ECCEDENTESIAST

43 14 7
                                    

Aku tidak pernah membenci Ayah.

Aku menghargai setiap pengorbanan yang pernah Ayah lakukan. Sepanjang yang masih bisa kuingat, Ayah selalu melakukan yang terbaik untuk kami. Ayah akan melakukan apa pun asal kebutuhanku dan Arkana tercukupi. Dan aku sangat berterima kasih untuk itu.

Sebagai anak seorang kuli bangunan yang kerja pun harus menunggu kabar kepala rombong, kami tidak berani menggantung mimpi terlalu tinggi. Tapi, Ayah melakukan segala yang dia bisa agar hidup kami lebih baik. Jika Ayah tidak berjuang keras waktu itu, aku tidak tahu apa yang mungkin sedang kami lakukan sekarang. Bisa saja kami sedang sibuk berladang. Atau kemungkinan terburuknya, kami sedang tidur di jalanan sambil memikirkan bagaimana agar perut tetap kenyang. Tidak ada yang pernah mengira jika akhirnya kami bisa bekerja di tempat yang menurut orang begitu nyaman.

Bagiku, Ayah adalah sosok yang hangat. Dia selalu mengawali hari dengan kecupan di kedua pipi kami dan mengakhirinya dengan sebuah dongeng yang diulang-ulang. Meskipun begitu, kami tetap senang. Kami selalu menunggu kapan kiranya Ayah pulang. Lalu, kami akan bersorak girang saat melihat Ayah tiba di beranda rumah selepas bekerja. Tapi, segalanya berubah sejak Ibu pergi. Ayah menjadi banyak menuntut dan sangat tertutup.

Ayah memang menjadi lebih dekat dengan kami. Dia juga mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Tapi, aku sama sekali tidak pernah merasakan kehadirannya secara utuh. Ada sesuatu yang hilang dari binar matanya. Aku tahu. Ayah memang selalu bersama kami, tapi tidak dengan hati dan pikirannya.

Jika sebelumnya kami begitu antusias menyambut kepulangannya, tidak lagi hari-hari berikutnya. Begitu sosok Ayah terlihat di tikungan jalan, kami akan berlari ke dalam rumah dan memastikan segalanya dalam kondisi sempurna. Tidak boleh ada mainan berserakan, semua PR harus sudah dikerjakan, dan kami tidak bisa merengek untuk alasan apa pun.

Memasuki usia remaja, sikap Ayah kian tegas. Dia tidak pernah mengizinkanku pergi dari rumah selain untuk melakukan dua hal: sekolah dan les. Kalau pun dibolehkan, Ayah tidak akan membiarkanku pergi sendirian.

Ah, tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati. Bukankah seharusnya aku bahagia bisa bertemu dengannya tanpa harus menunggu lebaran tiba?

"Maafin aku, Prisa," kata Mbak Tanti sambil mengeluarkan beberapa bahan makanan yang tadi dibelinya dari dalam kantong plastik. Udang, cumi, taoge dan bahan lainnya berpindah ke atas meja dapur. "Om Hendra sengaja minta aku buat nggak ngasih tahu kamu kalau beliau mau ke sini. Ini juga rencana dadakan kok. Serius deh. Aku nggak bohong."

Aku memandangnya nyalang. Ayah tidak pernah datang tiba-tiba ke kosan kalau bukan karena ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Apalagi hanya memintaku memasak Char Kway Teow kesukaannya.

Sejak aku memutuskan bekerja di Kalimantan, ini adalah kunjungan kedua Ayah. Sebelumnya, dia datang untuk memeriksa rumah sakit dan tempat tinggalku. Toh, aku selalu mengambil cuti dan pulang setiap kali lebaran.

"Kapan Mbak Tanti tahu Ayah mau ke sini?" tanyaku datar. Sejak tadi, aku hanya menanggapi pertanyaan-pertanyaan Ayah dengan jawaban standard. Suasana hatiku memburuk setelah membaca pesan singkat Ayah saat makan siang tadi.

Wanita yang hanya terpaut tiga tahun lebih tua dariku itu terdiam. Lalu memegang lenganku dan berkata, "Dua hari lalu, Sa. Please, jangan marah sama aku, ya."

Aku tidak marah dengan Mbak Tanti. Aku hanya merasa sedikit kesal. Setelah semua yang terjadi belakangan, aku hanya butuh waktu sebentar lagi untuk pulih. Akan lebih baik berbincang dengan Ayah saat suasana hatiku sudah membaik. Lagi pula, lebaran tidak akan lama lagi.

Mbak Tanti mengambil mangkuk berisi udang dari tanganku dan berjalan ke wastafel. "Biar aku yang nyuci, Sa."

Kami memasak dalam diam. Aku terus saja menebak segala kemungkinan. Apa saja yang sudah Mbak Tanti laporkan kepada Ayah? Mungkinkah Mbak Tanti menyinggung hubunganku dengan Yuda?

"Siapa Yuda?"

Tiba-tiba Ayah masuk ke dapur dan berdiri di sampingku. Pertanyaan Ayah menguatkan asumsiku. Seperti dugaanku, Mbak Tanti pasti sudah menceritakan lebih kepada Ayah.

"Yuda bosku. Founder Metamorfosis Psycare," jawabku datar. Aku lebih senang Ayah membicarakan hal selain ini. Tentang promosi Arkana misalnya. "Kenapa Ayah tiba-tiba nanyain itu?"

Ayah mengambil posisi duduk di kursi makan dekat tempatku berdiri. "Sedekat apa kalian?"

Aku menghela napas panjang dan membalikkan badan. "Ayah, bisa kita bahas masalah lain?"

Ayah tersenyum. Dan tiba-tiba saja waktu seolah berhenti berputar. Bukan hanya karena senyuman yang terlihat lebih tulus, tapi sorot mata Ayah juga tampak berbeda. Lalu, aku mulai menyadari jika Ayah terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Sejak kapan kerutan halus di wajah Ayah bertambah banyak? Bagaimana rambut Ayah mulai memutih? Segitu jauhnya hubungan kami hingga aku tidak menyadari itu?

Kakiku terasa lemas. Saat ini, aku hanya ingin Ayah berhenti menatapku dengan cara seperti itu. Aku melanjutkan aktifitas mengupas bawang putih dengan perasaan tidak keruan. Sementara, aku melihat Mbak Tanti sibuk menggoreng udang dan merebus air.

"Sepertinya, Ayah melewatkan banyak hal selama ini."

Aku mengangguk. "Ayah bahkan nggak ngasih tahu Prisa kalau mau ke sini."

Ayah terbatuk sebentar. "Kamu belum jawab pertanyaan Ayah tadi, Prisa. Sedekat apa hubunganmu dengan Yuda?"

Aku kembali menghela napas panjang. "Kami cuma rekan kerja. Nggak lebih dari itu."

"Tapi kata Tanti kamu jadi sjarang ada di rumah sekarang. Emang klinik itu selalu memiliki banyak pasien? Bukannya kamu bilang mereka memiliki banyak tenaga konselor?"

Aku melihat Mbak Tanti menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali sibuk menyiram kwetiau dengan air mendidih.

"Belum genap dua bulang sejak Prisa kerja di sana, Ayah. Prisa harus menyesuaikan diri dalam banyak hal. Termasuk kegiatan dan SOP mereka. Jadi, sangat wajar kalau Prisa butuh waktu tambahan sore hari," kataku mencoba memberikan informasi yang sesungguhnya tanpa menyinggung soal support group yang ada di Metamorfosis Psycare.

Kini Ayah mengambil posisi berdiri di sebelahku, membantuku menumis bumbu. Lagi-lagi, hatiku hancur saat melihat tangan Ayah tidak lagi sekekar dulu. Hatiku mencelus. Dulu, tidur di lengan Ayah sambil mendengarnya mendongeng selalu jadi ritual favoritku.

"Lalu, makan malam bersamanya?"

Pertanyaan Ayah berhasil memancing emosi lain dari dalam diriku. Bukan karena pertanyaannya. Tapi, karena apa yang sudah dilaporkan Mbak Tanti kepadanya. Sudah sejauh apa yang dia laporkan? Bukannya kami pernah sepakat untuk tidak mengganggu privasi masing-masing?

Aku mengaduk kwetiau dan sausnya dengan asal. "Menangani pasien dengan gangguan psikologis berbeda dengan pasien biasa, Ayah. Kami harus menyesuaikan dengan suasana hati mereka. Bahkan saat mereka ingin membicarakannya di luar. Bukan di klinik Metamorfosis Psycare."

Ayah mengangguk. "Kamu sudah dewasa, Prisa. Ayah tidak bisa lagi membatasi ruang gerakmu. Tapi, ...."

Aku menunduk. Ayah tersengar sengaja menggantug kalimatnya. Tapi, ....

"Apakah ada yang kamu sembunyikan dari Ayah?"

***

Eccedentesiast adalah istilah dalam psikologi yang ditujukan untuk seseorang yang lebih memilih menyembunyikan kesedihannya di balik senyum mereka.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang