ALLOANAMNESA

46 12 18
                                    

Art therapy yang dijalani Alika membuahkan hasil cukup signifikan. Setelah menjalani beberapa sesi terapi, Alika menjadi lebih bisa mengontrol emosi. Pemilihan warna pada gambar juga berubah. Jika pada awal sesi dia cenderung memilih warna-warna gelap, tidak pada gambar-gambar selanjutnya. Pemilihan warna terlihat lebih terang dan garis pada gambar sudah semakin rapi. Komposisi bentuk dan ruang pada kertas juga sudah lebih proporsional.

Selama sesi berlangsung, Yuda terus mengajak Alika berbincang. Mereka mulai membicarakan banyak hal yang sebelumnya tidak ingin Alika bagi. Alika akan tertawa saat mengingat hal-hal manis yang dia lalui bersama sang ibu. Atau menangis ketika dia menceritakan tentang perjalanan dinas ibunya yang terlampau sering.

Bersama Yuda, Alika menjadi lebih banyak bicara. Kemarin, Alika bahkan sudah bisa menerima jika hari terus berganti dan mamanya terlambat menepati janji.

"Alika mau menggambar apa hari ini?" tanya Yuda di sela perbincangan mereka.

Alika yang baru saja menghabiskan satu porsi sup telur puyuh dan perkedel kornet favoritnya, menoleh ke arah tempat duduk kami. "Pesawat!" serunya penuh antusias.

Kami tersenyum, lalu berjalan mendekati Alika. Cara Alika menyapukan spidol di atas kertas sudah semakin terkontrol. Hal ini menunjukkan jika perasaannya sudah mulai terbuka. Tinggal menunggu waktu hingga penerimaan itu muncul di hatinya. Mungkin, dia akan terluka saat tahu jika mamanya sudah tiada. Lebih parahnya, dia akan menyalahkan diri sendiri. Tapi, itu lebih baik dibandingkan dengan semua penyangkalannya.

Aku menghela napas panjang, merasa tertampar dengan perkembangan yang Alika tunjukkan setelah melalui sebelas kali sesi terapi.

Mungkin, aku juga akan merasa jauh lebih baik jika Ibu terang-terangan berkhianat. Aku tidak akan seterluka ini jika tahu Ibu tidak pernah menginginkan kami. Tapi, ini teramat sulit saat hati kecilku terus berkata sebaliknya. Benarkah Ibu pergi membawa satu alasan yang bisa kuterima?

Tiba-tiba saja, Alika menangis. Sementara, tangannya tidak berhenti menggoreskan spidol ke atas kertas. Aku dan Yuda saling melempar pandangan. Apa yang terjadi?

"Apa yang terjadi dengan pesawatnya, Alika?" tanya Yuda dengan lembut.

Namun, respon yang diberikan Alika justru mengejutkan. Gadis itu menagis semakin keras. Dia mengacuhkan pertanyaan Yuda dan terus menggambar. Titik-titik air mata mulai membasahi kertas, membuat warna di beberapa bagian pesawat jadi pudar. Dan Alika terlihat tidak peduli.

Alika menghambur ke pelukanku setelah menyelesaikan gambar pesawatnya. . "Benarkah benda ini udah mencelakai Mama?" tanya Alika di sela isak tangisnya.

Badanku bergetar hebat. Alika bisa mengingat dengan jelas bagaimana warna dan bentuk pesawat yang merenggut nyawa sang mama. Dan aku pun merasakan hal yang sama. Aku masih bisa mengingat seperti apa mobil pick up yang pernah membawa Ibu pergi. Aku tahu perasaan macam apa yang saat ini berkecamuk di hati Alika.

Tanpa kusadari, pelukanku menguat. Air mata gugur membasahi pipiku. "Semua akan baik-baik saja, Alika."

"Alika lihat semuanya, Tante. Foto Mama yang dipasang di akun sosial media. Foto dan nama Mama yang tertulis di papan pengumuman bandara. Papa yang sering menagis. Kunjungan keluarga. Alika tahu. Alika ingat."

Yuda memberi kami tissue. "Lalu, kenapa Alika berusaha menolak itu semua?"

Alika melepas pelukannya. Tapi, tangisannya belum juga mereda. "Karena Alika masih mau Mama pulang. Alika kangen Mama. Mama nggak pernah ingkar janji."

Alika terus menangis, meraung, menjerit dan memanggil mamanya dengan sangat memilukan.

Aku tahu. Membuka ingatan tentang kenangan buruk itu sama artinya dengan mengizinkan luka baru untuk memenuhi hatinya. Saat ini, Alika mungkin sedang menyelami ingatannya sendiri tanpa bisa melawan.

"Hidup Alika sudah berakhir, Tante. Apa yang bisa Alika lakukan tanpa Mama?"

Aku menggeleng. Kutangkup tangan Alika dan meletakannya tepat di dada. "Mama tidak pernah pergi ke mana-mana Alika. Mungkin, Alika udah nggak bisa ketemu Mama lagi. Tapi, Mama akan selalu ada di sini. Di hati Alika. Di hati orang-orang yang mencintai Mama. Semakin banyak, Mama akan semakin bahagia di sana."

Aku tidak tahu kepada siapa sebenarnya kalimat itu kutujukan. Untuk Alika? Atau justru untuk diri sendiri?

Alika tidak menjawab. Dia masih terus menagis dan meraung. Tapi, aku merasa lega karena akhirnya Alika bisa menerima ingatan paling menyakitkan itu. Mamanya telah pergi. Janji-janji itu mungkin tidak akan pernah bisa ditepati. Dan ini adalah awal untuk semua penerimaan-penerimaan baru.

Mata Alika terlihat bengkak. Hidungnya merah dan rambutnya dibasahi keringat. Alika terlihat lelah, tapi tetap antusias. Bahkan, ketika Yuda menjelaskan tentang jadwal pertemuan kami berikutnya.

"Apa Om dan Tante akan meminta Alika menggambar sesuatu lagi di pertemuan selanjutnya?"

Yuda mengangkat bahu. "Bisa jadi. Mungkin, pertemuan selanjutnya akan lebih berat dari ini, Alika. Tapi, Om yakin Alika sudah jauh lebih siap sekarang."

"Tapi, bolehkah Alika tidur sekarang? Alika lelah sekali."

Yuda memeluk gadis itu sekali lagi dan membiarkannya masuk ke dalam kamar. Sejak awal sesi, Yuda selalu memberi Alika kebebasan untuk memilih. Dia bisa berhenti menggambar kapan saja jika merasa lelah. Dan itulah yang dilakukan Alika saat ini.

Pak Handoko yang sejak tadi hanya mengamati dari ruang tengah, berjalan mendekati kami. Pria paruh baya itu berkali-kali mengucapkan terima kasih. Padahal, aku yang seharusnya berterima kasih. Aku memperlajari banyak hal baru selama menemani sesi terapi Alika.

Berinteraksi dengan Alika menambah kuat kerinduanku akan sosok Ibu. Aku tidak bisa menampiknya lagi. Tuhan mungkin tidak memberiku kesempatan untuk mencegah kepergiannya. Namun, bukankah kesempatan untuk bertemu kembali dengannya jauh lebih besar?

Sebelum aku kehilangan kesempatan itu dan menyesal.

Sebelum aku kehilangan sosok itu untuk kedua kalinya.

Tiba-tiba, aku tersentak akan sesuatu. Selama ini, aku selalu meyakini segalanya hanya dari asumsi yang kubuat sendiri. Kenapa aku tidak pernah mencoba mencari tahu keberadaan Ibu? Kenapa aku tidak berusaha menanyakan itu langsung kepadanya?

"Yuda," kataku lirih saat akhirnya mobil yang kami tumpangi berhasil membelah area parkir. "Apakah aku masih bisa bertemu dengan Ibu?"

Yuda tampak terkejut. Ekpresi ganjil yang sempatYuda tunjukan beberapa bulan lalu kepadaku itu kembali terlihat. Tapi, ekspresiitu tidak pernah sanggup bertahan lebih lama di sana. "Nothing imposible, Prisa. Kamu harus nyoba."

***

Art therapy merupakan sebuah proses psikoterapi yang menggunakan seni sebagai media ekspresi.

Alloanamnesa adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan orang lain terhadap keluarga pasien guna memperoleh sebuah informasi yang penting tentang keadaan pasien.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang