"Aku sempat tahu bagaimana rasanya diantar Ibu di hari pertama sekolah. Aku sama sekali tidak berharap Ibu mengambil rapor untukku karena Ayah selalu melakukannya. Bukan masalah besar bagiku harus mengerjakan PR tanpa sosoknya. Tapi, ...."
Hening. Semua peserta support group sore ini terdiam mendengar penuturanku. Aku menghela napas. Mencoba mengumpulkan energi sebelum melanjutkan cerita. "Aku hanya merasa sedikit iri saat teman-temanku di SMP beradu argumen dengan ibu mereka. Aku merasa iri saat melihat mereka meributkan hal sepele. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berebut remote televisi dengan Ibu."
Aku menyeka ujung mata yang kembali basah, tidak sanggup menahan serbuan sesak di dada. Aku ingat bagaimana dulu pernah diam-diam menangis di kamar mandi sekolah hanya karena Anggia menceritakan kekesalannya kepada sang ibu. Atau saat aku memilih pulang diam-diam dari rumah Bude setelah melihat kedekatannya dengan Mbak Tanti.
"Aku iri melihat sepupuku bisa tidur di pelukan ibunya. Sementara aku, perlahan-lahan mulai lupa bagaimana rasanya. Aku lupa seperti apa wajahnya, bau keringatnya, suaranya."
Ruangan masih hening. Menyisakan desah napas dan suaraku yang mulai terdengar parau. Dalam kesunyian ini, aku seolah bisa mendengar detak jantungku sendiri. Aku ingin sekali mengatakan jika aku sangat merindukannya. Tapi, kalimat itu tertahan di pangkal lidah. Aku tidak bisa mengatakannya.
"Cukup, Prisa," kata Bu Suci yang sore ini bertugas sebagai konselor pendamping. Dia mendekat ke tempat dudukku dan meremas pundakku lembut. "Kamu bisa melanjutkannya lain kali."
Seorang perawat-yang tidak bisa kulihat dengan jelas wajahnya-memberiku sekotak tissue. Aku juga sempat mendengar peserta lain berbicara sesuatu. Tapi, dadaku sudah terlanjur penuh. Gumpalan emosi yang selama ini kutahan sendirian mendesak keluar. Saat ini, aku hanya ingin orang lain tahu. Tidak lebih dari itu. Lalu, aku mulai menangis tanpa suara.
Sepuluh menit berlalu sampai aku merasa sedikit lebih tenang. Aku meminta izin untuk ke kamar mandi. Sementara Bu Suci meminta peserta lain melanjutkan cerita.
Biasanya, aku akan merasa jauh lebih lega setelah bercerita. Tapi, entah kenapa aku tidak merasa demikian kali ini. Rasa rindu itu justru terasa semakin kuat.
Aku kembali mengatur napas dan berharap bisa tiba di kamar mandi tanpa perlu menangis lagi. Pertanyaan yang Dokter Dona lontarkan beberapa hari lalu kembali terngiang. Apakah pernah terbesit keinginan dalam diriku untuk bisa kembali bertemu Ibu?
Dulu, aku selalu mengabaikan perasaan jenis ini. Tapi, beberapa tahun belakangan ini, aku tidak bisa lagi menampik keinginan itu. Nyatanya, aku mulai merindukan segala sesuatu tentangnya. Perhatian, pelukan, simpati, kasih sayang yang selama ini diberikan orang-orang di sekitarku tidak akan pernah bisa mengobati kerinduanku akan sosok ibu.
Aku tiba di kamar mandi dengan kondisi yang jauh lebih buruk. Aku kembali menangis. Tangisan yang selama ini bisa kuredam, tidak lagi bisa kutahan. Aku terisak memanggil Ibu. Di mana wanita itu sekarang? Apakah dia juga merindukanku? Akankah dia menjelaskan segalanya jika suatu hari kami bertemu? Apakah aku bisa menerima segala penjelasannya?
Namun, ada yang lebih menyesakkan dari semua pertanyaan itu. Apakah Ibu hidup dengan baik setelah meninggalkan kami? Dan apakah Ibu masih hidup saat ini?
Tiba-tiba, ponsel dalam genggamanku bergetar. Sebuah pesan dari Yuda muncul di layar utama. Dia tidak menanyakan kondisiku. Dia juga tidak menanyakan posisiku saat ini. Pesan random yang justru dia kirim adalah: Sa, kapan bisa main bareng ke sini?
Di bawah pesan itu, Yuda melampirkan sebuah foto yang sangat familier. Hutan pinus Imogiri. Tempat di mana dulu mahasiswa psikologi pernah melakukan latihan meditasi. Jika diperhatikan, foto hutan pinus itu terlihat jauh berbeda dengan saat terakhir kali aku pergi ke sana. Jika dulu tempat itu hanyalah hutan pinus biasa, tidak sekarang. Seperti yang sudah pernah ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi, tempat itu kini memiliki rumah pohon, panggung sekolah hutan, dan beberapa spot menarik lainnya.
Prisa: Someday ....
Lalu, Yuda mengirimkan sebuah foto lawas yang menampilkan dirinya sedang berkegiatan di hutan pinus Imogiri. Aku mengingat wajah itu. Yuda di masa lalu. Tapi, bukan itu yang berhasil mencuri perhatianku. Bukan juga kata 'Soon' yang Yuda kirim sebagai balasan pesanku. Ingatanku tentang hari latihan meditasi itu akhirnya kembali.
Hari itu, Yuda memberiku flyer berisi ajakan untuk ikut MAPAGAMA. Berbeda dengan Liliana dan kawan-kawan lain yang langsung antusias mendengar penjelasan tentang kegiatan mereka, aku justru memilih pergi menyendiri. Aku tidak ingin tahu apa pun tentang kegiatan alam sejak memutuskan untuk mengubur impianku.
Dan hari ini, Yuda mengingatkanku tentang hari itu.
Yuda: When one door closes, another opens; but we often look so long and so regretfully upon the closed door that we do not see the one that has opened for us - Alexander Graham Bell
Prisa: Kamu di mana? Udah pulang?
Aku membersihkan wajah dan memastikan jika tidak ada sisa-sisa air mata di sana. Meskipun tentu saja aku tidak bisa menyembunyikan mata sembabku. Aku harus siap jika seandainya tiba-tiba bertemu dengan Yuda saat kembali ke ruang support group.
Namun, sepertinya aku tidak perlu menunggu hingga tiba di ruangan support group untuk bertemu dengannya. Sosok jangkungnya terlihat sedang memunggungi lorong kamar mandi. Apa yang dia lakukan di sana? Menungguku keluar dari kamar mandi?
"Soon-nya nggak sekarang juga kan, Yud?"
Yuda membalikkan badan begitu mendengar sapaanku. Dia tertawa. Dengan tawa yang belakangan ini terdengar sangat familier. "Bukan itu, Sa."
Aku menyilangkan tangan, bertanya-tanya apa yang akan Yuda katakan setelah ini. Dan benar saja. Apa yang Yuda katakan benar-benar tidak bisa kuduga.
"Udah siap dengan misi selanjutnya?"
Aku mengangguk. Apa pun bentuk hubungan yang kami miliki saat ini, aku sangat bersyukur karena Yuda ada. Aku tidak pantas berharap lebih setelah apa yang dia lakukan untukku tiga bulan terakhir. "Akankah lebih berat dari yang sebelumnya?"
Bukannya menjawab, Yuda justru mengambil ponsel miliknya. "Gadis kecil ini klien kita selanjutnya, Sa. Kita mungkin akan sering bekerja di luar klinik mulai besok," kata Yuda sambil menunjukkan foto anak kecil berambut ikal panjang di ponselnya.
Aku mengerutkan kening. "Something happened?"
"Prolonged Grief Disorder."
Aku tidak perlu penjelasan panjang Yuda untuk mengerti apa itu PGD. "Siapa yang baru saja meninggal?"
"Ibunya."
Aku menatap Yuda tanpa berkedip. Aku harus menemani seorang anak kecil konseling dan bercerita tentang ibunya yang baru saja meninggal. Sementara, aku juga pernah merasaka sesaknya kehilangan. Mampukah aku?
***
Prolonged Grief Disorder merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.
Dalam psikoanalisis, decathexis adalah penarikan cathexis dari suatu ide atau objek instingtual. Decathexis adalah proses dis-investasi energi mental atau emosional pada seseorang, objek, atau ide.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomansaKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...