MAUERBAUERTRAURIGKEIT

68 17 8
                                    

Aku memandangi ruangan berukuran tiga kali empat di depanku. Setelah melalui lorong panjang dengan tulisan-tulisan motivasi di dinding kanan dan kirinya, aku tiba di sebuah ruangan bernuansa kuning pastel. Beberapa jenis tanaman hias menambah kesan elegan dan ceria ruangan ini. Tidak hanya cat pada dinding ruangan, tapi beberapa perabotan yang ada di sini juga memiliki warna senada. Aku tidak pernah menyangka akan berakhir di tempat ini–klinik dengan nol kasus rujukan ke rumah sakit lama tempatku bekerja.

Namun, perasaanku sama sekali tidak membaik. Ini sangat berbeda dengan yang kurasakan saat pertama kali ke Kalimantan. Aku merasa gugup, serba salah, takut tidak diterima dan bingung. Satu-satunya hal yang belakangan tidak kurasakan hanyalah antusiasme. Aku sama sekali tidak memiliki kebanggaan apapun saat berhasil mencapai titik ini. Segalanya terasa sama saja bagiku.

Orang yang paling antusias menyambut hari pertamaku bekerja adalah Mbak Tanti. Sejak kemarin, dia sibuk mengkhawatirkan penampilan serta riasan wajahku. Dan di saat orang lain mengkhawatirkan hal remeh itu di hari pertama bekerja, aku justru sedang sibuk menata perasaan.

Interview memang berjalan lancar. Tapi, aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan apa yang terjadi saat test psikologi dilakukan. Entah dengan alasan apa mereka menerimaku. Padahal, bisa saja mereka mencari kandidat lain yang tidak memiliki riwayat mental illness sepertiku. Aku hanya berharap, Yuda tidak campur tangan soal penerimaanku ini.

"Mbak Prisa, kalau perlu apa-apa tinggal telepon ke ekstensi saya. Di meja ada daftar telepon ekstensi internal, Mbak," kata Kinan, resepsionis klinik yang mengantarkanku ke ruang kerja. "Bu Suci biasanya datang pukul sembilan. Ruangan beliau ada di samping."

Aku mengangguk. Pandanganku mengikuti arah yang ditunjukkan oleh jemari lentik Kinan hingga berakhir di sebuah pintu kaca di sisi kiri ruangan. Mulai hari ini, Bu Suci resmi menjadi atasan langsungku. Kebetulan, Bu Suci adalah tenaga konselor yang mewawancaraiku secara langsung satu minggu lalu.

"Terima kasih, Kinan," ucapku tulus. Aku melangkah menuju meja kayu di ujung kanan ruangan dan menjatuhkan diri di kursi. "Tapi sepertinya ruangan ini sudah memiliki apapun yang kubutuhkan."

Kinan tertawa. Gadis itu mengangguk dan meninggalkanku setelah mengantarkan berkas kontrak kerjaku ke ruangan Bu Suci.

Sejak tadi, mataku tidak berhenti menyusuri isi ruangan ini. Di samping rak file, ada disepenser dan alat pembuat kopi yang tampak masih baru. Jika semua ruangan konselor didesign sedemikian rupa, kantor ini tidak perlu office girl untuk membuatkan minum pekerjanya. Sejak kapan ruangan asisten konselor memiliki perabotan selengkap ini? Apakah klinik konselor psikologis selalu mengutamakan privasi para pekerjanya? Dan jika ruangan asisten saja sebagus ini, bagaimana dengan ruangan konselor?

Aku masih sibuk dengan banyak pertanyaan di kepala saat terdengar suara ketukan sepatu di lantai. Tidak berapa lama, pintu terbuka. Seorang wanita berumur awal lima puluhan membuka pintu dan menyapaku ramah, "Selamat pagi, Prisa. Semoga kamu betah bekerja denganku, ya. Let's be a best friend. Kata asisten sebelumnya, aku galak. Padahal wajahkuimut gini, ya?"

Aku berdiri dan menyambut uluran tangannya. Tiba-tiba saja, aku semakin gugup. Setelah Dokter Dona, wanita di depanku ini juga memiliki tatapan yang sama teduhnya. "Terima kasih sudah memberi saya kesempatan luar biasa ini, Bu."

Bu Suci menggeleng. "Tidak. Aku harusnya berterima kasih kepada Kuswoyo karena memberiku salah satu mantan karyawan terbaiknya."

Aku mengerutkan kening heran. Aku tidak tahu jika Pak Kuswoyo cukup terkenal di kalangan ini. Tapi, apakah Pak Kuswoyo juga menceritakan apa yang terjadi sebelumnya kepada Bu Suci?

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Orang tua memang selalu memandang segala sesuatu dengan berlebihan. Aku yakin Kus akan menyesal setelah membiarkanmu pergi," ujar Bu Suci seolah tahu hal apa yang mengganggu pikiranku sejak dia menyebutkan nama Pak Kuswoyo.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang