sebelumnya.

Dan bagiku, itu adalah satu bentuk pengusiran secara halus. Kini, aku harus kembali menjadi orang yang berbeda dua puluh empat jam setelah surat pengunduran diriku dia tanda tangani.

“Ibu Prisa Yudita, silakan masuk,” panggil salah seorang perawat dengan ramah.

Orang-orang seperti perawat itu selalu mengingatkanku akan diri sendiri. Tapi, apakah mereka juga pernah menanggung banyak penderitaan yang sama?

Aku mengangguk dan mengikuti langkah perawat itu menuju salah satu ruangan di ujung koridor. Dia membukakan pintu untukku dan mempersilakan masuk tanpa melepas senyum ramahnya. 

Ruangan konsultasi ini dicat cokelat muda. Tirai berwarna krem menutupi jendela utama. Dari jendela lebar itu, aku bisa melihat langsung ke jalanan utama.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan, berharap ada yang berbeda dengan tempat ini hingga mataku menangkap pintu kayu di salah satu sisi ruangan. Kayu jati yang menjadi bahan utama pintu terlihat kontras dengan keseluruhan isi ruangan ini. Alih-alih ruang konsultasi, aku merasa seperti sedang memasuki sebuah rumah. Ukiran yang terbentuk di bingkai pintu mengingatkanku akan rumah lama kami di Yogyakarta.

“Maaf membuatmu menunggu lama, Prisa. Pasti membosankan berada di luar sana, ya?” tanya sang Dokter yang langsung berdiri dari posisi duduknya begitu melihat kedatanganku. Dia menatapku dan tersenyum.

Seharusnya, aku senang melihat senyum keibuan terlukis di wajahnya. Sayangnya, aku membenci senyuman seperti itu.

“Saya baik-baik saja, Dok,” jawabku berusaha agar tetap terlihat nyaman. Jika bukan karena Dokter Damara, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki untuk bertemu wanita asing ini.

 “Dokter Damara memintaku memastikan jika kamu baik-baik saja,” kata wanita yang kuketahui bernama Dona itu. Dia berjalan menuju sudut ruangan tempatnya meletakkan beberapa perabotan berbahan keramik, lalu mulai menyeduh teh. “Dia bilang, seharusnya aku memperkerjakanmu di klinikku sejak dulu. Berlebihan, kan? Tolong maklumi pria tua itu.”

Mau tak mau, aku tersenyum mendengar kalimat Dokter Dona. Sejak masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Dokter Damara selalu memperlakukanku dengan istimewa. Sebenarnya, bukan hanya aku. Pria tua berdarah Cina itu selalu memperlakukan semua pasiennya dengan istimewa. Tapi, memastikan aku dalam kondisi baik-baik saja? Bagaimana bisa seorang yang baik-baik saja pergi ke psikiater?

Dokter Dona mempersilakanku duduk di sofa, lalu kembali dengan dua cangkir teh.

Bersamaan dengan kepulan uap panas yang keluar dari cangkir keramik di depanku, cerita-cerita manis bergulir dari bibir tipisnya. Dokter Dona menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan Dokter Damara, masa-masa terbaiknya kuliah di UGM, malam-malam singkat yang dia habiskan di riuhnya jalanan Malioboro dan pengalamannya menghadapi pencopet di Pasar Bringharjo.

“Kamu tahu apa yang dilakukan si Damar? Dia justru kabur dan memintaku segera mencari pos polisi terdekat,” tutur Dokter Dona dengan raut wajah yang sangat ekspresif.

Aku kembali tersenyum. Jika boleh jujur, aku tidak mudah percaya dengan orang lain. Itulah sebabnya, aku meminta bantuan Dokter Damara mencarikan psikiater. Tapi pagi ini, Dokter Dona membuatku menilainya dengan sisi yang lain. Aku hanya menikmati kisah demi kisah yang bergulir seperti sedang menyaksikan pertunjukan dongeng. Aku tidak perlu memercayainya untuk apa pun. Aku hanya perlu menikmati ceritanya.

Percakapan kembali bergulir. Kali ini, Dokter Dona memenuhiku dengan cerita-cerita tentang perjalanannya sebagai seorang psikiater hingga kini menetap di kota kecil ini. Sama sepertiku, dia tidak pernah menyangka akan tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Bedanya, dia pergi untuk menggapai mimpi. Sementara, aku pergi untuk bisa lepas dari genggaman ayah.

Tidak terasa, aku baru saja menghabiskan tehku. Percakapan dengan Dokter Dona tadi berhasil membuatku melupakan tujuan utama pergi ke tempat ini. Bukannya memberiku kertas berisi depression check list yang harus kuisi dengan sangat jujur atau memintaku menggambar dan mengamati sesuatu, Dokter Dona justru membawaku bernostalgia dengannya.

Kami bahkan tidak membicarakan apa pun tentang kesehatan mentalku. Hampir seluruh isi percakapan kami hari ini adalah tentang Dokter Dona, Dokter Damara, UGM, dan Yogyakarta.

“Kapan saya harus kembali ke sini lagi, Dok?” tanyaku ketika menyadari hari mulai terik dan mungkin ada beberapa pasien yang sedang menahan marah karena terlalu lama menunggu.

Dokter Dona tersenyum. “Kapan kamu merasa ingin bertemu denganku saja, Prisa. Aku akan memberimu nomor ponselku. Lakukan yang bisa membuatmu lebih nyaman. Untuk saat ini, aku tidak ingin memaksamu bertemu denganku kalau kamu tidak menginginkannya.”

Aku menggeleng. “Tidak, Dok. Sepertinya, kita harus bertemu lagi.”

Dokter Dona kembali tersenyum, menuliskan nomor ponselnya di kertas memo, lalu mendorong pelan tubuhku. “Baiklah. Jika kamu menyukai cerita-ceritaku, kembali kapan pun kamu mau. Aku akan menceritakan film-film terbaik yang pernah kutonton. Tapi, sepertinya kamu harus segera pulang sekarang. Yang lain menunggu.”

Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari ruang praktiknya. Aku berencana membeli beberapa bahan makanan sebelum pulang ke indekos, lalu menghabiskan semalaman penuh untuk menonton film-film komedi atau apa pun.

Namun, langkahku terhenti saat samar-samar terdengar seseorang memanggil. Aku berbalik dengan sedikit canggung dan menemukan seseorang tengah melambaikan tangan.

Aku menyipitkan mata, berusaha mengenali sosok jangkung yang kini tengah menatapku dengan senyuman lebar itu. Wajahnya memang tidak asing, tapi juga tidak begitu akrab. Mungkin, aku memang tidak mengenalnya, hanya tahu namanya. Siapa ….

“Yuda?”

***

[1] Borderline personality disorder (BPD) atau gangguan kepribadian ambang adalah gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati serta citra diri yang senantiasa berubah-ubah, dan perilaku yang impulsif.

***

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini. Sampai jumpa minggu depan, teman-teman. 🤗

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang