ILUNGA

54 16 12
                                    

Setelah hampir satu minggu tidak bertemu, Yuda akhirnya mengajakku menghabiskan sore di salah satu café dekat pelabuhan. Suara kecipak air dan desau angin membuatku merasa lebih tenang. Aku sudah siap dengan semua yang akan terjadi setelah pertemuan kali ini. Bahkan, saat aku harus mengundurkan diri dari Metamorfosis Psycare yang sudah jadi rumah keduaku.

Aku jadi sedih lagi.

Tiba-tiba saja aku ingat wajah Kinan yang selalu terlihat berseri-seri. Bu Suci yang begitu ramah dan hangat. Mbak Indira, Pak Dodi, Mas Indro, Bu Kamti dan semua konselor senior yang selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Semua peserta support group, asisten konselor, petugas kebersihan, tanaman-tanaman hias, kalimat motivasi dan semua yang pernah Metamorfosis Psycare kenalkan padaku. Juga Darial, Yunita, Alika, Karenina dan semua yang sudah membuatku belajar banyak hal.

Bukankah aku memang sudah siap dengan kemungkinan terburuk setelah bertemu Ibu?

"Gimana perasaan kamu setelah ketemu sama Ibu?" tanya Yuda saat akhirnya pramusaji selesai mencatat menu pesanan kami. Dua Vietnam drip coffee dan dua black burger menjadi pilihan kami.

Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat malam saat aku bertemu dengan Ibu di taman kota. Hanya pertemuan dengan Ibu. Bukan hal lain. "Lega."

Satu kata itu mewakili pergulatan batin yang terjadi selepas pertemuanku dengan Ibu tiga hari lalu. Aku memang sempat marah, sedih, kecewa, bahkan menyalahkan diriku sendiri. Tidak jarang, perasaan tidak berharga itu hinggap kembali. Tapi, Ibu selalu memberiku ruang untuk menumpahkan setiap jenis emosi. Dengan lembut dan penuh pengertian, Ibu membiarkanku menumpahkan apa yang selama ini terpendam. Dia menjawab satu demi satu pertanyaan yang kulontarkan dengan tetap berusaha untuk tenang.

Aku tidak baik-baik saja setelah bertemu dengan Ibu malam itu. Mimpi buruk selalu menemani lelapnya tidurku. Bayangan wajah Ibu semakin jelas dalam mimpi dan khayalku. Setiap malam, aku terbangun dalam kondisi yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Lalu, aku akan terjaga hingga pagi menjelang.

Dan kondisi itu kuperburuk lagi dengan sembab di mata setiap pagi. Aku menangis semalaman. Mengingat kelemahanku. Mengingat kebodohan dan kepolosanku. Mengingat perjuanganku memercayai orang lain.

Namun, setidaknya kata 'lega' cukup menjawab pertanyaan Yuda. Dia baru saja bertanya tentang Ibu, kan? Mungkin, jawabanku akan berbeda jika dia menanyakan hal lainnya.

Ibu berkali-kali meminta maaf kepadaku. Dia bilang, hatinya diliputi emosi saat meninggalkan kami. Dia tidak berpikir panjang. Pertengkarannya dengan Ayah menjadi pemicu utama. Krisis moneter memperburuk keadaan. Kondisi keuangan keluarga Simbah berantakan. Tapi, di saat Ibu merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu, keluarga Ayah menentang dengan lantang.

Aku terus berpikir tentang bentuk penolakan macam apa yang keluarga Ayah lakukan. Menghina Ibu dan keluarganya? Memukul Ibu? Memberondong Ibu dengan kata-kata pedas menyakitkan? Atau sebuah bentuk ancaman?

Ibu tidak menceritakan detailnya. Aku tahu. Ada begitu banyak hal yang sedang coba Ibu tutupi. Sejak aku mulai bertanya, Ibu terlihat terus memilah topik yang akan disampaikan kepadaku. Banyak kemungkinan yang bisa menjadi pemicu utama kepergiannya selain pertengkaran Ibu dengan Ayah. Bukankah perbedaan pendapat memang kerap kali terjadi?

Namun, Ibu terus menyalahkan dirinya sendiri. Sementara kenangan tentang sikap keras keluarga Ayah terus menggangguku. Aku sudah sangat akrab dengan perangai keluarga Ayah. Dan sekarang bukan hanya itu masalahnya. Segalanya menjadi lebih rumit dan membingungkan.

"Lalu, apa yang bikin kamu terganggu?" tanya Yuda tepat sasaran. Aku tidak tahu cara Yuda membaca ekspresi wajahku.

"Aku mau denger lebih banyak lagi darinya."

"Tapi?"

"Aku ingin sekali bisa segera menuntaskan rasa penasaran dan apa pun yang menghalangi langkahku selama ini. Tapi, aku nggak tega lihat Ibu begitu menderita setiap kali menjawab pertanyaanku. Ibu nggak bisa menyembunyikan luka dari matanya, Yud. Bahkan, aku tahu Ibu nggak bener-bener ngerasa tenang saat menjawab pertanyaanku."

Aku meningat bagaimana malam itu Ibu terus meremas jemarinya selama bercerita. Sesekali, dia melempar tatapannya jauh ke bentangan langit malam. Kadang, justru memilih tidak menjawab pertanyaanku. Dan aku tahu. Kami butuh waktu untuk menuntaskan obrolan ini.

Sebenarnya, bukan hanya itu. Selain sebab kepergiannya, aku juga menanyakan tentang sosok bernama Danu. Dan Ibu menyampaikan sesuatu yang lebih mengejutkan. Tapi, aku tidak ingin membahas itu dengan Yuda sekarang. Dia terlihat sangat bahagia hari ini. Aku tidak ingin merusak suasana hatinya dengan tiba-tiba. Mungkin nanti setelah beberapa saat berbasa-basi. Setelah black burger pesanan kami habis. Setelah gelas Vietnam drip coffee kami kosong.

Ah, harusnya aku tidak pernah mengecap rasa ini. Di antara semua temanku saat kuliah, kenapa harus Yuda yang hadir dan menggenggam jemariku saat aku terjatuh? Kenapa harus dia yang membantuku melewati fase depresiku?

"Jadi, udah mutusin buat ketemu lagi setelah ini?"

Aku mengangguk. "Semoga bisa secepatnya."

Ibu memberiku kebebasan menentukan waktu. Kapan pun setelah aku siap bertemu lagi dengannya. Tapi, sepertinya tidak dalam waktu dekat ini. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan dengan diriku sendiri terlebih dahulu sebelum bertemu dengannya. Itu juga alasanku menerima tawaran Yuda untuk hang out hari ini. Aku ingin mendengar segalanya dari mulut Yuda sendiri.

Hubunganku dan Ibu memang mengalami banyak kemajuan. Aku mulai membalas pesan singkat yang Ibu kirimkan. Secara bertahap, Ibu mengirimkan foto-foto masa kecilku. Aku mencetak beberapa dan meletakkannya dalam bingkai kayu di atas nakas. Tidak mudah. Tentu saja. Sekeras apa pun aku berusaha untuk bisa memaklumi tindakan Ibu, hati kecilku terus berkata sebaliknya. Tindakan yang Ibu ambil saat itu jelas salah. Bisa saja Ibu dituntut atas penelantaran anak. Bisa saja Ibu kehilangan kepercayaan keluarga untuk selamanya.

Sayangnya, yang terjadi dengan hubunganku dan Yuda justru sebaliknya. Yuda masih sering mengirimkan pesan-pesan singkat untukku. Aku membalasnya. Hanya saja, tidak seperti biasanya. Aku hanya menjawab pertanyaannya tanpa keinginan untuk balik bertanya. Yuda juga masih sering mengirimkan rekaman permainan gitarnya lewat chat Whatsapp. Aku hanya mengunduh filenya. Tapi, tidak ada keinginan untuk mendengarkan lagunya.

Segalanya berubah begitu saja. Bahkan, mungkin perasaanku. Debaran asing yang sebelumnya selalu memenuhiku, kini berubah menjadi rasa kecewa yang menyesakkan. Aku terus berharap jika semua hanya ilusi. Benarkah Yuda yang ini?

Pramusaji mengantar pesanan kami. Yuda terlihat sangat menikmati suasana dan menu yang disajikan café bernuansa kapal ini. "Nggak papa, Sa. Bilang aja."

Aku mendongak menatap wajah Yuda. Dia tersenyum, lalu meletakkan burger yang sempat digigitnya kembali ke atas piring. Apa maksud pernyataannya barusan?

"Aku tahu ada yang ingin kamu sampaikan ke aku, Sa," katanya lagi. Kali ini, dia mengelap bibirnya dengan tissue. "Aku tahu, kamu ingin mendengar lebih banyak dari aku. Bukan dari Ibu. Iya, kan?"

Benar. Aku ingin sekali mendengar penjelasan Yuda tentang semua ini. Tentang bagaimana dia mengenal Ibu. Tentang bagaimana semua ini bisa menjadi saling berkaitan. Tentang arti sikap yang dia tunjukkan padaku selama ini. Tentang bantuan-bantuannya. Tentang ayahnya.

Namun, lebih dari semua itu, ada satu hal yang sejak kemarin ingin sekali kutanyakan padanya. "Kenapa kamu membohongiku selama ini?"

***

Ilunga adalah penggambaran seseorang yang memaafkan kesalahan orang lain untuk pertama kali, mentoleransinya saat terjadi dua kali, namun tidak akan mau memaafkan untuk yang ketiga kali.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang