DYSHTYMIA

29 11 5
                                    


Aku pernah berada di fase paling menyedihkan dalam hidupku. Aku bangun tidur, pergi ke sekolah, menemani Arkana bermain, belajar, tidur, hingga mengulang aktivitas yang sama keesokan harinya. Ya. Hidupku semonoton itu. Kalau pun ada kegiatan lain yang kulakukan, sudah pasti itu adalah melamun sambil memikirkan kematian.

Hidupku sama sekali tidak berharga sejak Ibu pergi.

Dan pagi ini, aku pergi menuju rumah panggung salah seorang klien baru dengan membawa luka yang sama. Kehilangan tidak pernah mudah. Aku tahu bagaimana rasanya. Lalu, sekarang Yuda memintaku membantu Alika menerima itu semua. Bagaimana bisa?

Sebenarnya, ini bukan kunjungan pertamaku dan Yuda. Kemarin sore, Yuda mengajakku bertemu Alika setelah menyelesaikan sesi support group bersama Bu Suci. Tidak banyak yang kami bicarakan. Kami juga belum menyinggung apa-apa tentang mama Alika.

Kami hanya berkenalan. Percakapan sore kemarin lebih didominasi oleh Pak Handoko, papa Alika. Itu pun tidak lebih dari cerita-cerita tentang keseharian Alika. Alika yang suka menggambar. Alika yang suka merawat bunga-bunga. Alika yang lebih suka membaca buku dari pada pergi ke mall. Alika yang berubah jadi pendiam. Alika yang lebih suka menyimpan segalanya sendirian. Alika yang hampir tidak pernah menangis.

Aku seolah melihat versi kecilku dalam diri Alika. Apakah waktu itu kondisiku juga seburuk ini?

"Apakah Om dan Tante datang untuk meyakinkan Alika kalau Mama udah pergi?"

Dingin adalah gambaran paling lengkap untuk kalimat yang baru saja Alika lontarkan. Gadis belasan tahun di depanku ini mengatakan kalimat itu nyaris tanpa ekspresi. Sorot matanya terlihat kosong. Jemari kurusnya sibuk memainkan lipatan baju. Dia terlihat sangat tenang dan gelisah di saat yang sama.

"Sudah banyak yang mengatakannya kepada Alika, Om. Tapi Alika tahu mereka sedang berbohong," kata Alika sebelum kami sempat menjawab pertanyaan pertamanya. "Mama bilang mau pulang sebentar lagi. Mama bilang mau nganterin Alika di hari pertama masuk SMP. Alika nggak bohong dan Mama selalu menepati janjinya selama ini. Ini buktinya."

Alika menunjukkan sebuah chat bertanggal 15 Maret 2018. Tiga belas bulan lalu. Tepat satu bulan sebelum tanggal kematian mamanya. Alika harus belajar yang rajin biar bisa masuk di sekolah yang Alika mau. Kalau Alika berhasil masuk di sana, Mama anterin Alika sekolah di hari pertama, ya. Bulan depan Mama pulang. Missing you so bad, my little princess!

Aku tidak tahu bagaimana Alika mempertahankan asumsinya hanya dengan membaca pesan itu lagi dan lagi. "Pasti Alika dekat sekali sama Mama, ya?" tanyaku setelah Pak Handoko mempersilakan kami duduk.

Tiba-tiba saja ekspresi Alika berubah. Dia terlihat sedih dan muram. "Tapi, Alika bingung. Kenapa waktu jadi lama sekali berganti. Padahal Alika udah nggak sabar pengin ketemu Mama."

Hatiku mencelus. Aku seperti sedang melihat cerminan diriku dalam sikap Alika. Dua puluh tahun lalu, aku pernah berharap dunia berhenti berputar. Waktu membeku. Memberiku kesempatan untuk berlari menuju mobil pick up yang membawa Ibu, lalu mencegah kepergiannya. Aku bisa merengek. Aku bisa menarik tangannya. Aku juga bisa memeluknya erat atau meminta bantuan orang di sekitar sana untuk menghalangi Ibu. Sayangnya, bukan waktu yang membeku. Tapi, tubuhku.

Sama sepertiku, Alika tidak sedang baik-baik saja. Dia menyimpan penyangkalan paling menyakitkan dalam dirinya. Dia menolak kenyataan bahwa mamanya telah tiada sejak satu tahun lalu. Persis seperti apa yang dikatakan papanya; Alika menganggap sang mama sedang dinas ke Malaysia dan bisa pulang kapan saja.

Berbeda, tapi memiliki dampak yang sama. Bedanya aku dengan Alika mungkin hanya pada bagaimana cara Tuhan merenggut sosok itu dari hidup kami. Dan aku tahu persis bagaimana rasanya. Bisakah Tuhan memberi kami sedikit saja waktu untuk bersiap sebelum merenggut orang-orang tercinta?

"Om nggak sedang mencoba bohongin Alika, kan?"

Yuda tersenyum. Lalu, dia mulai mengeluarkan alat menggambar yang sudah kami siapkan dari dalam rensel. "Sayangnya, kami datang bukan buat itu, Alika. Alika mau ngelukis buat Om Yuda? Om Yuda dengar dari Papa kalau Alika suka menggambar."

Alika ikut tersenyum. Entah karena Alika memang suka menggambar, atau pria di depannya menyenangkan. Alika yang sejak tadi berbicara tanpa ekspresi, mendadak terlihat ceria. Yuda berhasil membuktikan bahwa kalimat 'tersenyumlah, maka dunia akan ikut tersenyum' bukan sekadar bualan.

Gadis berusia dua belas tahun itu menerima spidol warna-warni dan kertas yang diberikan Yuda. Lalu, dia menggambil posisi duduk di samping Yuda. "Om Yuda mau digambarin apa?"

Meskipun Alika masih sangat jelas membatasi diri, dia mulai terlihat lebih rileks. Tapi, kami belum bisa menebak emosi jenis apa yang sedang dia sembunyikan dari semua orang.

"Apa aja yang mau Alika gambarin, deh. Nggak perlu bagus. Ikuti kata hati Alika. Pelan-pelan aja. Om sama Tante tungguin kok," jawab Yuda sambil membelai lembut rambut Alika.

Alika tidak menolak perlakuan Yuda. Dia hanya tampak sedikit terkejut. "Tapi, Om nggak akan membicarakan hal bohong soal Mama setelah Alika menggambar, kan?"

Yuda melengkungkan bibirnya ke bawah. Memasang ekspresi sedih. Lalu, dengan sangat lembut bertanya, "Apa yang Papa Alika katakan tentang kami? Apa Papa bilang kami mau membahas tentang itu sama Alika? Padahal, tadi kami bilang mau ngajak Alika main ke Papa."

Alika menggeleng. Sudut bibirnya terangkat selama beberapa detik. "Nggak, Om."

Setelah memastikan kalau kami tidak akan melakukan hal yang dibencinya, Alika mulai menggambar sesuatu. Tapi, gerakan tangannya tiba-tiba saja terhenti. Dia menatap kami selama beberapa saat. "Alika tidak bisa menggambar."

"Pelan-pelan saja, Alika. Alika boleh menggambar bunga yang sedang mekar di halaman. Atau, kalau Alika mau, Alika bisa menggambar wajah Mama? Dari tadi, Alika terus menyebut soal Mama. Tapi, Om dan Tante Prisa belum tahu seperti apa wajah Mama."

Bukannya menjawab, Alika malah berdiri. Gadis kecil yang terlihat ringkih itu berlari ke sebuah ruangan di rumah ini, lalu kembali dengan figura di tangannya. "Alika mau gambar bunga aja. Om sama Tante bisa lihat wajah Mama dari foto ini."

Yuda mengambil foto berbingkai yang Alika bawa. Seketika, aku merasa lemas. Alika memang kehilangan sang mama untuk selamanya. Tapi, dia memiliki sesuatu sebagai pengingat jika kelak dia mulai melupakan wajah mamanya. Sedangkan aku?

Aku tidak banyak menanggapi. Kubiarkan Yuda dan Alika berinteraksi. Aku sempat membahas tentang hobi, lukisan favorit, pekerjaan orang tua Alika, hal-hal yang dia benci, hingga tibalah mereka di topik tentang sosok yang sejak tadi Alika sebutkan; Mama.

"Tiga hari lagi Mama pulang. Nanti Alika kenalkan sama Mama, ya."

Kalimatnya barusan membuat seisi ruangan bungkam. Aku menatap wajah Pak Handoko yang mendadak muram. Alika tidak hanya terus membuat asumsinya sendiri. Tapi, dunianya juga terhenti setelah kepergian mamanya. Dia selalu merasa bahwa satu tahun lalu, kemarin, dan sekarang adalah hari yang sama. Dia masih menanti kepulangan sang mama dari perjalanan dinas. Dia bahkan membuang kalender baru yang Pak Handoko pasang di rumah.

Lima menit kemudian, Alika menyelesaikan gambar pertamanya. Dia memberikan kertas itu kepada Yuda dan meminta izin untuk kembali ke kamar. Alika bilang, dia lelah. Dan Yuda tidak mencegah Alika sama sekali. Tanpa perlu Alika bercerita, gambar buatannya sudah menjelaskan kondisi psikisnya saat ini.

Dari gambar yang dibuatnya, terlihat jelas tekanan garis yang tegas dan tidak beraturan. Warna yang dipilih Alika juga cenderung gelap. Bunga yang Alika gambar tampak sangat kecil jika dibandingkan dengan ukuran kertas yang Yuda berikan.

"Kekosongan. Alika pasti sangat kesepian selama ini," kata Yuda lirih. Matanya masih terpaku pada gambar kelopak bunga di depannya. "Kita hanya perlu menemani dan mengajaknya berbicara lebih sering."

Pandanganku terkunci pada sosok pria di depanku. Untuk kali pertama sejak aku mengenalnya, Yuda terlihat sangat terluka. Kenapa dulu Tuhan tidak mengirimkan manusia sepertinya saat aku kehilangan Ibu?

***

Dysthymia didefinisikan sebagai suasana hati rendah yang terjadi minimal dua tahun, bersama minimal dua gejala lain dari depresi.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang