"Tidak pernah mudah mengawali segala sesuatu, Prisa. Aku tahu. Tidak pernah mudah bagimu untuk mencari ibumu lagi setelah semua yang terjadi. Tapi, bukankah anak psikologi selalu dituntut untuk melihat segala sesuatu dari banyak sisi?"
Kalimat yang Dokter Dona katakan saat bertemu denganku di lobi gedung ini masih saja terngiang. Sejak tadi, Yuda sibuk bercerita tentang Nadira dan bagaimana dia bisa dekat dengan anak sulung Dokter Dona itu. Tapi, pikiranku justru terus berkelana.
Tiba-tiba saja aku merasa sedih. Aku merasa begitu malang saat melihat kedekatan Dokter Dona dengan putri sulungnya. Aku selalu membayangkan rasanya mendengar cerita-cerita tentang masa kecilku dari Ibu. Tentang bilangan umurku saat memulai langkah pertama. Tentang kata yang kuucapkan untuk kali pertama. Tentang hal-hal yang membuatku tertawa atau menangis saat masih balita. Tentang kenakalan yang kulakukan di awal-awal usiaku. Atau apa pun yang tidak bisa lagi kuingat dari masa itu.
Namun, aku tidak pernah mendengar cerita-cerita itu dari siapa pun. Sejak Ibu pergi, Ayah memilih untuk menyimpan segalanya sendirian. Ayah menganggap memori masa kecil kami sebagai sesuatu yang pantas dilupakan. Setiap kali aku atau Arkana bertanya, Ayah akan marah. Ayah selalu meminta kami melupakan itu dan fokus dengan apa yang di depan mata.
Sebenarnya, perasaan ini sudah hadir sejak aku menemani Alika terapi. Banyak sekali pertanyaan yang lama kupendam, muncul ke permukaan. Dan setiap kali rasa rindu itu hadir, aku merasakan sesak yang tidak tertahankan. Apakah Ibu juga merindukanku?
"Kamu merasa nggak nyaman berada di tempat ini?" tanya Yuda saat kami hampir tiba di ball room hotel tempat pertunjukan Nadira berlangsung–sekaligus tempat kami bermalam hari ini. "Kamu bisa istirahat di kamar. Nanti kusampaikan kondisi kamu kepada Dokter Dona. Dia pasti paham."
Aku menggeleng dan tersenyum. "Aku baik-baik aja, Pak. Bisa nggak berlebihan?"
Yuda tersenyum. "Kamu memang terlihat jauh lebih baik beberapa minggu terakhir. Kayaknya nemenin Alika terapi berimbas ke kondisi psikis kamu juga ya, Sa. Atau kamu mau nyoba Art therapy kayak Alika juga?"
"Iya. Terus aku gambarnya nggak ngikutin suasana hati. Biar kamu nggak bisa baca emosi aku dari sana."
Senyuman di wajah Yuda merekah semakin lebar. Lalu, tiga detik kemudian dia tertawa. "Susah ngomong sama expert, ya. Jadi temen kamu aja udah paling bener deh."
"Emang maunya jadi apa?"
Aku mengutuk pertanyaanku barusan. Kenapa aku tidak memikirkan jika kalimat itu mungkin terdengar ambigu? Memang apa yang aku harapkan darinya?
Yuda mengangkat bahu. Dia terlihat baru saja akan menjawab pertanyaanku saat orang-orang mulai berdatangan. Dan aku bersyukur tidak perlu menjelaskan maksud pertanyaan tadi kepada Yuda. Sebab, Yuda sudah lebih dulu menarikku masuk ke dalam ruangan luas di depan kami dan mengambil tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di lembar tiket.
Tiba-tiba, aku merasa jantungku bekerja lebih keras dari biasanya. Bukan karena aku melihat Yuda tertawa seperti sebelumnya. Bukan juga karena kerumunan manusia membuatku gugup. Tapi, karena kini tanganku sudah dalam genggaman Yuda.
Seketika, gelisah yang tadi sempat memenuhiku terganti dengan perasaan baru. Sensasi rasanya sama seperti saat aku tidak sengaja melihat Kak Randi–kakak tingkatku sewaktu kuliah–memperhatikanku diam-diam. Debaran asing itu menguasai hatiku hingga tidak cukup ruang lagi untuk memikirkan rasa malu.
Yuda baru melepaskan genggaman tangannya saat pembawa acara tiba. Dia bertepuk tangan sambil tersenyum menatap panggung pertunjukkan. Aku mengamati wajahnya diam-diam. Pria di sampingku ini tidak pernah masuk dalam kategori tampan. Pun tidak menawan. Tapi, caranya memperlakukan orang-orang di sekitarnya selalu berhasil membuatku takjub.
Dengan apa Tuhan menciptakannya?
Gemuruh tepuk tangan kembali terdengar. Kali ini, Nadira naik ke panggung utama. Seperti yang tertera di lembar tiket, dia terpilih menjadi violinis pembuka. Dan gadis itu berhasil memukauku sejak gesekan pertama busur biolanya. Indah dan mempesona.
"Tahu lagu ini?" tanya Yuda setengah berbisik. Dia mendekatkan kepalanya ke arahku.
Aku buru-buru mengangguk sebelum perasaan meletup-letup itu kembali menguasaiku. "See You Again karya Wiz Khalifa."
Entah kenapa, instrumen biola yang dimainkan Nadira terdengar menyayat hati. Lagu yang diciptakan sebagai tribut kepada Paul Walker itu disampaikan dengan sangat apik oleh Nadira. Nada demi nada dia mainkan dengan sempurna.
Sebutir cairan berhasil lolos dari sudut mataku. Ingatanku kembali memutar potongan-potongan kenangan yang sempat kulupa. Aku ingat momen saat Ibu memarahiku karena terlalu sering bermain layang-layang. Saat Ibu mengomentari kulit kecoklatanku. Saat Ibu membujukku makan. Saat Ibu membebat kakiku yang tertusuk batang singkong. Tapi, tidak satu pun dari ingatan itu yang membuatku mengingat wajah Ibu. Dan ini menyesakkan.
Nadira mengakhiri pertunjukan pembukanya. Gemuruh tepuk tangan kembali memenuhi ruangan. Tapi, lagu-lagu berikutnya juga tidak membuat perasaanku menjadi lebih baik. Instrumen lagu Do You Want to Build a Snowman, Thinking Out Loud, Scared to be Lonely, Ephiphany, bahkan All of Me yang dibawakan violinis lain terdengar sama menyedihkannya bagiku.
Aku baru saja akan pamit ke kamar mandi saat Yuda kembali menggenggam tanganku. Kali ini, lebih erat dari sebelumnya. Aku menunduk, berharap dia tidak melihat perubahan ekspresi wajahku. Lewat gesture itu, Yuda seperti ingin mengatakan jika aku akan baik-baik saja selama ada dia.
Dan aku menurut begitu saja. Kurebahkan kepala di sandaran kursi, memejamkan mata dan mencoba menikmati satiap momen yang terlewati. Lima belas menit kemudian, acara berakhir. Sebuah lagu penutup–yang entah berjudul apa–mengiringi langkah kami meninggalkan ball room hotel. Sementara, Yuda sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya barang sebentar.
"Oh iya. Kamu bilang kita bakal ketemu klien baru malam ini?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian.
Yuda yang sebelumnya terdiam, menatapku dengan sorot mata antusias. Genggaman tangannya melemah, lalu terlepas. Dia menunjuk ke arah restoran di sisi kanan bangunan. "Wanita dengan outer rajut berwarna peach itu bernama Karenina."
Aku menyipitkan mata, mencoba mencari sosok wanita yang Yuda maksud. "Yang duduk di dekat jendela lebar itu?"
Yuda mengangguk. Langkahnya kian mantap. "Bener."
"Dia kenapa?"
"Trauma pasca SIDS,"
Mendengar itu, langkahku terhenti. Misi macam apa lagi ini? Setelah Darial yang kehilangan istrinya, penyangkalan Alika atas kematian sang mama, sekarang wanita pasca sudden infant death syndrome?
Aku menggeleng. Bukan itu yang benar-benar ingin kutanyakan pada Yuda. Tapi, "Apakah sebegitu besarnya cinta seorang ibu sampai mereka hampir gila saat kehilangan anaknya?"
Yuda mematung di tempatnya berdiri selama beberapa saat. Lalu, dia menarikku ke dalam peluknya. "Ya. Setiap ibu sangat mencintai anaknya."
"Apa Ibu juga mencintaiku?"
***
SIDS atau sudden infant death syndrome adalah kematian mendadak pada bayi yang berusia di bawah 1 tahun, dan terjadi tanpa menimbulkan gejala-gejala terlebih dahulu.
Ekuilibrasi adalah istilah yang digunakan oleh Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak beralih dari satu tahap berpikir ketahap berpikir selanjutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...