"Aku nggak pernah bohong sama kamu, Sa."
Aku terdiam, memberikan Yuda ruang untuk menjelaskan segalanya padaku. Apa pun yang bisa dia sampaikan kepadaku. Apa pun yang dia ketahui tentang kami. Apa pun yang bisa membuatku merasa lebih puas saat meninggalkan tempat ini.
Sudah siap kah aku meninggalkan tempat ini setelah mendengarkan penuturan dari Yuda?
Sayangnya, Yuda memilih untuk tidak mengatakan apa pun lagi. Bibirnya terkatup rapat dan matanya menatapku intens.
Aku kembali menghela napas panjang. Kuabaikan telapak tangan yang mulai dibasahi keringat. Tubuhku bergetar hebat. Dadaku kian sesak. Aku ingin sekali berlari dari tempat dudukku saat ini dan pergi ke tempat yang tidak diketahui siapa pun. Atau mengubur diri di dalam tanah. Atau lompat ke dalam air kecoklatan di depan restoran, kehabisan napas, lalu mati tenggelam.
"Apa yang sedang kamu rencanakan buat hidupku?"
Aku sedang bertanya kepada siapa? Yuda kah? Atau Tuhan?
Kenapa selama ini orang-orang di sekitarku tidak pernah memberiku waktu untuk bernapas?
Setelah aku merasa terbebas dari genggaman Ayah dengan pergi merantau ke kota kecil ini. Setelah aku bisa melalui hari-hari tanpa BDP selama bekerja di rumah sakit jiwa. Setelah aku bertemu Dokter Dona. Setelah aku bertemu Yuda. Setelah aku bekerja di Metamorfosis Psycare. Sebenarnya, apa yang tengah Tuhan rencanakan untuk hidupku?
Aku kira kondisiku akan membaik. Aku kira semua akan berjalan seperti yang kuharapkan. Aku kira Yuda benar-benar menghadirkan diri sepenuhnya untukku. Tapi, yang kudapat justru sebaliknya. Aku harus kembali terluka dengan semua kebaikan yang Yuda lakukan.
"Mana yang mau kamu denger lebih dulu?" tanya Yuda masih dengan gesture yang sama tenangnya. "Satu hal, Sa. Aku nggak pernah bohong atas hal apa pun. Maaf kalau apa yang kulakukan justru bikin kamu ngerasa dibohongi."
"Tapi, kamu nggak pernah bilang apa pun soal Ibu, Yuda," kataku dengan intonasi suara yang agak meninggi. "Kamu bilang mau jadi temenku. Kenapa kamu nyimpen rahasia sebesar ini dari orang yang kamu anggep temen, Yud?"
Yuda sama sekali tidak terkejut dengan kalimat yang baru saja kulontarkan. Dia juga tidak terlihat ingin menyangghanya. Benar. Apa yang Ibu katakan tiga hari lalu bukan sebuah kebohongan. Ibu dan Yuda memang saling mengenal. Aku bertanya-tanya, ikatan macam apa yang sebenarnya mereka miliki?
Ikatan?
Kali ini, aku tidak bisa lagi menahan serbuan sesak di dada. Air mataku jatuh begitu saja. Buru-buru aku menyekanya dengan punggung tanganku.
Ibu bilang, mereka sudah lama saling mengenal. Pak Danu adalah orang yang mencarikan Ibu pekerjaan di kota ini. Pak Danu juga yang mengenalkan Ibu kepada Yuda. Dan Ibu juga membenarkan tuduhan keluarga Ayah tentang sosok pria yang membantunya pergi dari rumah dua puluh tahun lalu. Namun, Ibu sama sekali tidak membahas soal hubungan macam apa yang mereka miliki. Belum hingga saat ini.
Apakah Yuda tidak ingin membantu Ibu menjelaskan semua ini kepadaku?
Tiba-tiba saja, aku teringat percakapanku dengan Ibu tiga hari lalu. Raut wajah , intonasi suara, sorot mata, jemarinya yang terus menyentuh dada, juga wajahnya saat menceritakan bagian ini kepadaku. Ibu menjelaskan semua ini tanpa menuntut kepercayaanku.
"Apa yang kamu dengar memang benar, Prisa. Pak Danu yang namanya terus menerus disebut oleh Bude dan Nenek adalah Ayah Yuda. Mereka adalah orang yang sama. Ibu tidak tahu takdir macam apa yang sedang Tuhan siapkan untuk Ibu. Tapi, begitulah kenyataannya. Kamu berhak beramsumsi negatif terhadap Ibu. Kamu boleh menghakimi Ibu. Sangat wajar kamu lebih memercayai mereka." Kalimat Ibu terhenti saat satu butir air lolos dari sudut matanya. Dia menyekanya dengan sapu tangan biru yang terlihat sudah tua. "Karena Ibu sudah menghancurkan kepercayaan kalian jauh sebelum nama Danu itu kalian dengar. Ibu sangat bersalah, Prisa. Jadi kamu berhak untuk melihat masalah ini dari sudut pandang mana pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...