EXULANSIS

66 19 10
                                    

Ada masa di mana aku ingin mengakhiri hidup dan berpikir jika mungkin semua orang akan bahagia setelah aku mati. Tapi, itu bukanlah saat Dokter Damara akhirnya memberikan diagnosa terkait kesehatan mentalku. Melainkan saat ayah memaksaku mengambil kuliah psikologi.

Aku yang ingin sekali mengambil jurusan ilmu komunikasi, terpaksa mengalah. Antusiasmeku untuk bisa membuat tulisan indah sambil jalan-jalan seperti para travel blogger ternama, perlahan menguap. Setelah beberapa kali berdebat dengan Ayah, aku akhirnya menuruti maunya dan menyiapkan diri untuk mengikuti serangkaian test masuk universitas. Berita bagusnya, aku lulus. Tapi, kondisi mentalku justru memburuk. Terlebih saat aku tahu kalau Anggia berhasil masuk jurusan ilmu komunikasi.

Sudah lama aku tidak lagi mengingat kejadian itu. Toh, pada akhirnya aku menyukai ilmu psikologi. Namun, setelah beberapa hari aku terbebas dari rasa cemas berlebihan, ingatan tentang hari itu kembali mendistraksi.

Di sela-sela obrolan para peserta di support group Metamofosis Psycare, kalimat yang Anggia katakan sembilan tahun lalu itu kembali terngiang. Dengan raut wajah sumringah, Anggia berkata, "Prospek lulusan ilmu komunikasi sekarang gede banget, Sa. Kalau kita nggak punya cukup duit buat jadi travel blogger ya paling nggak kita bisa kerja di stasiun TV."

Anggia terdiam saat menyadari perubahan ekspresi di wajahku. Kalimat yang seharusnya biasa saja itu berhasil mengubah suasana hatiku. Dan sejak saat itu juga, aku menjalani hari dengan hanya memiliki satu tujuan: membuat Ayah puas dengan pencapaianku.

Dokter Damara berhasil membantuku menemukan banyak hal yang kulewatkan dalam hidup. Sebagai mahasiswa psikologi, aku sangat menyadari apa yang sedang dilakukan Dokter Damara padaku saat itu. Dengan sadar, aku menyetujui semua proses dalam assesmen psikologi. Selain karena ingatan tentang kepergian Ibu, menurutnya, pemicu BDP yang kuidap ini adalah imbas dari sikap otoriter Ayah.

Jika dulu Dokter Damara membuatku merasa lebih baik dengan rutin menjalani konseling dan terapi, kali ini aku merasa sedikit lebih baik setelah rutin mengikuti semua sesi kelas support group Metamorfosis Psycare tiga minggu terakhir.

Selama itu juga, Bu Suci selalu melibatkanku dalam semua proses pengisian kelas. Mulai dari penyiapan dokumen, pendaftaran peserta baru, hingga form persetujuan yang diperlukan.

Support group yang ada di sini, dibagi menjadi beberapa kelompok kelas sesuai dengan background masalah dan keluhan yang dirasakan oleh pesertanya. Sebelum sesi di mulai, pihak management akan memastikan kerelaan dan kesadaran diri perserta untuk mengikuti grup ini lewat perjanjian tertulis. Dari dokumen itu aku akhirnya tahu jika peserta bukan hanya pasien dari klinik ini saja. Tapi, beberapa dari mereka adalah pasien dari rumah sakit lain. Ada juga peserta yang berasal dari daerah lain.

"Prisa, apakah kamu sudah mencetak bagan permainan yang tadi kukasih?" tanya Bu Suci saat akhirnya menyelesaikan sesi konselingnya dengan Yunita sore ini.

Dengan alasan masih belum siap membagi masalah rumah tangganya dengan orang lain, Yunita menolak pendampinganku. Akhirnya, Bu Suci harus menemani sesi konseling Yunita sendirian.

Aku mengangguk, lalu menyerahkan print out bagan alur permainan yang Bu Suci maksud. "Jadwal hari ini healing untuk anak-anak, Bu?"

"Remaja. Sesuai jadwal, Prisa," jawab Bu Suci sambil berlalu meninggalkan ruangan.

Aku kembali mengangguk dan mengikuti langkah panjang Bu Suci menuju lantai dua bangunan, tempat sesi support group biasa dilakukan. Di depan ruangan luas itu kulihat beberapa remaja sedang menunggu dan langsung tersenyum saat menyadari kehadiran Bu Suci.

Bu Suci memulai kelas healing. Dengan pembawaannya yang santai dan bersahabat, Bu Suci berhasil membuat wajah para peserta yang awalnya tegang menjadi lebih rileks. Mereka mengikuti kelas dengan antusiasme tinggi. Interaksi yang terjalin antara peserta dan konselor juga berjalan sangat baik.

"Awalnya, aku merasa sangat terpukul saat mengetahui ada yang salah dengan kondisi mentalku. Aku merasa dunia berhenti berputar," kata salah seorang peserta support group yang hari ini mengikuti kelas Bu Suci. "Tapi, saat aku bertemu dengan kalian, aku jadi tidak lagi merasa sendirian."

Aku tersenyum, begitu pula Bu Suci dan peserta lainnya. Entah bagaimana, energi positif yang diberikan Bu Suci menular kepadaku. Aku menjadi lebih sering tersenyum dan mulai terbiasa berada di tengah keramaian.

Aku memang belum sepenuhnya merasa baik-baik saja. Ada kalanya cerita dan pengalaman peserta lain mengusik sisi rentanku. Tapi, dari kegiatan ini juga aku mulai merasa bahwa aku tidak pernah sendirian melewati ini. Dan bagiku, ini cukup melegakan. Di tempat ini, aku tidak perlu takut dengan stigma buruk orang lain terhadapku.

Bu Suci mengambil posisi duduk di sebelahku setelah selesai membagikan kertas permainan kepada peserta healing. Dia mengambil pena dan mulai mengisi dokumen perkembangan pasien. "Mereka menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Sebagian dari mereka sebenarnya sudah tidak memerlukan kelas ini lagi."

Aku mengangguk. "Tentu saja, Bu. Metamorfosis Psycare memiliki tenaga klinis yang hebat."

Dari yang kudengar, Metamorfosis Psycare baru membuka kelas ini setelah konsepnya benar-benar sempurna. Tidak jarang mereka mengirim para konselor dan asistennya untuk mengikuti berbagai pelatihan. Baik di dalam ataupun luar negeri. Jadi tidak heran kalau mereka berhasil membantu banyak orang lepas dari belenggu penyakit mental.

Bu Suci tersenyum sebelum akhirnya kembali sibuk dengan kertas analisa dan penanya.

Aku menghela napas panjang. Seandainya dunia dipenuhi orang-orang baik seperti mereka.

Dua puluh menit kemudian, salah seorang peserta maju dan menyerahkan lembar permainan itu kepada Bu Suci. "Aku sudah menyelesaikannya, Bu," kata gadis itu dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya.

Aku tersenyum. Siapa yang pernah mengira jika gadis semanis itu menimbun banyak luka akibat perceraian orang tuanya?

"Good job, Nanda. Terima kasih karena sudah melalui semua ini dan tetap baik-baik saja," jawab Bu Suci tanpa sedetik pun melepas senyuman.

Gadis itu mengangguk dan kembali ke tempat duduknya. Tidak lama kemudian, peserta lain turut mengumpulkan tugas permainan. Semua terlihat jauh lebih baik dari pada dua minggu lalu, saat pertama kali aku mengikuti support group ini.

Hampir semua peserta grup ini adalah pasien yang sudah melalui berbagai sesi wawancara dan mendapatkan diagnosa psikiater. Jadi, sangat wajar jika mereka sudah bisa lebih menerima kondisi psikis mereka.

Bu Suci masih sibuk memeriksa lembar permainan yang sudah diisi peserta saat mataku berhasil menangkap sebuah kertas note kecil tertempel di papan ujian. Mataku terperangkap di sana selama beberapa saat. Bukan karena Kinan salah memberiku daftar presensi. Tapi, karena aku sadar siapa pemilik tulisan di kertas note kuning itu.

Take some time, Prisa. It's okay to not be okay. Sometime, you need to give yourseff permission to pause. Yuda.

Jantungku terpacu lebih cepat dari biasanya. Ada getaran aneh yang memenuhi hatiku saat melihat nama Yuda di akhir tulisan itu. Ah, perasaan macam apa ini?


***

Exulancis adalah perasaan frustrasi saat menceritakan pengalaman kita kepada seseorang yang tidak mengerti.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang