NODUS TOLLENS

41 15 5
                                    

Aku berlari secepat mungkin agar bisa segera sampai di rooftop bangunan ini. Bukan karena keinginan bunuh diri kembali menghampiri. Bukan juga karena merindukan Ibu atau nama Pak Danu tiba-tiba mendistraksiku. Tapi, aku sering merasa sesak setiap kali Darial mengakhiri sesi konselingnya.

Aku memang tidak sendirian. Bu Suci mendampingi Darial sejak awal konseling. Dan aku tahu alasan Yuda menunjuk Bu Suci jadi konselor Darial. Kasus Darial sangat relate dengan masa laluku. Yuda ingin aku terlibat langsung. Sementara, memintaku menemani Darial konseling sendirian bukanlah pilihan yang tepat. Saat ini, aku belum bisa mengatasi perasaan pribadiku saat bersama pasien. Aku bisa tiba-tiba merasa sedih dan sangat putus asa.

Awalnya, aku mengira perasaan sedih ini muncul karena rasa rindu yang lama kupendam. Tapi, kemudian aku sadar jika sesi konseling besama Darial menjadi pemicu utamanya.

Perubahan suasana hati yang tiba-tiba ini bukan karena kerinduanku akan Ibu. Tapi, rasa bersalah yang terus mendesak keluar. Aku tidak benar-benar memahami Ayah selama ini. Aku hanya mengenalnya sebagai sosok otoriter yang selalu berdiri di belakangku. Yang mengatur ke mana aku harus pergi dan memilih jalan. Aku hanya sibuk mengumpulkan asumsi tanpa pernah mencoba mencari tahu sebab dari sikap yang Ayah tunjukkan selama ini. Pernahkah aku memastikan jika Ayah baik-baik saja selepas kepergian Ibu?

Dan lewat Darial, pertanyaan yang menggumpal di benakku terjawab satu-satu. Bukankah Ayah juga menyimpan luka yang sama? Bukankah ada orang selain aku dan Arkana yang juga menanggung begitu banyak rasa sakit?

Sejak Yuda memintaku mengikuti perkembangan psikis Darial, aku terus mencari apakah ada yang kulewatkan dari sikap Ayah selama ini. Aku melakukannya terus menerus hingga mimpi buruk itu kembali hadir. Kali ini, bukan hanya sesosok wanita tanpa wajah yang selalu berusaha menyentuhku. Tapi, juga sosok Ayah dengan dua wajah yang terus berada di sisiku. Ayah selalu tampak kuat dan hebat, tapi aku juga melihat wajah murungnya di saat yang sama.

Rasa bersalah itu memghujaniku tanpa jeda. Seharusnya, aku bisa memahami Ayah lebih dari siapa pun. Tapi, yang kulakukan selama ini justru terus menyalahkannya.

Intonasi suara dan sorot mata Darial saat bercerita selalu berhasil membawaku ke Jum'at pagi itu. Ingatanku terhenti di masa yang sama, saat Ayah memulai hari tanpa Ibu. Saat untuk pertama kali dalam hidupnya, Ayah mengemban peran ganda.

Aku tidak salah ingat. Darial adalah gambaran sosok Ayah saat itu.

"Saya sangat mencintainya. Saya melakukan segalanya agar dia tetap di sisi saya. Tapi, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari hidup saya. Seketika, dunia saya runtuh."

Seketika dunia saya runtuh.

Kalimat yang Darial ucapkan saat konseling pagi ini terus saja terngiang. Darial yang berantakan. Darial yang selalu tersenyum setiap kali bertemu denganku. Darial yang tidak bisa menangis meskipun sangat ingin. Darial yang mencintai Yunita. Darial yang ingin sekali melukai kekasihnya. Selalu saja mengingatkanku pada Ayah.

Bukankah Ayah juga pernah sangat mencintai Ibu? Bukankah secara psikologis Ayah bisa melakukan hal yang sama?

Namun, Ayah tidak pernah melakukan apa-apa untuk mencegah kepergian Ibu. Dia menerima begitu saja keputusan Ibu dan membesarkan kami seorang diri. Ayah tidak pernah mengeluh. Lalu, sekarang hanya satu yang selalu terlintas dalam pikiranku: Ayah membiarkan segala emosi itu menggumpal di dalam dirinya.

"Bagaimana menurut kamu, Prisa?"

Tiba-tiba, suara Bu Suci mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapatinya tengah berjalan ke arahku dengan dua papercup kopi di tangannya. Apanya yang bagaimana?

"Darial. Bagaimana Darial?" Bu Suci mengulang pertanyaannya saat menyadari aku hanya terdiam. Dia memberikan satu papercup kopi kepadaku.

Aku menimbang sesaat, mencoba mengingat bagaimana kondisi Darial di pertemuan kami pagi tadi. "Dia sudah terlihat jauh lebih baik."

Bu Suci mengangguk. "Apakah menurutmu dia telah melakukan kesalahan besar?"

"Dia memang salah."

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan demikian?" tanya Bu Suci seolah sengaja menggiringku kepada opini lain. "Darial punya alasan yang mendasar untuk melakukan itu."

Alasan. Bu Suci benar. Darial punya alasan untuk melakukan semua itu. Dan Ayah juga punya alasan hingga akhirnya memperlakukan kami dengan caranya. Ayah tidak seperti itu sebelum Ibu pergi. "Tapi, dari awal dia membuat Yunita merasa tidak nyaman dengan caranya. Darial membatasi akses komunikasi Yunita dengan teman-temannya."

"Yunita pernah berselingkuh saat mereka masih berpacaran. Bukankah ketakutan Darial itu harusnya masuk akal?"

Aku terdiam. Ya. Darial tidak sepenuhnya salah. Masa lalu Yunita menjadi alasan kuat baginya untuk melakukan semua itu. Tapi, aku juga tidak membenarkan tindakannya. Bagaimanapun, yang dilakukan Darial kepada Yunita adalah sebuah bentuk intimidasi dan ancaman.

"Kita harus melihat segala sesuatu dari banyak sisi, Prisa. Satu-satunya yang patut disalahkan dari hubungan Darial dan Yunita adalah bentuk komunikasi yang terjalin di antara keduanya. Dari beberapa sesi konseling yang dijalani, aku bisa simpulkan bahwa mereka tidak terbiasa terbuka. Mereka selalu beranggapan jika dengan membiarkan sebuah masalah berlalu, keluarga mereka akan baik-baik saja," kata Bu Suci saat mendapatiku terdiam.

Setelah tiga kali mendampingi Darial berkonsultasi, aku akhirnya tahu jika dia teramat menggilai kesempurnaan. Dia selalu memastikan segala sesuatunya sempurna–menurut dia. Hingga tanpa sadar, dia telah mengatur kehidupan rumah tangganya sedemikian rupa dan tidak pernah memberikan ruang untuk Yunita mengemukakan pendapat.

Obsesi Darial untuk memiliki keluarga utuh yang selalu terlihat bahagia membuat egonya terlukai begitu Yunita mengajukan gugatan perceraian.

"Hingga tanpa mereka sadari, gumpalan emosi itu meledak tanpa bisa ditahan lagi sekarang," kataku lirih.

Aku tidak tahu kepada siapa sebenarnya kalimat itu aku tujukan. Pikiranku melayang jauh. Selalu ada hubungan sebab akibat dalam setiap peristiwa. Kepergian Ibu dan sikap otoriter Ayah juga tentu beralasan, bukan? Lalu, kenapa selama ini aku selalu merasa menjadi orang yang paling terluka dengan peristiwa itu?

Aku menangis lagi saat wajah renta Ayah terbayang jelas di pelupuk mata. Saat ini, aku tidak peduli ada orang lain sedang bersamaku di sini. Bu Suci tidak akan menghakimiku. Bu Suci akan memahamiku. Seperti Dokter Dona. Seperti Yuda.

Bu Suci tersenyum. "Kamu belajar banyak hari ini, Prisa. Kamu tidak keberatan kalau saya sering mengajakmu mendiskusikan hal-hal seperti ini, kan?"

Aku mendongak, tidak percaya dengan apa yang baru saja Bu Suci sampaikan. Pak Kuswoyo bahkan mengatakan jika aku tidak pantas membantu orang lain saat jiwaku sendiri perlu disembuhkan. Lalu, dengan terbata aku berkata, "Aku merasa tidak pantas."

"Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama, Prisa. Jadikan tempat ini mediamu mengenali diri sendiri. Mungkin, akan ada masa di mana kamu tidak bisa mengendalikan perasaanmu. Tapi, ingatlah ini ketika itu terjadi." Bu Suci menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Ingatlah bahwa kamu bukan satu-satunya orang yang kesusahan. Kamu pernah melewati yang jauh lebih berat dari ini. Dan kamu tidak pernah sendirian."

Bu Suci membelai lembut rambutku sebelum pergi. Ada perasaan hangat yang menyusup di relung hati. Dan rasa rindu itu perlahan mendominasi.

Ayah sedang apa?

***

Nodus Tollens adalah perasaan yang datang ketika seseorang menyadari bahwa perjalanan hidupnya sungguh aneh.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang