RUBATOSIS

67 18 10
                                    

Memories are dangerous things. You turn them over and over, until you know every touch and corner, but still you'll find an edge to cut you. Begitu kata Mark Lawrence. Dan aku membenarkannya.

Satu-satunya kenangan yang selalu berhasil menghangatkan hatiku adalah saat ibu masih ada. Saat segalanya terasa baik-baik saja. Saat aku bisa mencium tubuh ibu yang kadang beraroma dapur. Saat rumah kami tidak hanya hangat karena nyala api di dalam tungku, tapi juga sentuhan ibu. Saat kenangan baik itu memenuhi ingatanku, suasana hatiku akan membaik. Aku akan menjalani hari dengan antusiasme tinggi. Semua pekerjaan dan aktifitasku berjalan dengan lancar.

Namun, itu tidak akan lama. Segala kenangan manis yang masih tersisa dalam ingatanku akan begitu mudah terganti dengan memori-memori menyakitkan sejak ibu pergi.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas warna mobil pick up yang membawa ibu pergi hari itu. Atau sekelebat bayangan pria yang menarik tubuh sintal ibu ke dalam mobilnya. Tapi, aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya. Jangankan pria itu, wajah ibu saja perlahan kulupakan seiring tahun berganti.

Tiga tahun setelah kejadian itu, aku berhasil mencuri dengar nama pria yang membawa ibu dari perbincangan Ayah dan Bude. Namanya Danu, seorang grader tembakau dari Kota Temanggung. Dan sejak saat itu juga, rasa marah dan benci selalu menggelayutiku setiap kali seseorang menyebut nama itu kembali. Keluargaku bilang, mereka punya hubungan istimewa. Ayah bilang, Ibu telah lama berkhianat. Tapi, tetanggaku bilang, Ibu adalah seorang istri dan ibu yang baik.

Aku tidak tahu siapa yang harus kupercayai. Hingga akhirnya aku memilih untuk tidak memercayai siapa pun.

Bahkan, aku tidak percaya saat Yuda memperkenalkan Ayahnya dengan nama Danu. Dari sekian banyak nama yang bisa disematkan, kenapa harus Danu?

"Apakah suasana hatimu selalu seburuk ini setiap kali nama Danu disebutkan, Prisa?" tanya Dokter Dona yang pagi ini meluangkan waktu untuk sarapan bersamaku di café dekat rumahnya. "Kata Dokter Damara, dulu kamu sampai beberapa kali kehilangan fokus saat mengikuti kelas salah seorang dosen bernama Danu."

Aku terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali nama itu berhasil mengusik suasana hatiku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan perubahan mood yang signifikan.

"Mendengar namanya saja, nggak akan seburuk ini, Dok. Tapi kemarin, seseorang bernama Danu memperkenalkan dirinya secara langsung kepadaku. Di saat kondisi psikisku nggak stabil," jawabku jujur. Aku memang beberapa kali mendengar nama itu disebut, tapi efeknya tidak pernah seburuk ini. Nyatanya, lima tahun terakhir aku baik-baik saja.

Dokter Dona mengangguk. "Itu sangat wajar mengingat kamu mengetahui nama pria dari masa lalu itu. Dan itu artinya, kamu harus mulai terbiasa. Kamu harus lebih sering bertemu dengannya sekarang. Yang perlu kita cari tahu sekarang adalah pemicu BDP ini muncul kembali setelah lima tahun kamu berhasil mengendalikan perasaan."

Aku menghirup napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. "Aku tahu."

"Aku belum akan meresepkanmu obat apapun, Prisa. Dokter Damara bilang kalau kondisimu dulu jauh lebih buruk dari ini," kata Dokter Dona serius. Dia mengambil sebuah buku bersampul merah muda dari dalam tas dan memberikannya kepadaku. "Cobalah menulis diary."

Melihat buku berukuran kecil itu, aku tersenyum. Sudah lama sejak terakhir kali aku menuliskan apa yang kurasakan dalam buku harian. Terakhir saat SMA. Saat pertama kali aku menyadari ada yang salah dengan diriku.

Melihatku bergeming, Dokter Dona menyentuh punggung tanganku dengan lembut. "Kamu bisa meletakkan ini di tempat yang tidak diketahui siapa pun kalau takut seseorang mungkin membacanya. Kamu bisa memberikan ini padaku kalau perlu. Tuliskan apa yang ingin kamu sampaikan. Sedetail mungkin. Pelan-pelan aja."

Aku mengambil buku bergambar perempuan berambut panjang yang diberikan Dokter Dona dan kembali tersenyum. Dokter Damara juga pernah menyarankan hal yang sama. Tapi, aku menolaknya dengan dalih takut orang lain mungkin membacanya. Hingga akhirnya Dokter Damara menyarankan untuk rutin menemuinya selama aku di kampus.

Dan hari ini, aku memutuskan untuk mencoba metode ini. Aku sepakat untuk memberikan buku harian itu satu minggu sekali kepada Dokter Dona. "Aku ingin sembuh," kataku lirih.

Dokter Dona menatapku sembari tersenyum. "Kamu pernah melalui tahun-tahun sebelum ini dengan baik, Prisa. Kamu bisa menghubungiku kapan pun kamu membutuhkanku. Apa Bu Suci dan Yuda tahu soal ini?"

Aku mengedikkan bahu. Entahlah. Seharusnya pihak HRD sudah mengetahui ini dari hasil tes psikologiku. Tapi, mereka tidak mengatakan apa pun sampai hari ini. "Sepertinya belum untuk saat ini."

Sekali lagi, kulihat Dokter Dona mengangguk. Mendengar nama Yuda membuatku ingat dengan jam kerjaku.

Aku melirik jam di pergelangan tangan dan sadar kalau kami sudah menghabiskan waktu satu jam untuk sarapan kali ini. Buru-buru, kumasukkan buku harian dan ponsel ke dalam tas dan pamit kepada Dokter Dona untuk berangkat kerja lebih dulu.

Dokter Dona mengangguk. Kulihat dia melambaikan tangan sambil mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar dengan jelas. Sekilas aku mendengar dia menyebut nama Yuda. Mungkin dia ingin menitip salam untuk Yuda atau entahlah. Saat ini, aku hanya memikirkan bagaimana bisa tiba di kantor sebelum jarum jam menyentuh angka delapan.

Sepanjang jalan, aku terus memikirkan banyak hal. Bu Suci bilang hari ini ada klien yang akan melakukan konseling pasca keguguran dan seharusnya aku tidak mengacaukan pagi ini dengan datang terlambat.

Begitu tiba di lobi depan Metamorfosis Psycare, seorang satpam menghampiriku dan menawarkan bantuannya memarkirkan sepeda motorku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas ke ruangan.

"Selamat pagi, Prisa," sapa Bu Suci yang juga terlihat buru-buru. Dia mengikat rambut panjangnya dengan asal dan bergegas masuk ke ruang konselor.

Tidak lama kemudian, Bu Suci keluar dengan beberapa berkas di tangan. "Aku harus menghadairi rapat pagi ini, Prisa. Pasien kita akan datang setengah jam lagi. Tolong handle dulu kalau aku belum kembali."

Melihat raut wajah Bu Suci yang tampak tegang, aku penasaran. "Ada sesuatu yang mendesak, Dok?"

Bu Suci mengangguk. Aku melihat sorot penuh luka dari matanya. Tampak juga gurat kelelahan di wajah cantiknya.

"Salah seorang pasien Yuda mencoba bunuh diri lagi. Kami kecolongan. Pak Danu dan Yuda sedang mencoba berbicara dengannya sekarang," jawab Bu Suci sebelum meninggalkan ruangan.

Bersamaan dengan menghilangnya suara ketukan sepatu Bu Suci, aku merasakan hujaman rasa sakit di dadaku. Bukan karena berita seseorang berniat mengakhiri hidupnya. Aku sering mendapat dorongan yang sama untuk mati. Tapi, nama Danu kembali mengacaukan suasana hatiku. Saat ini, aku hanya ingin menangis. Dan tiba-tiba saja, luapan kesedihan itu tidak bisa lagi kubendung.

Aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dan berjalan gontai ke kamar mandi. Tapi, langkahku terhenti di ambang pintu. Kudengar seseorang membuka pintu ruangan dan memanggil namaku. Aku tidak sempat menyeka air mata saat dengan refleks membalikkan badan dan melihat siapa yang tengah berdiri di dekat meja kerjaku. Yuda.

"Prisa, kamu baik-baik aja?"

***

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang